KUPANG-Setelah meminta dukungan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) NTT, keluarga korban penyerangan di Lapas Cebongan, Sleman Jogjakarta, Jumat (5/4), meminta dukungan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk mengawal proses pengungkapan kasus tersebut agar tuntas. Pasalnya, keluarga masih meragukan proses investigasi yang dilakukan tim investigasi internal TNI. Dan, siapa pun pelakunya, keluarga secara tegas meminta agar diproses melaui hukum Hak Asasi Manusia (HAM).
Pernyataan ini disampaikan keluarga kepada anggota DPD RI, Sarah Lery Mboeik di kantor DPD RI perwakilan NTT. Keluarga korban yang didampingi Pdt. Junus Boboy itu menegaskan, keluarga menolak kesimpulan awal tim investigasi internail TNI yang disampaikan 4 Maret 2013. Pasalnya, kesimpulan tersebut dinilai sebagai rekayasa TNI untuk menutupi skenario pembantaian dan untuk menutupi jaringan pelaku yang lebih luas.
"Kesimpulan ini mencerminkan sikap para pemimpin TNI yang tidak ksatria, menolak pertanggungjawaban komando dengan mengorbankan prajurit tingkat rendah untuk menutupi motif peristiwa sesungguhnya. Sejak awal kami keluarga korban menolak keberadaan tin investigasi internal ini, para pimpinan TNI, seperti Pangdam IV/Diponegoro telah terlibat rekayasa sejak awal peristiwa ini," kata Yani Rohi Riwu yang merupakan kakak kandung salah satu korban, Gamaliel Yermianto Rohi Riwu.
Dalam pernyataan sikap tersebut, keluarga juga menolak dengan tegas labelisasi "preman" yang ditujukan kepada para korban, bahkan masyarakat NTT yang tinggal di Jogjakarta. Pasalnya, keempat pelaku merupakan masyarakat NTT yang merantau ke Jogjakarta dan semuanya memiliki pekerjaan atau tidak menganggur.
Sehingga menurut mereka, labelisasi tersebut hanya merupakan skenario TNI untuk melemahkan posisi korban. Bahkan keluarga juga mengungkap adanya tindakan intimidasi yang dilakukan TNI saat proses pemeriksaan yang dilakukan polisi terhadap salah satu korban, Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Decky.
"Kami keluarga menolak penyebutan kata "kelompok preman" atas keempat korban. Kami menilai labelisasi ini adalah skenario TNI untuk melemahkan posisi korban. Vonis atas tindakan yang dilakukan oleh para korban hanya bisa disampaikan oleh pengadilan melalui proses hukum yang fair dan profesional. Dan, kami menyimpulkan bahwa peristiwa yang terjadi 23 Maret di Lapas IIB Cebongan merupakan pelanggaran HAM berat," tandasnya lagi.
Menurutnya, peristiwa tersebut telah terjadi secara sistematis atau terrencana oleh aparatur negara dengan pelibatan unsur komando. Dimana, pelaku dengan semangat korsa telah melakukan penyerangan dan pembantaian terhadap empat tahanan dan melukai perugas lapas IIB Cebongan. Selain itu, tim sembilan dan kesimpulan yang disampaikan adalah bagian dari skenario TNI untuk menghindari pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat.
Olehnya, kami keluarga meminta kepada Presiden Susilo Bambang Yodhoyono selaku kepala pemerintahan dan Panglima Tertinggi TNI untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut secara tuntas dan membawa seluruh pelaku ke pengadilan HAM. Memerintahkan panglima TNI dan kepala kepolisian RI untuk menyerahkan seluruh proses penyelidikan kepada TGPF yang terbentuk.
Menanggapi hal ini, Anggota DPD RI, Sarah Lery Mboeik menergaskan, selain proses hukum yang seadil-adilnya, stigmatisasi terhadap masyarakat Indonesia Timur, khususnya warga NTT harus segera dihilangkan. Pasalnya, hal ini akan sangat berpotensi menimbulkan rasisme yang tentu akan mengganggu kenyamanan dan keamanan warga negara Indonesia. Sarah juga menyampaikan, pihaknya akan membawa pernyataan sikap keluarga kepada pimpinan DPD. Bahkan dia siap mendampingi para keluarga untuk bertemu langsung dengan presiden RI.
"Bukan baru pertama kali stigma ini muncul. Sudah sangat sering. Bahwa orang NTT, mungkin karena hitam dan keriting, lalu digeneralisir bahwa mereka semuanya preman. Ini yang harus dihilangkan karena bisa timbul rasisme. Saya juga setuju bila presiden harus membentuk tim khusus untuk mengusut tuntas kasus ini. Karna pengalaman, banyak kasus yang kemudian tenggelam. Selain itu, kami DPD, DPR dan MPR akan merevisi Undang-Undang Militer agar proses hukum terhadap pelaku harus dilakukan di pengadilan umum HAM. Supaya terbuka dan para korban bisa mengakses informasi. TNI juga harus bisa mengevaluasi dan melakukan pembersihan struktur yang lebih adil di dalam tubuh TNI," tandas Sarah.
Secara tegas, Sarah juga menuntut komitmen dari presiden SBY terhadap penanganan kasus pelanggaran HAM. Pasalnya, sangat banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak bisa tuntas karena tidak adanya komitmen dari presiden sendiri. Bahkan Sarah meminta agar dibuatkan Keputusan Presiden (Kepres) untuk membangun kembali rasa percaya masyarakat.
"Pernyataan pertama Pangdam bawah TNI tidak terlibat lalu sekarang terbukti seperti ini. Bagaimana masyarakat bisa percaya lagi kepada TNI" Untuk itu, Presiden harus membuat Kepres untuk membagun kembali rasa percaya masyarakat. Kita minta bukti komitmen SBY terhadap penyelesaian pelanggaran HAM dalam peristiwa ini," tambahnya lagi.
Terpisah, anggota DPRD NTT, Anton Timo memberi apresiasi atas jiwa ksatria TNI-AD yang mengakui perbuatan anggotanya dalam penembakan empat tahanan di Lapas Cebongan, Sleman. "Saya memberi apresiasi kepada TNI khususnya TNI Angkatan Darat yang secara kastria mengakui perbuatan penembakan empat tahanan di Lapas Sleman. Ini memang jarang terjadi namun untuk kasus ini TNI sangat terbuka," ujar Anton Timo kepada koran ini di Gedung DPRD NTT, Jumat (5/4).
Namun, anggota dewan dari PKB ini menilai tidak cukup sampai pada pengakuan tersebut. Bahkan yang terpenting menurutnya adalah proses hukum dari kasus tersebut. Karena itu, dirinya meminta proses hukum kasus tersebut dilakukan di peradilan umum. "Kalau di peradilan militer kita tidak bisa memastikan seperti apa prosesnya dan hukumannya karena berlangsung tertutup. Kalau di peradilan umum kita bisa memberi kontrol secara langsung," harapnya.
Selain itu, Anton juga mengatakan, kasus ini menunjukkan negara gagal dalam melindungi warganya. "Bagaimana bisa terjadi penembakan di dalam tahanan. Seharusnya diberi pengamanan yang memadai namun sebaliknya Lapas bisa dengan muda dimasuki dan dilakukan pembantaian terhadap tahanan," ujarnya.
Karena itu, menurutnya negara juga harus bertanggung jawab terhadap keluarga yang ditinggalkan para korban yakni istri dan anak-anak. "Negara harus bertanggung jawab terhadap masa depan keluarga yang ditinggalkan. Saya akan memperjuangkan ini di lembaga dewan," kata Anton. Dia juga akan melakukan komunikasi dengan Fraksi PKB di DPR RI untuk memperjuangkan hal tersebut. (mg9/ito/aln)
Pernyataan ini disampaikan keluarga kepada anggota DPD RI, Sarah Lery Mboeik di kantor DPD RI perwakilan NTT. Keluarga korban yang didampingi Pdt. Junus Boboy itu menegaskan, keluarga menolak kesimpulan awal tim investigasi internail TNI yang disampaikan 4 Maret 2013. Pasalnya, kesimpulan tersebut dinilai sebagai rekayasa TNI untuk menutupi skenario pembantaian dan untuk menutupi jaringan pelaku yang lebih luas.
"Kesimpulan ini mencerminkan sikap para pemimpin TNI yang tidak ksatria, menolak pertanggungjawaban komando dengan mengorbankan prajurit tingkat rendah untuk menutupi motif peristiwa sesungguhnya. Sejak awal kami keluarga korban menolak keberadaan tin investigasi internal ini, para pimpinan TNI, seperti Pangdam IV/Diponegoro telah terlibat rekayasa sejak awal peristiwa ini," kata Yani Rohi Riwu yang merupakan kakak kandung salah satu korban, Gamaliel Yermianto Rohi Riwu.
Dalam pernyataan sikap tersebut, keluarga juga menolak dengan tegas labelisasi "preman" yang ditujukan kepada para korban, bahkan masyarakat NTT yang tinggal di Jogjakarta. Pasalnya, keempat pelaku merupakan masyarakat NTT yang merantau ke Jogjakarta dan semuanya memiliki pekerjaan atau tidak menganggur.
Sehingga menurut mereka, labelisasi tersebut hanya merupakan skenario TNI untuk melemahkan posisi korban. Bahkan keluarga juga mengungkap adanya tindakan intimidasi yang dilakukan TNI saat proses pemeriksaan yang dilakukan polisi terhadap salah satu korban, Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Decky.
"Kami keluarga menolak penyebutan kata "kelompok preman" atas keempat korban. Kami menilai labelisasi ini adalah skenario TNI untuk melemahkan posisi korban. Vonis atas tindakan yang dilakukan oleh para korban hanya bisa disampaikan oleh pengadilan melalui proses hukum yang fair dan profesional. Dan, kami menyimpulkan bahwa peristiwa yang terjadi 23 Maret di Lapas IIB Cebongan merupakan pelanggaran HAM berat," tandasnya lagi.
Menurutnya, peristiwa tersebut telah terjadi secara sistematis atau terrencana oleh aparatur negara dengan pelibatan unsur komando. Dimana, pelaku dengan semangat korsa telah melakukan penyerangan dan pembantaian terhadap empat tahanan dan melukai perugas lapas IIB Cebongan. Selain itu, tim sembilan dan kesimpulan yang disampaikan adalah bagian dari skenario TNI untuk menghindari pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat.
Olehnya, kami keluarga meminta kepada Presiden Susilo Bambang Yodhoyono selaku kepala pemerintahan dan Panglima Tertinggi TNI untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut secara tuntas dan membawa seluruh pelaku ke pengadilan HAM. Memerintahkan panglima TNI dan kepala kepolisian RI untuk menyerahkan seluruh proses penyelidikan kepada TGPF yang terbentuk.
Menanggapi hal ini, Anggota DPD RI, Sarah Lery Mboeik menergaskan, selain proses hukum yang seadil-adilnya, stigmatisasi terhadap masyarakat Indonesia Timur, khususnya warga NTT harus segera dihilangkan. Pasalnya, hal ini akan sangat berpotensi menimbulkan rasisme yang tentu akan mengganggu kenyamanan dan keamanan warga negara Indonesia. Sarah juga menyampaikan, pihaknya akan membawa pernyataan sikap keluarga kepada pimpinan DPD. Bahkan dia siap mendampingi para keluarga untuk bertemu langsung dengan presiden RI.
"Bukan baru pertama kali stigma ini muncul. Sudah sangat sering. Bahwa orang NTT, mungkin karena hitam dan keriting, lalu digeneralisir bahwa mereka semuanya preman. Ini yang harus dihilangkan karena bisa timbul rasisme. Saya juga setuju bila presiden harus membentuk tim khusus untuk mengusut tuntas kasus ini. Karna pengalaman, banyak kasus yang kemudian tenggelam. Selain itu, kami DPD, DPR dan MPR akan merevisi Undang-Undang Militer agar proses hukum terhadap pelaku harus dilakukan di pengadilan umum HAM. Supaya terbuka dan para korban bisa mengakses informasi. TNI juga harus bisa mengevaluasi dan melakukan pembersihan struktur yang lebih adil di dalam tubuh TNI," tandas Sarah.
Secara tegas, Sarah juga menuntut komitmen dari presiden SBY terhadap penanganan kasus pelanggaran HAM. Pasalnya, sangat banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak bisa tuntas karena tidak adanya komitmen dari presiden sendiri. Bahkan Sarah meminta agar dibuatkan Keputusan Presiden (Kepres) untuk membangun kembali rasa percaya masyarakat.
"Pernyataan pertama Pangdam bawah TNI tidak terlibat lalu sekarang terbukti seperti ini. Bagaimana masyarakat bisa percaya lagi kepada TNI" Untuk itu, Presiden harus membuat Kepres untuk membagun kembali rasa percaya masyarakat. Kita minta bukti komitmen SBY terhadap penyelesaian pelanggaran HAM dalam peristiwa ini," tambahnya lagi.
Terpisah, anggota DPRD NTT, Anton Timo memberi apresiasi atas jiwa ksatria TNI-AD yang mengakui perbuatan anggotanya dalam penembakan empat tahanan di Lapas Cebongan, Sleman. "Saya memberi apresiasi kepada TNI khususnya TNI Angkatan Darat yang secara kastria mengakui perbuatan penembakan empat tahanan di Lapas Sleman. Ini memang jarang terjadi namun untuk kasus ini TNI sangat terbuka," ujar Anton Timo kepada koran ini di Gedung DPRD NTT, Jumat (5/4).
Namun, anggota dewan dari PKB ini menilai tidak cukup sampai pada pengakuan tersebut. Bahkan yang terpenting menurutnya adalah proses hukum dari kasus tersebut. Karena itu, dirinya meminta proses hukum kasus tersebut dilakukan di peradilan umum. "Kalau di peradilan militer kita tidak bisa memastikan seperti apa prosesnya dan hukumannya karena berlangsung tertutup. Kalau di peradilan umum kita bisa memberi kontrol secara langsung," harapnya.
Selain itu, Anton juga mengatakan, kasus ini menunjukkan negara gagal dalam melindungi warganya. "Bagaimana bisa terjadi penembakan di dalam tahanan. Seharusnya diberi pengamanan yang memadai namun sebaliknya Lapas bisa dengan muda dimasuki dan dilakukan pembantaian terhadap tahanan," ujarnya.
Karena itu, menurutnya negara juga harus bertanggung jawab terhadap keluarga yang ditinggalkan para korban yakni istri dan anak-anak. "Negara harus bertanggung jawab terhadap masa depan keluarga yang ditinggalkan. Saya akan memperjuangkan ini di lembaga dewan," kata Anton. Dia juga akan melakukan komunikasi dengan Fraksi PKB di DPR RI untuk memperjuangkan hal tersebut. (mg9/ito/aln)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Uang Palsu Kian Marak di Pasar Tradisional
Redaktur : Tim Redaksi