SEMARANG – Nur Apriani, 19 tahun akhirnya dapat menjenguk ibunda tercinta Satinah binti Jumadi Amad yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi. Hal tersebut dapat terlaksana setelah pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) memberangkatkan Nur bersama sang paman Heri Iswanto dan istri sang paman, Sulastri, ke Arab saudi pada 11-18 Juli 2013 lalu.
"Saya senang bisa ketemu ibu (Satinah) setelah 7 tahun gak ketemu," ujar Nur saat ditemui Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jumhur Hidayat di Dusun Mrunten Wetan RT 02 RW 03 Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Sabtu (20/7).
Menurut remaja lulusan SMU Negeri 12 Semarang ini, ibundanya dalam keadaan sehat. Selain itu sebagaimana ditambahkan sang paman, Heri Iswanto, selama di penjara Satinah juga banyak menghabiskan waktu dengan menghafalkan Al Qur"an. "Sudah 16 Juz adik saya hafal. Selama di Arab Saudi kami bertiga berdoa di depan Ka"bah, agar Satinah bisa dibebaskan dari hukuman mati," ujarnya.
Karena itu Nur optimisme orang yang dia cintai itu dapat lolos dari hukuman pancung. Menurut Heri, keluarga korban Nura Al Gharib yang diduga dibunuh Satinah pada 2007 menuntut tebusan sebesar Rp 21 miliar. "Kami pasrah dan mengharapkan pemerintah bisa membantu," paparnya.
Optimisme yang sama juga dikemukakan Jumhur. Menurutnya sampai saat ini perundingan antara pengacara Satinah dengan keluarga korban semakin intensif dilakukan, terutama terkait pembayaran diyat.
“Keputusannya Agustus ini, tapi kini telah mendekati titik temu. Pemerintah secara optimal akan menyelamatkan Satinah,” ujarnya.
Satinah merupakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dijatuhi vonis qishash (pancung) pada tanggal 13 September 2011, karena membunuh majikannya, Nura Al Garib dan mengambil uang sebesar 37.970 riyal Saudi pada bulan Juni 2007. Ia mengakui perbuatannya tanpa ada niata membunuh dan hanya ingin membalas perlakuan kasar majikan kepadanya.
Pihak KBRI di Riyadh telah melakukan pendampingan dan mengupayakan agar ia mendapatkan pemaafan dari keluarga korban, meski sejak awal pihak keluarga korban tetap menginginkan pelaksanaan hukum qishash dan tidak melepaskan tuntutannya terhadap Satinah.
Sejak 24 Oktober 2010 diperoleh informasi berkas kasus Satinah telah dimintakan persetujuan eksekusi kepada Raja Arab Saudi. Atas infomrmasi tersebut KBRI segera meminta pemerintah Arab Saudi menunda eksekusi, karena KBRI tengah melakukkan upaya pemaafan.
Pada tanggal 8 Pebruari 2011, Gubernur Gaseem, Prince Faisal bin Bandar bin Abdul Aziz Al Saud, telah memanggil ahli waris korban menanyakan kesediaan memberikan pemaafan kepada terpidana Satinah.
Pada tanggal 11 Juni 2011, Gubernur Gaseem telah memperpanjang kembali penundaan eksekusi Satinah (yang sedianya akan dieksekusi pada tanggal 21 Juni 2011) karena masih ada upaya pemaafan atas permintaan KBRI.
Pada tanggal 6 Juli 2011, KBRI telah bertemu dengan Wakil Gubernur Gaseem, Prince Faisal bin Misy"al bin Saud bin Abdul Aziz Al Saud, menyerahkan surat kesanggupan untuk bertemu dengan ahli waris dan membayar uang diyat. Setelah perundingan, pihak keluarga korban bersedia memberi maaf dengan meminta untuk diyat (uang darah) sebesar tujuh juta riyal atau Rp 21 miliar.
Dalam kesempatan berkunjung ke kediaman keluarga Satinah, Jumhur memberi santunan kepada Nur Afriani. Selain itu ia juga berjanji membantu agar Nur bisa bekerja sebagai tenaga honorer administrasi di Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Semarang. (gir/jpnn)
"Saya senang bisa ketemu ibu (Satinah) setelah 7 tahun gak ketemu," ujar Nur saat ditemui Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jumhur Hidayat di Dusun Mrunten Wetan RT 02 RW 03 Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Sabtu (20/7).
Menurut remaja lulusan SMU Negeri 12 Semarang ini, ibundanya dalam keadaan sehat. Selain itu sebagaimana ditambahkan sang paman, Heri Iswanto, selama di penjara Satinah juga banyak menghabiskan waktu dengan menghafalkan Al Qur"an. "Sudah 16 Juz adik saya hafal. Selama di Arab Saudi kami bertiga berdoa di depan Ka"bah, agar Satinah bisa dibebaskan dari hukuman mati," ujarnya.
Karena itu Nur optimisme orang yang dia cintai itu dapat lolos dari hukuman pancung. Menurut Heri, keluarga korban Nura Al Gharib yang diduga dibunuh Satinah pada 2007 menuntut tebusan sebesar Rp 21 miliar. "Kami pasrah dan mengharapkan pemerintah bisa membantu," paparnya.
Optimisme yang sama juga dikemukakan Jumhur. Menurutnya sampai saat ini perundingan antara pengacara Satinah dengan keluarga korban semakin intensif dilakukan, terutama terkait pembayaran diyat.
“Keputusannya Agustus ini, tapi kini telah mendekati titik temu. Pemerintah secara optimal akan menyelamatkan Satinah,” ujarnya.
Satinah merupakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dijatuhi vonis qishash (pancung) pada tanggal 13 September 2011, karena membunuh majikannya, Nura Al Garib dan mengambil uang sebesar 37.970 riyal Saudi pada bulan Juni 2007. Ia mengakui perbuatannya tanpa ada niata membunuh dan hanya ingin membalas perlakuan kasar majikan kepadanya.
Pihak KBRI di Riyadh telah melakukan pendampingan dan mengupayakan agar ia mendapatkan pemaafan dari keluarga korban, meski sejak awal pihak keluarga korban tetap menginginkan pelaksanaan hukum qishash dan tidak melepaskan tuntutannya terhadap Satinah.
Sejak 24 Oktober 2010 diperoleh informasi berkas kasus Satinah telah dimintakan persetujuan eksekusi kepada Raja Arab Saudi. Atas infomrmasi tersebut KBRI segera meminta pemerintah Arab Saudi menunda eksekusi, karena KBRI tengah melakukkan upaya pemaafan.
Pada tanggal 8 Pebruari 2011, Gubernur Gaseem, Prince Faisal bin Bandar bin Abdul Aziz Al Saud, telah memanggil ahli waris korban menanyakan kesediaan memberikan pemaafan kepada terpidana Satinah.
Pada tanggal 11 Juni 2011, Gubernur Gaseem telah memperpanjang kembali penundaan eksekusi Satinah (yang sedianya akan dieksekusi pada tanggal 21 Juni 2011) karena masih ada upaya pemaafan atas permintaan KBRI.
Pada tanggal 6 Juli 2011, KBRI telah bertemu dengan Wakil Gubernur Gaseem, Prince Faisal bin Misy"al bin Saud bin Abdul Aziz Al Saud, menyerahkan surat kesanggupan untuk bertemu dengan ahli waris dan membayar uang diyat. Setelah perundingan, pihak keluarga korban bersedia memberi maaf dengan meminta untuk diyat (uang darah) sebesar tujuh juta riyal atau Rp 21 miliar.
Dalam kesempatan berkunjung ke kediaman keluarga Satinah, Jumhur memberi santunan kepada Nur Afriani. Selain itu ia juga berjanji membantu agar Nur bisa bekerja sebagai tenaga honorer administrasi di Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Semarang. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... September, 613.919 Honorer K2 Bakal Dites Serentak
Redaktur : Tim Redaksi