Keluarga Warsidi Pilih Tinggal Di Hutan

Minggu, 12 Mei 2013 – 05:18 WIB
PURBALINGGA- Warsidi (49) yang dianggap masyarakat sebagai suku baru di Purbalingga ternyata juga mengenal apa itu Beras Miskin (Raskin). Tetapi, seperti menyimpan misteri, Warsidi lebih banyak diam dan pergi begitu saja usai Raskin berada di tangan.

Informasi yang dihimpun Radarmas (Grup JPNN) di Dusun dua Desa Ponjen Kecamatan Karanganyar, sesekali keluarga Warsidi turun dari dari tempat tinggalnya untuk mengambil jatah Raskin.  Selain mengambil jatah Raskin keluarga Warsidi biasanya turun untuk menjual kayu bakar yang telah ia kumpulkan.

Selama mengambil Raskin atau menjual kayu bakar, Warsidi tidak banyak bicara. Bahkan setelah keperluannya selesai, dia langsung pulang ke rumahnya. Warsidi  tinggal bersama isterinya dan empat orang anaknya yang masih kecil. Anak terakhir mereka lahir di hutan tepat  mereka menetap. “Anak terakhir mereka juga diberi nama Sunan Antap, sesuai tempat lahirnya Antap,” tutur salah seorang warga.

Sementara itu Kepala Desa Ponjen Zaenal Arifin mengatakan, Warsidi merupakan masyarakat asli Dukuh Kepyar, Dusun empat Desa Ponjen. Warsidi memiliki keluarga, namun sisa keluarga yakni adik dan kakak-kakaknya merantau menjadi Tukang Nderes di wilayah Jawa Barat dan menetap disana. “Seperti kebanyakan masyarakat Desa Ponjen tujuan rantau mereka Jawa Barat dan sekitarnya,” tuturnya.

Ia menambahkan, awalnya Warsidi dan keluarga memiliki tanah garapan dan rumah untuk menghidupi kelurga. Namun karena suatu hal, tanah itu habis dijual. Dia pun  mengasingkan diri ke hutan selama tujuh tahun lamanya.  Masyarakat sekitar pernah membujuk Warsidi, namun upaya itu tak membuahkan hasil.

“Rumahnya waktu di pinggir hutan. Atapnya dari daun kelapa, dan daun daun lainnya. Kemudian banyak warga yang menawarkan untuk tinggal bersama. Warsidi lalu bersedia, namun itu hanya bertahan dua minggu,” imbuhnya.

Zaenal Arifin mengatakan, selama ini pemerintah desa sudah berusaha untuk mengembalikan keluarga Warsidi hidup bersama ke masyarakat. Namun itu terbentur kebiasaan keluarga mereka yang sudah lama hidup di dalam hutan.

Dia menceritakan, selain terbiasa menyendiri, Warsidi juga sangat sensitif bila berbicara dengan teman lainnya. “Seperti kalau membuat tegalan dan ditegur supaya tidak terlalu lebar oleh pemilih sawah, maka , pekerjaan itu langsung dihentikan. Dia lalu tidak mau disuruh orang itu lagi,” imbuhnya.

Pemerintah Desa Ponjen akhirnya berinisiatif membuatkan rumah untuk Warsidi di tanah desa. Sehingga, Warsidi bisa hidup seperti masyarakat kebanyakan dan tidak terisolasi. Namun, ia memilih tanah desa yang jauh dari perumahan warga.

Selain itu empat anak Warsidi juga pernah diajak untuk untuk sekolah di SD namun hanya bertahan selama dua hari. Mereka memilih tidak sekolah. “Mungkin karena jarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya sekarang (rumah yang di buatkan pemerintah desa),” tambahnya.

Lebih lanjut Zaenal menjelaskan, Warsidi sudah menetap di hutan selama tujuh tahun. “Masyarakat kasihan dengan anak-anaknya yang masih kecil namun mau bagaimana lagi,” pungkasnya. (jok/dis)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 350 Ha Terancam Gagal Panen

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler