jpnn.com, JAKARTA - Pelaksana tugas (Plt) Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan I Kemenkumham Roberia menjelaskan mengenai mekanisme izin prakarsa.
Dia menegaskan pengajuan mekanisme izin prakarsa dalam penyusunan kebijakan harus memenuhi empat syarat, yaitu urgensi dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan jangkauan serta arah pengaturan.
BACA JUGA: Mantap Ingin Bercerai, Venti Figianti Bongkar Kelakuan Kiwil
Menurut Roberia hal itu perlu ditempuh dalam proses pembentukan rancangan peraturan perundang-undangan, berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Presiden yang belum tercantum dalam Program Penyusunan Pemerintah.
Permohonan izin prakarsa diajukan oleh kementerian teknis atau lembaga nonkementerian kepada Presiden.
BACA JUGA: Kini Bisa Beli Token Rp5.000 Lewat PLN Mobile
"Persyaratan mengajukan izin prakarsa kepada Presiden harus menaati ketentuan dalam Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 87 Tahun 2014, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu membuat surat permohonan dengan disertai penjelasan yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi," ujar Roberia.
Berkenaan dengan itu, terdapat rencana revisi peraturan yang sedang digodok pemerintah melalui izin prakarsa, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012, tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
BACA JUGA: PT PP Sabet 3 Penghargaan BUMN Corporate Brand Awards 2021
Roberia menambahkan untuk melihat urgensi perubahan suatu peraturan harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu pertama faktor filosofis yang berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut oleh suatu negara.
Kedua, faktor yuridis yang berkaitan dengan norma hukum menurut prosedur pembentukannya.
Ketiga, faktor politis yang didukung oleh kekuatan politik atau dukungan kekuasaan dan terakhir faktor sosiologis.
Terkait hal itu, Sosiolog Universitas Gadjah Mada AB Widyanta berharap, dalam membuat suatu gerakan atau kebijakan, pemerintah perlu mempertimbangkan kepentingan penghidupan banyak warga.
“Kebijakan pemerintah tidak bisa bebas nilai, tapi kebijakannya yang harus ke publik dan seberapa rasional kebijakan diterbitkan,” terang AB Widyanta.
Untuk kebijakan yang berkaitan dengan IHT perlu adanya kebijakan-kebijakan anti tembakau akan memukul IHT.
Menurutnya, dalam situasi yang sedang sulit seperti dampak dari pandemi Covid-19, seharusnya Pemerintah memikirkan kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya di IHT.
“Jangan kemudian di masa ini, kebijakan makin dipersulit yang semakin meminggirkan sektor marjinal. Ini harus dipikirkan jauh dan jangan berpikir jangka pendek,” harap AB Widyanto.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy