lakuDi tahun 1975, Kuon Nhen Lay bergabung dengan kelompok pejuang seperatis menentang pendudukan Indonesia di Timor Leste, sehari sebelum istrinya melahirkan. 20 Tahun Referendum Timor Leste: Banyak warga Timor senang dengan warga Australia yang ikut turun ke jalan menuntut kemerdekaan negaranyaTimor Leste baru menyatakan kembali kemerdekaannya pada bulan Mei 2002Hingga kini masih memiliki memiliki kendala akibat sejumlah masalah, seperti pembangunan infrastruktur
BACA JUGA: Jayapura Rusuh, Jokowi Minta Semua Pihak Damai
Kuon yang saat itu berusia 34 tahun dikenal sebagai 'pejuang geriliya', tapi harus menyembunyikan identitasnya demi melindungi keluarganya.
Ia pun terpaksa mengirimkan istri dan anaknya yang baru lahir ke Australia, sementara dirinya melakukan perjuangan di tanah kelahirannya.
BACA JUGA: Partai Buruh Australia Dukung Perubahan Permudah Visa Bagi Warga Indonesia
"Militer Indonesia membunuh orang dimana saja, mereka tak peduli jika warga bersenjata atau tidak," ujar Khuon yang baru berkumpul lagi dengan keluarganya di Melbourne di tahun 1981.
"Saya tidak mau meninggalkan Timor Leste, tapi saya harus," ujarnya kepada ABC News.
BACA JUGA: Harga Tahu dan Tempe di Australia Akan Lebih Mahal Karena Produksi Kedelai Kurang
Photo: Timor Leste menjadi negara merdeka pada bulan Mei 2002, tiga tahun setelah referendum. (Foto: AFP, Darren Whiteside/Pool)
Khuon adalah satu dari sejumlah warga Timor yang pergi ke Australia menyusul aksi militer yang dilakukan Indonesia yang menewaskan setidaknya 100.000 orang.
Tanggal 30 Agustus 1999, dilakukan referendum atau pemungutan suara, untuk menentukan masa depan mereka dengan didukung oleh PBB.
Hasilnya mereka memilih berpisah dari Indonesia, tapi hasil ini justru memicu sejumlah konflik dan kekerasan.
Australia pun pernah memimpin pasukan penjaga perdamaian untuk menghentikan kekerasan di negara baru tersebut.Berjuang untuk kebebasan: Kuon Nhen, 78 tahun Photo: Kuon Nhen Lay memberikan suaranya saat referendum digelar di kota Melbourne, Australia pada tahun 1999. (Koleksi pribadi.)
Setelah tiba di Australia pada tahun 1981, Kuon terus menggencarkan kampanye kemerdekaan Timor Leste, bekerja sama dengan tokoh pemimpin pejuang Timor, seperti Jose Ramos Horta dan Mari Alkatiri.
Menjelang jajak pendapat kemerdekaan di tahun 1999, ia mengajak agar semua warga komunitas Timor di negara Victoria ikut memberikan suaranya, bahkan dengan rela mendatangi mereka dari rumah ke rumah.
"Mereka tidak mau muncul di TV atau koran, karena mereka takut kalau keluarga mereka di Timor Timur bisa dipenjara," katanya kepada ABC. Photo: Kuon Nhen Lay adalah seorang pejuang geriliya yang kini menetap di Melbourne. (Foto: ABC News, Anthony Stewart)
Meski ada rasa ketakutan, 78 persen warga Timor memilih untuk merdeka dan memisahkan diri dari Indonesia.
"Saya tahu kita akan mendapat kebebasan, luar biasa rasanya."
Tapi perayaan dan suka cita tak lama berubah menjadi hal yang mengerikan, saat militer Indonesia melancarkan aksinya di Timor Timur saat itu, menewaskan ratusan orang, bahkan meratakan ibu kota Dili.
Melihatnya dari Australia, Kuon merasa tidak bisa melakukan apa-apa.
"Orang-orang telah berjuang dan menderita selama 24 tahun, mereka mulai melihat kehidupan baru, tapi kemudian kehilangan hidup mereka," katanya.
Ketika kekerasan dilaporkan meningkat, warga Australia pun tak tinggal diam. Mereka menggelar sejumlah demonstrasi besar-besaran di hampir seluruh kota besar.
Aksi turun ke jalan yang dilakukan warga Australia tersebut adalah tuntutan agar pemerintah Australia mengirimkan pasukan penjaga perdamaian.
"Warga dari semua kalangan menunjukkan kebaikan dan persahabatan mereka," kata Kuon yang baru saja menjadi warga negara Australia di awal bulan Agustus 2019 lalu.
"Saya selalu ingin kembali ke Timor Timur, tetapi anak-anak dan keluarga saya ada di sini.
"[Australia sekarang] rumahku."Diraih dengan 'darah dan air mata': Carla, 34 tahun Photo: Carla Chung pernah menjadi aktivis yang berani mengkampanyekan soal referendum Timor Leste. (Foto: ABC News, Anthony Stewart)
Carla Chung asal Timor Leste adalah seorang aktivis di organisasi serikat pekerja di Melbourne.
Ketika berusia 14 tahun, ia menjadi saksi mata pembantaian Santa Cruz di Dili, yang menewaskan setidaknya 250 pelajar tewas saat tentara Indonesia menembak ke arah kerumunan yang sedang berunjuk rasa dengan damai di tahun 1991.
"Kita masih anak-anak," kata Carla kepada ABC.
"Kita tadinya berpikir tentara akan menembak, karena media internasional juga sedang ada disana." Photo: Dilaporkan 250 mahasiswa dan pelajar asal Timor Leste terbunuh karena aksi militer yang digencarkan tentara Indonesia di tahun 1991. (Flickr: Santa Cruz Cemetery, Molly Mueller)
Insiden itu membuat Carla marah dan saat dirinya menjadi mahasiswa, ia semakin aktif dalam menggencarkan protes sampai membuat keluarganya khawatir ia akan dibunuh.
"Semakin tidak aman bagi saya untuk tetap [di Timor-Leste], perempuan menjadi sasaran perkosaan, [dan] saya bisa saja dibunuh," katanya.
Berkat koneksi keluarga, ia kemudian melarikan diri ke Victoria, Australia di tahun 1994, meski ia mengaku tidaklah mudah begitu saja untuk bisa lari ke Australia.
Carla menepis tuduhan jika Australia telah membantu Timor Leste untuk merdeka, karena saat itu Australia justru berpihak pada Indonesia, seperti yang juga disebutkan dalam sebuah dokumen intelijen Amerika Serikat soal misi penjaga perdamaian.
Pada 1999, Chung telah menjadi aktivis yang vokal dan membantu komunitas Timor di Melbourne untuk ikut berpartisipasi dalam referendum.
Saat hari referendum tiba, dirinya menjadi gelisah dan ketakutannya menjadi kenyataan setelah kekerasan militer meletus setelah referendum.
Kedua orangtuanya sudah kabur meninggalkan Dili dan dilaporkan 1.400 orang meninggal dalam insiden berdarah tersebut.
"[Kemerdekaan] tidak diberikan kepada kita seperti hadiah, tapi sesuatu yang kita dapatkan lewat darah dan air mata."'Menunjukkan pada Dunia': Samuel, 19 Tahun Photo: Samuel Boavida mengaku dirinya bangga memiliki darah Timor meski ia lahir dan dibesarkan di Australia. (Foto: ABC News, Anthony Thompson)
Samuel Boavida adalah salah satu generasi pertama Timor yang lahir setelah referendum.
Meski lahir di Australia dan tidak pernah mengalami kesulitan seperti generasi sebelum dirinya, pria berusia 19 tahun ini masih menghargai arti kemerdekaan Timor Leste.
"Ini penting, karena kita mampu mengambil kendali untuk diri sendiri dan ... dapat [menunjukkan] siapa kita," katanya.
"Luar biasa menjadi merdeka, tetapi pada saat yang sama ada masalah yang masih harus diselesaikan di komunitas sendiri."
Samuel mengatakan ia memiliki "perasaan campur aduk" dalam merayakan peringatan 20 tahun kemerdekaan Timor Timur, karena negara itu masih membutuhkan banyak perbaikan, termasuk jalan-jalan dan infrastruktur lainnya.
"Saya ingin kita berkembang menjadi negara yang kaya, kuat, dan bebas ... [dan] menunjukkan kepada dunia apa yang bisa kita lakukan," katanya.
Ia mengaku bangga menjadi orang Timor yang dibesarkan di Australia karena telah membuatnya lebih menerima budaya-budaya lain.
"Saya diberi tahu untuk bangga dengan dari mana saya berasal, tidak malu dan menyembunyikannya, dan berbagi soal budaya saya dengan orang lain," katanya.
"Karena ini semua tentang [mencintai], berbagi, dan menerima."
Sementara itu ada pula warga Timor yang terpaksa meninggalkan kampung halaman dan harta benda mereka karena memilih pindah ke Indonesia.
Mereka tinggal di sejumlah tempat pengungsian dan hingga kini mereka mengaku masih kurang diperhatikan.
Saksikan episode Four Corners yang mengungkap apa yang dirasakan warga Timor sebelum dan sesudah referendum kemerdekaan Timor-Leste, A Licence to Kill dan Silenced Majority, di ABC iView.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hillsong dan Gereja Pantekosta di Australia Menarik Lebih Banyak Anak Muda