jpnn.com - Mohon maaf kepada Anda yang tidak paham bahasa Jawa.
Akhir-akhir ini lanskap politik Indonesia banyak memunculkan kosakata bahasa Jawa.
BACA JUGA: Ganjar Pranowo Bantah Tidak Menghormati Megawati
Setelah Presiden Joko Widodo memopulerkan narasi ‘’ojo kesusu’’, sekarang muncul diksi baru ‘’kemlinthi’’.
Ojo kesusu disampaikan Presiden Joko Widodo dalam rakernas sukarelawan Jokowi, Projo, di Magelang beberapa waktu lalu.
BACA JUGA: NasDem Bakal Rakernas, Surya Paloh Menyebut Nama Ganjar, Anies, Prabowo
Dengan diksi itu, Jokowi dianggap telah melempar kode keras dukungan terhadap Gubernur Jateng Ganjar Pranowo untuk menjadi suksesornya.
Secara tidak kebetulan, Ganjar juga diundang untuk menghadiri acara itu.
BACA JUGA: Andai Jokowi Dukung Ganjar, tetapi Megawati Usung Puan...
Ungkapan ojo kesusu menjadi trending topic nasional sekaligus menjadi diksi baru dalam lanskap politik nasional.
Jokowi memang sering melempar diksi—sengaja atau tidak—dalam bahasa Jawa, yang kemudian memperkaya (atau mempermiskin) kosakata politik Indonesia.
Jokowi pernah membuat ungkapan ‘’aku ora opo-opo’’, saya tidak apa-apa, untuk menjawab berbagai kritik terhadapnya.
Ungkapan itu menjadi terkenal seperti lagu dangdut koplo yang dinyanyikan Julia Perez.
Akibat ungkapan ojo kesusu itu kabarnya kubu PDIP meradang.
Ungkapan itu dianggap menantang otoritas PDIP.
Ungkapan itu secara khusus membuat Megawati Soekarnoputri sebagai supremo partai tersinggung.
Dua orang petugas partai--satu ditugaskan sebagai gubernur dan satu ditugaskan sebagai presiden—dianggap mulai mbalela, melawan otoritas Megawati.
Serangan balasan terhadap petugas partai yang mbalela langsung dilancarkan.
Seperti counter attack dalam dunia sepak bola, serangan harus dilakukan cepat dan serentak supaya menghasilkan gol balasan.
Kubu PDIP menyerang balik melalui Masinton Pasaribu yang menyebut Jokowi sebagai penguasa bebal.
Pernyataan itu dilempar Masinton setelah Jokowi menunjuk Luhut Panjaitan sebagai komandan penanganan masalah krisis minyak goreng yang belum menunjukkan tanda-tanda selesai.
Penunjukan Luhut banyak dipertanyakan oleh berbagai kalangan, karena sekali lagi Jokowi menujukkan ketergantungannya yang besar kepada Luhut.
Masinton tanpa tedeng aling-aling menyebut Jokowi sebagai penguasa bebal.
Pasalnya, sudah berkali-kali Jokowi diingatkan oleh PDIP, tetapi tidak menghiraukan.
Masinton yang jengkel langsung menyebut Jokowi penguasa bebal.
Untung Masinton tidak memakai istilah Jawa.
Kalau dia memakai bahasa Jawa, maka dia akan menyebut Jokowi sebagai penguasa ndablek.
Masinton menjadi ujung tombak PDIP dalam menyerang kepemimpinan Jokowi.
Sebelumnya, Masinton terang-terangan mendesak Luhut Panjaitan untuk mengundurkan diri dari posisinya, karena dia dianggap bertanggung jawab dalam menggelindingkan wacana Jokowi tiga periode.
Akibat sikapnya itu, Masinton diprotes dan menjadi sasaran demonstrasi.
Masinton tidak takut. Kali ini, dia malah langsung menyerang Jokowi.
Kata pelawak Asmuni, serangan Masinton itu ‘’tunjek poin’’, maksudnya to the point, langsung mengarah ke sasaran.
Sebutan bebal ini menjadi kode keras bahwa PDIP sudah mulai kehilangan kesabaran terhadap Jokowi.
Kolega Masinton di DPR RI, Trimedya Panjaitan, kemudian menyusul melakukan serangan balik dari posisi sayap.
Kali ini yang diserang adalah Ganjar Pranowo yang dianggap sebagai protégé, anak asuh Jokowi.
Trimedya menyebut Ganjar kemlinthi, yang artinya banyak tingkah atau overacting.
Dalam bahasa milenial, kemlinthi adalah songong atau congkak.
Entah kebetulan atau tidak. Dua penyerang PDIP ini sama-sama berlatar belakang etnis Batak.
Masinton berani menyerang Luhut dan Jokowi, sekarang Trimedya menyerang Ganjar.
Kali ini Trimedya sengaja memakai diksi Jawa supaya serangannya lebih mengena.
Ganjar disebut kemlinthi alias songong karena tidak menghargai Megawati sebagai supremo partai.
Ganjar dianggap melecehkan Megawati karena tidak meghiraukan perintahnya supaya fokus mengerjakan tugasnya sebagai petugas partai di Provinsi Jawa Tengah.
Ketika terjadi banjir rob di Semarang dan sekitarnya, Mega menyentil Ganjar dengan mengatakan Ganjar ditugaskan menjadi petugas partai di Jawa Tengah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat.
Alih-alih menyelesaikan masalah rob, Ganjar ngelencer, keluyuran, melakukan roadshow ke Sumatera dan Sulawesi.
Hal ini dianggap sebagai roadshow politik untuk mencari dukungan sebagai kandidat presiden.
Belakangan ini memang lagi musim roadshow politik, dan Ganjar rupanya ketularan latah untuk ikut-ikutan melakukan roadshow.
Itulah yang membuat Trimedya berang dan kemudian menyebut Ganjar kemlinthi.
Serangan ini menjadi yang kesekian kali dilakukan PDIP terhadap Ganjar.
Sebelumnya, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul melakukan serangan terhadap Ganjar.
Bambang Pacul dianggap lebih pas untuk diperhadapkan dengan Ganjar.
Sama-sama Jawa, dan Bambang Pacul punya posisi di partai sebagai ketua PDIP Jawa Tengah.
Di kepemimpinan pusat, Pacul menjadi ketua bidang pemenangan nasional.
Dengan posisi itu, Pacul menyerang Ganjar dengan menyebutnya keminter dan kebanteren, sok pintar dan terlalu kencang dalam berlari.
Ganjar dianggap lalai atau abai dalam menjalankan tugas sebagai gubernur dan lebih asyik bermain media sosial untuk pencitraan.
Ganjar tidak bereaksi atas serangan ini. Alih-alih berhenti bermain medsos, Ganjar malah makin gencar menyosialisasikan diri.
Puan Maharani yang merasa tersaingi langsung oleh Ganjar juga mencoba melakukan serangan.
Dalam sebuah acara di Wonogiri, Puan menyindir kepala daerah yang hanya bisa mejeng di media, tetapi tidak bisa bekerja untuk rakyat.
Wonogiri tidak mempunyai layanan air bersih selama bertahun-tahun, dan Puan turun tangan untuk membantu.
Serangan Puan ini juga tidak direspons langsung oleh Ganjar.
Kali ini Ganjar bereaksi terhadap serangan oleh Trimedya.
Rupanya Ganjar terusik juga ketika dianggap tidak menghargai Megawati Soekarnoputri.
Ganjar terusik karena disinggung soal pembangunan waduk Wadas yang bermasalah.
Ganjar tidak nyaman ketika rekor kemiskinan di Jawa Tengah diungkit-ungkit.
Ganjar gerah karena dianggap tidak bekerja maksimal selama 8 tahun menjadi gubernur.
Dicegat wartawan, Kamis (2/6), Ganjar berkomentar, “Saya menghormatilah, itu, kan, urusan copras-capres, toh, itu. Capres itu di PDIP sudah jelas, itu urusannya ketua umum. Urusannya Bu Mega.”
Coba perhatikan narasi yang dipakai Ganjar untuk merespons Trimedya.
Ganjar menyebut frasa ‘’copras-capres’’ untuk menyebut perhelatan Pemilihan Presiden 2024.
Frasa itu persis yang digunakan oleh Jokowi menjelang Pilpres 2014.
Ketika itu Jokowi masih menjabat sebagai gubernur DKI, dan disebut-sebut sebagai salah satu kandidat presiden potensial.
Ketika dicegat wartawan, Jokowi menyebut, ‘’Saya enggak ngurus copras-capres, saya ngurus kaki lima.”
Kali ini, Ganjar memakai diksi itu.
Ganjar tidak mengurus masalah ‘’copras-capres’’, Ganjar mengurus masalah banjir rob yang belum selesai.
Dua peristiwa berbeda tetapi diksi yang dipakai sama.
Ganjar—sengaja atau tidak—telah menempatkan diri sebagai ‘’cover version’’ Jokowi.
Hubungan PDIP dengan Jokowi dikabarkan renggang dan retak akibat insiden ‘’ojo kesusu’’.
Mega tersinggung dan tidak hadir ke acara Jokowi yang menikahkan adik kandungnya dengan Ketua MK Anwar Usman.
Puan Maharani juga tidak tampak hadir.
Ketika Jokowi mengadakan upacara resmi memperingati Hari Lahir Pancasila di Ende, NTT, Megawati dan Puan juga tidak tampak hadir.
Ibu anak itu juga tidak hadir secara virtual sebagaimana yang dilakukan oleh Ganjar.
Hal ini menimbulkan berbagai spekulasi bahwa hubungan Mega dengan sang petugas partai sudah mulai renggang.
Siapa yang yang kesusu dan siapa yang kemlinthi? (*)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror