jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memperkuat peran dan tugas Atase Ketenagakerjaan (Atnaker), termasuk pengaturan mekanisme pelaksanaan tugas dan fungsinya di negara-negara penempatan.
Melalui penguatan peran Atnaker di negara penempatan, maka diharapkan isu/permasalahan yang dihadapi oleh Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri dapat diminimalisir secara signifikan.
BACA JUGA: Kemnaker Promosikan Inkubasi Bisnis Pelatihan Barista
Plt Dirjen Binapenta dan PKK Kemnaker Aris Wahyudi mengatakan hal itu seusai penandatanganan deklarasi komitmen bersama bertema "Peningkatan PMI secara nonprosedural, tindak pidana perdagangan orang, penghapusan kekerasan terhadap perempuan pekerja migran dan penguatan Atnaker," kata Aris di Jakarta, Senin (28/10).
Hingga saat ini, Eva mengungkapkan Pemerintah Indonesia memiliki 13 Atase/Kepala Bidang/Staf Teknis Ketenagakerjaan yang tersebar di 12 negara. Yakni Singapura, Malaysia, Brunei Darrusalam, Korea Selatan, Hongkong, Jordania, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Arab Saudi dan Taiwan.
BACA JUGA: Kemnaker Dorong Pemerataan Kualitas Instruktur di Indonesia
Aris Wahyudi mengatakan, sesuai UU Nomor 18 Tahun 2017, tugas pelindungan PMI selama bekerja menjadi tanggung jawab Perwakilan Republik Indonesia melalui Atnaker. Untuk meningkatkan pelindungan selama bekerja, maka peran dan tugas Atnaker di negara tujuan penempatan menjadi sangat signifikan. "Dengan disahkan UU 18 thn 2017, peran Atnaker yang selama ini dikonotasikan hanya mengurusi PMI dan kelembagaannya pun di bawah PPTKLN, maka ke depan Atnaker ini menjadi wakil Kemnaker atau pemerintah di negara-negara penempatan," kata Aris Wahyudi.
Data survey World Bank tahun 2016 menunjukan, sebanyak 48 persen dari sekitar 9 juta PMI kita yang bekerja ke luar negeri bekerja secara non prosedural dan mayoritas PMI adalah perempuan yang tentu sangat rentan terhadap permasalahan.
"Oleh karenanya, penting bagi kita untuk memikirkan bersama mencari solusi yang tepat terkait isu yang menimpa PMI perempuan, sebab nyatanya tidak sedikit PMI perempuan yang bekerja pada sektor rentan atau sebagai domestic workers," ujar Aris.
"Munculnya kasus-kasus Tindak Perdagangan Orang (TPO), pelecehan seksual/eksploitasi, serta diskriminasi di tempat kerjanya selama ini, sesungguhnya dapat diminimalisir apabila upaya perlindungan yang berbasis gender perspektif dapat dilakukan, baik di tataran kebijakan maupun implementasi program/kegiatan," kata Aris.
Direktur Pelindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PTKLN) Kemnaker, Eva Trisiana menyatakan peran utama Atnaker idealnya ada empat. Pertama, melindungi PMI dan kedua memberi masukan dalam penyusunan kebijakan di negaranya. Ketiga, harus bisa membangun hubungan baik dengan stakeholder di negara penempatan serta keempat, mempromosikan bidang-bidang ketenagakerjaan sekaligus mencari peluang pasar kerja di negara penempatan.
"Jadi semua peran itu, harus bisa diemban seorang Atnaker. Jadi dia harus bisa merepresentasikan Kemnaker, tidak hanya fokus pelindungan pekerja migran," katanya
Tapi diakui Eva, karena keterbatasan jumlah Atnaker, hingga saat ini,belum terbentuknya kelembagaan Atase, maka konsekuensinya dari segi anggaran, belum bisa mensupport Atnaker secara ideal. Menurutnya, apabila Atnaker mampu menjalankan peran utama yang dikembangkan ILO, Eva meyakini berbagai kasus yang menimpa PMI di luar negeri bisa diminimalisir.
Dalam FGD itu juga dilakukan penandatanganan komitmen bersama oleh para pihak untuk pencegahan PMI Nonprosedural. Yakni perwakilan K/L terkait, diantaranya Kemdagri, Kepolisian, Kemkes, BNP2TKI, Kemlu, BNSP, dan lainnya. "Komitmen bersama para pihak ini agar perlindungan terhadap PMI khususnya PMI perempuan benar-benar bisa terlaksana," pungkas Eva. (jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi