Preman, jagoan, atau entrepreneur kekerasan dinilai tak pernah absen dalam perpolitikan Indonesia. Sejak era orde baru hingga saat ini, organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan praktek kekerasan selalu muncul walau dengan pola hubungan yang berbeda, baik dengan penguasa ataupun rakyat.
Lemahnya penegakan hukum dan tak terpenuhinya kebutuhan dasar warga miskin dianggap sebagai faktor langgengnya preman politik.
BACA JUGA: Pencari Suaka Di Pulau Manus Raih Penghargaan Sastra Bergengsi Australia
Orde baru yang berlangsung selama 32 tahun di Indonesia mewariskan sejumlah ormas yang dianggap dekat dengan negara dan melakukan kekerasan.
Rezim otoriter pimpinan Soeharto itu, sebagai sistem kekuasaan, dipandang memiliki hubungan atau relasi khusus yang dibangun dengan entrepreneur kekerasan pada tingkat lokal, baik di tingkat kampung maupun organisasi.
BACA JUGA: Agen Imigrasi Penipu Terancam Dideportasi Ke Selandia Baru
Photo: Sampul buku "Politik Jatah Preman" dalam versi aslinya, bahasa Inggris. (Supplied; Ian D,Wilson)
Namun setelah orde baru tumbang dan reformasi bergulir, keberadaan dan pola operasi ormas-ormas tersebut dinilai lebih rumit.
BACA JUGA: Rencanakan Aksi Teror, Pasangan Berjulukan Bonnie Dan Clyde Muslim Dipenjarakan
Mereka tak lagi menempel penguasa lekat-lekat, namun juga tak menjauh dari hingar-bingar dunia politik.
Pasca reformasi, mereka beroperasi layaknya pegawai lepas atau freelance dalam perpolitikan Indonesia.
Pada buku berjudul "Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru" -yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Desember 2018 lalu, penulis Ian Douglas Wilson mencoba menguraikan bagaimana demokratisasi di Indonesia merubah pola relasi antara kelompok-kelompok kekerasan lokal dengan aparat negara.
Menurut Wilson -peneliti dari Murdoch University, Australia, ada kompleksitas di dalam hubungan-hubungan itu saat ini.
"Yang pertama, dulu mereka harus berinduk ke negara, jadi enggak mengherankan kelompok seperti Pemuda Pancasila, mereka tujuannya untuk membela NKRI, membela Pancasila dan sebagainya."
"Jadi mereka dianggap punya peran ideologis tapi juga peran di jalan untuk mengawasi, mengontrol unsur-unsur masyarakat, kekuatan sosial yang lain, yang mungkin dianggap mengancam negara," jelas Wilson kepada Nurina Savitri dari ABC melalui sambungan telepon.
Ia melanjutkan, "Pasca orde baru, pola-polanya berubah. Jadi ada yang mulai mengatasnamakan bukan membela Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dan berinduk ke negara, tapi mereka punya identitas yang beda-beda."
Ada kebangkitan ormas yang berinduk ke identitas, sebut Wilson.
Misalnya di Jakarta, ia menyebut munculnya organisasi masyarakat Betawi, seperti FBR (Forum Betawi Rempug) dan Forkabi (Forum Komunikasi Anak Betawi).
Di bukunya, Wilson juga menceritakan soal keberadaan Front Pembela Islam (FPI) yang bermula dari tahun 1998/1999. Para pemimpin dan para pasukan FPI saat itu, paparnya, masih dirangkul oleh para pejabat tinggi dari TNI, dalam konteks Pamswakarsa.
"Perwira TNI saat itu, mereka merangkul berbagai elemen masyarakat untuk menjadi pasukan untuk menghalangi gerakan mahasiswa, gerakan reformasi, dan bisa disebut gerakan yang mau perubahan secara struktural terhadap sistem kekuasaan di Indonesia. FPI muncul dalam konteks itu," jelas akademisi yang meneliti dari periode 2004-2014 untuk "Politik Jatah Preman" itu.
Ketika Orde Baru tumbang, ormas-ormas tersebut merasa kehilangan kontrol sehingga harus mencari relasi-relasi baru. FPI menggunakan identitas Islam untuk melawan sekularisme yang mereka anggap sebagai ekses dari demokrasi.
Sementara Ormas seperti FBR, yang kemudian muncul di tahun 2001 menggunakan identitas budaya untuk mewakili komunitas Betawi.
"Jadi hubungan antara elit dengan ormas seperti FPI, FBR ada tetapi ini sudah zaman demokrasi dan kontrol aparat kenegaraan atau figur elit politik tidak seperti sebelumnya," ujar Wilson dalam bahasa Indonesia yang fasih kepada ABC.
Ia memaparkan, ormas-ormas bercorak kekerasan bisa menjalin hubungan untuk proyek politik tertentu, tapi mereka tak lagi dikontrol oleh siapapun.
"Mereka saya kira preman yang sudah bisa freelance, orang merdeka. Mereka freelancer dalam arti mereka bisa kerja untuk siapa saja asal sesuai dengan kepentingan mereka."
Di sisi lain, ada kontradiksi yang muncul. Meski mereka mempraktekkan relasi yang lama sebagai kekuatan jalanan yang bisa dibayar atau disewa, mereka juga dinilai bisa memberi jaminan terhadap kebutuhan anggota.
"Ormas sering main di daerah seperti Bekasi untuk berhadapan dengan serikat buruh, dan mereka dibayar untuk hal itu. Tapi pada saat yang sama mereka bisa menjadi wadah untuk perwakilan masyarakat menengah ke bawah, masyarakat miskin," sebut Wilson.
Terkait temuan Wilson mengenai entrepreneur kekerasan dalam Ormas, Ketua FBR Luthfi Hakim mengatakan pihaknya tak bisa menutup mata.
"Kalau memang itu ada ya (di dalam FBR), kita memang tidak bisa nafikan ya. Tapi kan keberadaan kita memang berangkat dari masyarakat dan bergerak sesuai dengan keadaan di masyarakat.
"Terlalu naif kalau kita mengatakan tidak ada, tapi kan itu memang realita yang ada di masyarakat. Ada enggak ada FBR, itu (premanisme) juga terjadi kan," tuturnya kepada ABC.
Namun Luthfi membantah adanya kontrak politik yang dilakukan organisasinya dengan elit manapun.
"Kita tidak pernah melakukan kontrak politik dengan elit, artinya secara organisasi FBR tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Tapi kita membebaskan anggota-anggota untuk aktif di partai manapun."
Ia juga mengaku organisasinya menindak tegas anggota yang melakukan praktek 'jatah preman'.
"Jangankan anggota biasa, ada Panglima FBR pernah saya pecat. Dia melakukan tindakan seolah mengadvokasi warga tapi kemudian ia ambil uangnya tanpa ada tindakan apapun yang pada akhirnya merugikan orang itu sendiri.Mengatasi entrepreneur kekerasan
Menurut Tenry Masengi, mantan aktivis '98 yang sempat aktif di PDIP, tumbuh suburnya organisasi yang dituding ormas preman dalam era reformasi, disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum.
"Lembaga-lembaga penegakkan hukum kehilangan kepercayaan masyarakat. Namun pada bagian lain, ada lembaga penegakkan hukum justru mengambil keuntungan dari keadaan ini. Ormas menjadi perpanjangan tangan dari kegiatan ilegal aparat-aparat korup," ujarnya kepada ABC. Photo: FBR merupakan salah satu ormas yang masuk dalam subyek penelitian Ian Wilson. (Supplied; Luthfi Hakim)
Kondisi ekonomi yang buruk, dinilai pria yang kini berprofesi sebagai pengacara ini, juga menyuburkan praktek tersebut.
"Bahkan dalam skala kecil, kita permisif bahkan mengamini praktek-praktek 'memalak' seperti di jalan-jalan saat putar balik kendaraan. Atau uang jago bagi para pengemudi angkutan umum," utaranya.
Ia berpendapat, praktek jatah preman semakin parah saat demokrasi langsung mulai diterapkan.
"Praktek membeli suara, money politics, beli nomor urut pencalegan semakin menjelaskan tidak saja ormas tapi juga partai menjadi fasilitatornya," sebut Tenry.
Sementara menurut politisi Gerindra, Miftah Nur Sabri, munculnya fenomena preman politik memang bertambah kompleks setelah reformasi berjalan.
Demokrasi dijadikan salah satu alat untuk mempertahankan keuntungan ormas preman.
"Di pilkada misalnya, tapi tidak semua daerah ya, di daerah-daerah tertentu kehadirannya cukup dominan."
Ia lantas mencontohkan transaksi politik yang melibatkan preman di ranah lokal.
"Kalau preman berorganisasi itu rapi, seperti profesional. Kalau dulu dimanfaatkan rezim, kalau sekarang mereka biasa muncul di Pilkada," ujar Miftah kepada ABC.
"Dia dukung walikota ini, dia punya massa sekian. Nanti kalau menang, parkir elu pegang. Akhirnya PD Parkir kota itu enggak maju."
Sebagai peneliti, Wilson mengatakan persoalan entrepreneur kekerasan dalam perpolitikan Indonesia begitu rumit dan tidak ada solusi sederhana untuk mengatasinya.
Namun ia menekankan pentingnya penerapan hukum ketika anggota kelompok ormas ini melanggar hukum. Jika dibiarkan, keberadaan mereka bisa menjadi lebih kuat.
"Sejarah FPI, misalnya, adalah sejarah pelanggaran hukum yang berulang dan dibiarkan. Meski menggunakan dalil agama, mereka tetap dibolehkan untuk melanggar hak orang lain dan otoritas tak berbuat apa-apa."
"Ini makin lama mereka merasa menjadi kekuatan di luar penegak hukum. Mereka bisa mengintimidasi minoritas, dan negara mesti berperan untuk melindungi mereka, tapi tidak dilakukan."
Solusi lain yang ditawarkan Wilson adalah penyediaan layanan dasar untuk masyarakat menengah ke bawah.
"Ormas sering mengisi kekosongan dalam memberi hal-hal yang dibutuhkan masyarakat," sebutnya.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... MH370 Jatuh Didekat Madagascar Berdasarkan Sinyal Mikrofon Bawah Laut