JAKARTA - Pengamat ekonom Anggito Abimanyi menilai menaikkan tarif tenaga listrik dinilai lebih mendesak dibandingkan dengan menaikkan harga BBM. Ini karena tarif listrik belum pernah naik sejak 2004. Selain itu, segmentasi yang beragam pada tarif listrik, bisa membuat penyaluran subsidi menjadi tepat sasaran.
"Tarif listrik itu lebih sensitif harga dibandingkan BBM. Kalau listrik dinaikkan, bisa dihemat. Tapi kalau tidak pakai BBM, tidak bisa jalan," kata Anggito di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta,Selasa (20/3).
Anggito mengatakan kebutuhan subsidi listrik yang sudah mendekati Rp 100 triliun, sudah tidak sehat bagi APBN. Kenaikan tarif listrik juga mendesak karena program pembangkit listrik 10.000 MW tenaga batubara dan panas bumi belum sesuai dengan rencana. Kelistrikan nasional juga masih dihinggapi masalah tingginya biaya pokok produksi karena kurangnya pasokan gas dan batubara.
Ekonom Universitas Gadjah Mada yang pernah menjadi Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu itu mengatakan, target pertumbuhan listrik 7 persen setahun tidak diimbangi dengan penyediaan pembangkit non BBM. Ini membuat listrik menjadi sangat sensitif terhadap harga peningkatan harga minyak mentah.
Meski kenaikan tarif listrik merupakan kebutuhan mendesak, Anggito berpendapat kenaikan harga BBM juga tetap perlu dilakukan. Ia menghitung, kenaikan harga yang pantas dilakukan agar neraca migas sama dengan posisi sebelum pengajuan APBN Perubahan adalah Rp 700 per liter.
Sedangkan kenaikan harga BBM yang ideal menurutnya adalah Rp 1.000 per liter. Menurut Anggito, jika harga BBM dinaikkan Rp 1.000 per liter, dampak inflasi akan lebih terkendali di kisaran 2 persen. Sedangkan jika dinaikkan Rp 1.500 per liter, inflasi bisa di atas 2 persen. Selain itu, kebutuhan anggaran untuk program kompensasi juga menjadi lebih besar.
Dia menambahkan, jika tanpa kenaikan harga BBM dan listrik, pendapatan dari sektor migas dikurangi beban subsidi memang masih surplus Rp 68,8 triliun. Namun jika dikurangi Dana Bagi Hasil ke daerah, surplusnya tinggal Rp 18,4 triliun. Sedangkan jika ditambah subsidi listrik, menjadi defisit Rp 68 triliun.
Anggito mengatakan, tanpa kenaikan harga BBM, defisit anggaran bisa di atas 3 persen dari Produk Domestik Bruto. "Kenaikan harga BBM juga memberikan insentif pada pengembangan bahan bakar gas dan energi alternatif," katanya. (sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dekranas Peduli Penyandang Cacat
Redaktur : Tim Redaksi