Kenapa Vanuatu Selalu Begitu Kepada Indonesia?

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 27 September 2021 – 11:54 WIB
Peta Republik Vanuatu. Foto: Google Map

jpnn.com - Vanuatu adalah negara kecil terdiri dari puluhan pulau-pulau kecil di Samudra Pasifik, sebelah timur Benua Australia.

Penduduknya sekitar 300 ribu orang, hidup sebagai suku-suku dengan mengandalkan pertanian dan hasil laut sebagai sumber mata pencaharian.

BACA JUGA: Vanuatu Belum Kapok, Sindy Nur Fitri Beri Respons Menohok

Selain Vanuatu, ada juga negara kepulauan kecil yang tersebar di Pasifik, seperti Samoa, Kaledonia Baru, Kepulauan Solomon. Ada juga negara-negara kepulauan kecil yang masyhur sebagai tujuan wisata seperti Maladewa dan Fiji.

Vanuatu negara kecil yang masuk kategori miskin. Negara kecil ini membuat Indonesia tidak nyaman berjalan dalam diplomasi internasional. Dalam lima tahun terakhir sejak 2016 di forum Sidang Umum PBB, Vanuatu selalu menyoal rekor hak asasi manusia (HAM) Indonesia di Papua.

BACA JUGA: Vanuatu Curiga Ada yang Mengoordinasi Komentar Rasis Netizen Indonesia

Tahun ini pun Vanuatu melakukan hal yang sama. Sidang Umum tahun ini Presiden Jokowi diberi kesempatan untuk memberikan pidato. Hal ini sudah menjadi tradisi di PBB untuk memberi kesempatan kepada semua pemimpin dunia untuk memberikan pidatonya.

Di forum SU ini setiap negara boleh berbicara mengenai apa saja.

BACA JUGA: Mengenal Vanuatu, Negara yang Menuding Pemerintah Indonesia Melakukan Pelanggaran HAM di Papua

Vanuatu mempergunakan kesempatan untuk mempertanyakan perlakuan Indonesia terhadap Papua.

Vanuatu menuduh pemerintah Indonesia melakukan pelanggaran HAM di Papua, dan mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikannya.

Vanuatu juga mendesak pemerintah Indonesia untuk memberi kebebasan kepada warga Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, melalui referendum yang bebas dan demokratis.

Referendum yang pernah dilakukan pada 1969 melalui Pepera (penentuan pendapat rakyat) dianggap penuh rekayasa dan banyak manipulasi politik.

Melalui Pepera itu, mayoritas warga Irian Barat—sebutan Papua ketika itu—memilih untuk bergabung dengan Indonesia.

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 1945, Belanda tidak serta-merta mengakui kemerdekaan karena masih ingin meneruskan penjajahannya yang sudah berlangsung 350 tahun.

Belanda mendompleng pasukan Sekutu yang masuk ke Indonesia untuk melucuti pasukan Jepang yang sudah menyerah, setelah Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Agustus 1945.

Memanfaatkan momentum itu Soekarno dan Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia, tanpa menunggu persetujuan Sekutu maupun izin Jepang yang masih punya sisa-sisa pasukan di Indonesia.

Belanda masuk ke Indonesia bersama Sekutu dan ingin mendapatkan kembali kekuasaannya. Rakyat Indonesia melawan dengan gagah berani sehingga pecah perang besar seperti perang Surabaya pada 10 November 1945.

Melihat semangat rakyat yang bergelora, Sekutu kemudian menarik pasukan dari Indonesia. Namun, Belanda yang tidak rela kehilangan kekuasaan, masih terus berusaha merongrong pemerintahan baru Indonesia.

Belanda tidak ikhlas kehilangan Indonesia yang selama ratusan tahun menjadi sumber kekayaan berlimpah yang menjadikan Belanda makmur. Setelah melewati berbagai peperangan dan negosiasi yang alot, Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1959.

Itu pun dilakukan Belanda dengan setengah hati. Belanda masih tetap ingin menancapkan pengaruhnya di beberapa wilayah Indonesia, terutama di Papua.

Belanda mendesak agar Papua diberi hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pemerintah Indonesia mempertahankan Papua mati-matian, antara lain melalui operasi militer Trikora—tiga komando rakyat—pada 1961-1962.

Belanda kemudian setuju menyerahkan penyelesaian masalah Irian Barat kepada PBB (Peserikatan Bangsa Bangsa). Keputusan kemudian diambil untuk melakukan referendum yang dikenal sebagai Pepera pada 1969.

Pada pelaksanaan referendum itu sekitar seribu orang diseleksi untuk memberikan suara, hasilnya secara aklamasi mereka memilih bergabung dengan Indonesia dan menolak menjadi bagian Belanda.

Proses pemilihan ini dianggap penuh rekayasa dan banyak pihak yang mempertanyakan keabsahan hasilnya. Pepera--dalam bahasa Inggris disebut sebagai ‘’The Act of Free Choice—kemudian diplesetkan menjadi ‘’The Act of No Choice.

Sampai sekarang proses Pepera masih ada yang mempertanyakan. Sampai sekarang integrasi Papua masih belum tuntas seratus persen. Gerakan separatis Papua masih tetap aktif dalam bentuk Operasi Papua Merdeka yang menghendaki pemisahan dari Indonesia.

Organisasi Pembebasan Papua Barat yang dipimpin oleh Benny Wenda, sampai sekarang masih tetap berkampanye untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat.

Benny Wenda sekarang hidup dalam eksil di Inggris, dan tetap aktif melakukan lobi-lobi politik untuk menyuarakan tuntutan kemerdekaannya.

Apa yang dilakukan Vanuatu di SU PBB menunjukkan bahwa lobi-lobi gerakan Papua merdeka masih tetap berjalan.

Negara-negara kepulauan di Pasifik setidaknya menunjukkan simpati terhadap gerakan itu, karena mereka mempunyai kesamaan etnis dengan masyarakat Papua yang sama-sama ras Melanesia.

Gerakan Vanuatu ini tidak bisa dianggap remeh, karena meskipun hanya negara kecil, tetapi bisa menimbulkan problem serius. Sebagai negara kecil, Vanuatu memang tidak sebanding dengan Indonesia.

Namun, solidaritas negara-negara kepulauan Pasifik yang simpatik terhadap gerakan kemerdekaan Papua, bisa menjadi pressure group yang merepotkan Indonesia.

Apa yang terjadi dengan Timor Timur bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia. Bahwa proses integrasi yang direkayasa tidak akan bisa abadi, dan pada saatnya akan terjadi pemisahan jika kondisi geopolitik berubah.

Pada 1975 Indonesia melakukan Operasi Seroja ke Timor Timur untuk menghadapi kelompok separatis Fretilin yang ingin memerdekakan diri. Operasi militer Indonesia ini mendapat dukungan dari Amerika yang baru saja kalah memalukan di Vietnam.

Jatuhnya Vietnam ke tangan komunis dikhawatirkan akan membawa pengaruh ke negara-negara Asia Tenggara. Keberadaan Fretilin di Timor Timur dianggap sebagai munculnya komunisme di pintu belakang rumah Indonesia, yang membuat tuan rumah gerah.

Indonesia di bawah Soeharto dianggap sukses menghancurkan gerakan komunis melalui operasi militer besar-besaran setelah kudeta yang gagal pada 1965.

Puluhan ribu sampai ratusan ribu simpatisan komunis menjadi korban. Amerika berterima kasih kepada Soeharto dan mem-back up dengan memberi berbagai bantuan ekonomi.

Serangan terhadap Timor Timur juga direstui oleh Amerika dan sekutunya Australia. Timor Timur berhasil ditundukkan dan dianeksasi menjadi bagian Indonesia. Banyak negara dan LSM (lembaga swadaya masyarakat) internasional yang menentang aneksasi itu.

Namun, selama masih ada dukungan Amerika, rezim Soeharto masih aman.

Keadaan geopolitik berubah setelah ambruknya komunisme 1990-an. Amerika tidak lagi melihat komunisme sebagai ancaman.

Rekor pelanggaran HAM oleh Soeharto kemudian makin terekspos di dunia internasional. Hampir setiap tahun, kecaman terhadap pendudukan Timor Timur muncul di sidang PBB.

Enough is enough. Amerika sudah merasa cukup dengan Soeharto. Menyusul jatuhnya rezim Soeharto pada 1998, Timor Timur pun lepas dari Indonesia pada 1999. Amerika sudah tidak melihat kepentingan strategisnya di Indonesia, karena komunisme sudah tidak dianggap sebagai ancaman.

Kasus Timor Timur tidak sama dengan Papua. Namun, benang merahnya terlihat jelas. Amerika tetap memainkan peran penting dalam percaturan geopolitik internasional. Ilmuwan Amerika Serikat Noam Chomsky mengatakan, Amerika selalu bersikap pragmatis dalam menjalankan politik luar negerinya.

Amerika, kata Chomsky, akan mendukung rezim diktatorial sekejam apa pun, selama rezim itu bermanfaat untuk kepentingan politik dan ekonomi Amerika di kawasan itu. Begitu kepentingan Amerika tidak ada lagi, maka rezim itu pun dilepas.

Sampai sekarang, Amerika masih punya kepentingan ekonomi yang sangat strategis di Papua. Perusahaan Amerika Freeport-McMoran masih memegang lisensi pengelolaan sumber alam Papua yang kaya akan emas dan tembaga.

Bagi Amerika, Indonesia adalah angsa bertelur emas. Angsa akan tetap dipelihara selama masih bertelur emas. Namun, angsa akan dilepas—atau disembelih--kalau emas sudah habis, dan angsa hanya menghasilkan telur asin. (*)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Vanuatu   HAM   Indonesia   Papua   Cak Abror  

Terpopuler