Kepala BMKG: Cuaca Ekstrem Mengancam Ketahanan Pangan

Sabtu, 23 Juli 2022 – 12:30 WIB
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati menilai laju perubahan iklim yang diperparah dengan kerusakan lingkungan memicu bencana alam. Foto: Ricardo/Dokumentasi JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati menilai laju perubahan iklim yang diperparah dengan kerusakan lingkungan memicu bencana alam.

Hal itu diucapkan Dwikorita saat peringatan Hari Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Nasional (HMKGN) di Jakarta, Kamis (21/7) yang mengambil tema "SDM unggul, BMKG Andal, Indonesia Tangguh".

BACA JUGA: Simak Prakiraan Cuaca Besok Jumat, BMKG Minta Masyarakat Waspada

Menurutnya cuaca ekstrem karena kerusakan lingkungan menyebabkan berbagai bencana alam hidrometeorologi seperti siklon tropis, banjir, banjir bandang, tanah longsor, puting beliung, gelombang tinggi laut, dan lain sebagainya.

"Cuaca ekstrem yang intensitasnya makin sering dan durasinya panjang ini juga mengancam ketahanan pangan nasional," ungkap Dwikorita dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (23/7).

BACA JUGA: Gempa Bumi Bermagnitudo 5,8 Mengguncang Bengkulu, BMKG Beri Imbauan Begini

Saat ini, kata dia, risiko krisis pangan akibat cuaca ekstrem makin diperaparah dengan kondisi pascapandemi Covid-19 dan perang antara Rusia-Ukraina yang menganggu rantai pasok pangan dan energi global.

Apabila hal ini terus dibiarkan, maka akan menjalar ke berbagai persoalan lainnya, termasuk ekonomi dan politik.

BACA JUGA: Gempa Bumi Mengguncang Bengkulu, Wika: Ada yang Bergoyang, BMKG Beri Peringatan

Oleh karena itu, BMKG mengajak seluruh komponen masyarakat menjaga kelestarian alam untuk menjaga ketahanan pangan nasional.

"Kami (BMKG-red) terus melakukan pendampingan kepada para petani dan nelayan agar mampu memitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim," katanya.

Dwikorita menyebut saat ini sejumlah kajian menunjukkan dampak nyata perubahan cuaca ekstrem yang bersifat lokal dan global.

Berdasarkan analisis hasil pengukuran suhu permukaan dari 92 Stasiun BMKG dalam 40 tahun terakhir, menunjukkan kenaikan suhu permukaan lebih nyata terjadi di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah.

Di mana, Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara mengalami trend kenaikan > 0,3? per dekade.

Laju peningkatan suhu permukaan tertinggi tercatat terjadi di Stasiun Meteorologi Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, Kota Samarinda (0,5? per dekade).

Kemudian, di wilayah Jakarta dan sekitarnya suhu udara permukaan meningkat dengan laju 0,40 – 0,47? per dekade.

"Secara rata-rata nasional, untuk wilayah Indonesia, tahun terpanas adalah tahun 2016 yaitu sebesar 0,8 °C dibandingkan periode normal 1981-2010 (mengikuti tahun terpanas global), sementara tahun terpanas ke-2 dan ke-3 adalah tahun 2020 dan tahun 2019 dengan anomali sebesar 0,7 °C dan 0,6 °C," imbuhnya.

Analisis BMKG tersebut senada dalam laporan Status Iklim 2021 (State of the Climate 2021) yang dirilis Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada Mei 2022 yang lalu.

WMO menyatakan hingga akhir 2021, suhu udara permukaan global telah memanas sebesar 1,11 °C* dari baseline suhu global periode pra-industri (1850-1900), di mana 2021 adalah tahun terpanas ke-3 setelah 2016 dan 2020.

WMO, kata dia, juga menyebutkan dekade terakhir 2011-2020, adalah rekor dekade terpanas suhu di permukaan bumi.

Lonjakan suhu pada 2016 dipengaruhi oleh variabilitas iklim yaitu fenomena El Nino kuat, sementara itu terus meningkatnya suhu permukaan pada dekade-dekade terakhir yang berurutan merupakan perwujudan dari pemanasan global.

Dalam peringatan HMKGN tahun ini, Dwikorita kembali menekankan pentingnya kesadaran umat manusia bahwa betapa seriusnya dampak perubahan iklim baik terhadap Indonesia dan dunia.

Kawasan Indonesia sendiri mengalami peningkatan suhu dalam kisaran 1 °C dan dapat bertambah mencapai 3 °C di akhir abad ini.

"Peningkatan 1 derajat Celcius saja dapat berdampak cuaca ekstrem seperti siklon tropis, hujan ekstrem, angin kencang/puting beliung, gelombang tinggi, yang dapat memicu banjir, banjir bandang, tanah longsor dan bencana hidrometeorologi lainnya. Jika tidak ditahan laju pemanasan di Indonesia dan global, bahkan dapat mencapai 3 derajat Celcius pada akhir abad 21.

"Ini adalah masalah yang sangat serius. Kuncinya, mari kita bersama-sama melakukan penghijauan masif, menggunakan transportasi publik, mengubah energi fosil ke energi terbarukan dan melakukan langkah-langkah pelestarian lingkungan, penghijauan," tegas Dwikorita. (mcr10/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler