jpnn.com, JAKARTA - Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta Heri Budianto mengatakan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan ketika media mainstream mengarahkan dukungan kepada partai politik tertentu.
Karenanya tidak heran, banyak masyarakat yang kini mulai beralih ke media sosial.
BACA JUGA: Ahok Dituntut Rendah, Fadli Zon Sindir Jaksa Agung
"Masyarakat akan kehilangan trust kepada media mainstream dan beralih ke media sosial," kata Heri saat diskusi Rekonsiliasi Pascapilkada DKI Jakarta Putaran Kedua yang digelar Magister Ilmu Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4).
Menurut Heri, pekerjaan berat sebenarnya sekarang ada di media mainstream ketika media sosial berjalan tanpa kendali.
Hanya saja media mainstream juga masih mengalami berbagai persoalan.
BACA JUGA: Ahok Didorong Maju di Pilgub Beberapa Daerah, Fadli Zon Bilang Begini
Perubahan paradigma media mainstream belakangan ini tidak terlepas dari berbagai kepentingan.
Misalnya, kepentingan ekonomi yang membuat media harus bersaing secara luar biasa.
BACA JUGA: Fadli Zon Diminta Walk Out dari Sidang Paripurna
Persaingan konten berita pun tak terhindarkan untuk mendatangkan keuntungan secara ekonomi.
"Media sudah berubah menjadi industri," tegasnya.
Faktor lain adalah dari sisi pemilik media yang kebanyakan memiliki syahwat politik yang luar biasa.
Tidak jarang, demi memenuhi hasrat politik dan kepentingannya, pemilik media mengarahkan dukungan kepada keuatan politik tertentu.
Selain itu, ada pula persoalan idealisme media. Pertentangan terkait masalah idealisme tidak terhindarkan.
Idealisme yang dimiliki bawahan misalnya, sering tidak berdaya ketika berhadapan dengan pemilik modal.
“Siapa yang ditakuti di industri media, ya sudah pasti pemilik modal," ujarnya.
Heri juga melihat mahalnya biaya politik di media mainstream juga menyebabkan orang beralih ke media sosial.
Dia mencontohkan, biaya iklan di media mainstream yang tidak murah, tentu membuat orang berpikir untuk menggunakannya misalnya untuk promosi politik.
"Cost politik yang tinggi seperti membayar iklan di media mainstream yang mahal, membuat orang akhirnya lari ke media sosial," papar direktur eksekutif lembaga Polcomm Institute itu.
Di sisi lain, Heri berpandangan kehadiran buzzer membuat rusak media sosial. Menurut dia, media sosial seharusnya bisa dipakai untuk edukasi politik ketika media mainstream tidak bisa melakukannya.
Namun, kehadiran buzzer justru membuat persoalan baru. Heri menambahkan, perlu dipikirkan regulasi media sosial tidak disalahgunakan.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, peran media di dalam demokrasi tidak bisa dipisahkan.
Suara di mana pun, baik itu eksekutif, legislatif, yudikatif dan lainnya tidak akan sampai ke masyarakat tanpa ada media.
"Tidak ada demokrasi tanpa kebebasan pers," tegasnya di kesempatan itu.
Fadli mengatakan, perubahan penggunaan media dari konvensional ke digital turut merubah perilaku sosial dan politik masyarakat.
"Peran media akan mengubah perilaku politik masyarakat," ujarnya.
Menurut dia, masyarakat kini sudah bisa memilih banyak media untuk dikonsumsi. Banyak dari masyarakat yang sudah tidak lagi menonton televisi dan beralih ke YouTube.
"Sudah bisa memilih apa yang mau ditonton, bukan (apa saja) yang disajikan," ujarnya.
Menurut Fadli lagi, media sosial memang sangat penting dalam kehidupan politik dan keseharian.
Di sisi lain, tantangan besar yang ada pada media mainstream adalah harus bisa menyesuaikan.
Terutama dalam mendapatkan informasi yang benar, aktual, tepat, independen dan bertanggung jawab.
Namun, dia melihat di Indonesia seakan-akan pemerintah membiarkan banyaknya akun palsu di media sosial.
Kemudahan membeli kartu telepon seluler tanpa harus mengisi data yang benar, juga menimbulkan banyaknya akun-akun palsu.
"Ini bisa dijadikan semacam buzzer yang menyulap suara rakyat. Seolah 100, padahal orangnya cuma satu. Pemerintah juga komplain tapi sampai sekarang dibiarkan," katanya.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, Presiden AS Donald Trump pernah menyatakan perang terhadap media mainstream. Trump memperlihatkan itu dengan tidak mau menghadiri jamuan media di Gedung Putih.
Trump malah terus mengeluarkan sikap dan pernyataannya lewat Twitter pribadinya. “Dia (Trump) seolah mau bilang kantor berita saya ada di Twitter,” katanya di kesempatan itu.
Nah, Fahri menjelaskan, hal semacam ini sebenarnya menjadi warning untuk media mainstream bahwa teknologi dan zaman terus berubah.
Ketika kebebasan sudah berada di ujung jari masing-masing, maka mereka bisa posting apa saja dan merasa terwakili.
“Contohnya Presiden AS yang percaya media mainstream tiba-tiba beralih ke media sosial,” ujar Fahri. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gerindra WO, Fadli Zon Tidak
Redaktur & Reporter : Boy