jpnn.com, JAKARTA - Penghargaan dari IRRI yang diberikan kepada pemerintah Indonesia merupakan imbal positif atas kerja keras semua pihak di bidang usaha pertanian, termasuk Kementerian Pertanian.
“Pencapaian (penghargaan IRRI) ini memang spesial, karena selama pandemi tidak semua negara bisa survive ditambah geopolitik, krisis pangan di sana-sini, krisis finansial, dan berbagai dinamika yang kurang menguntungkan,” kata Ketua Umum DPP Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) Walneg S Jas.
BACA JUGA: Produksi Padi Terus Meningkat, Pemerintah Bisa Mempertahankan Penghargaan IRRI
Menurut Walneg, penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) merupakan bentuk apresiasi dunia kepada Indonesia karena berhasil mempertahankan surplus beras dalam tiga tahun terakhir.
Kementerian Pertanian, sambungnya, telah melakukan berbagai macam upaya dan intervensi untuk meningkatkan produksi dan mencapai surplus beras.
BACA JUGA: Kementan Bidik Pelatihan Literasi Keuangan Jadi Pemantik Pendapatan Petani
"Termasuk juga meningkatkan ketahanan pangan komoditi-komoditi tanaman pangan lainnya,” kata dia.
IRRI memberikan penghargaan Sistem Pertanian-Pangan Tangguh dan Swasembada Beras Tahun 2019-2021 melalui Penggunaan Teknologi Inovasi Padi kepada Indonesia di Istana Negara, Minggu (14/8).
BACA JUGA: Diakui Lembaga IRRI Sudah Swasembada, Kementan: Stok Beras Nasional Meningkat
Penghargaan diserahkan Dirjen IRRI Jean Balie kepada Presiden Joko Widodo.
Walneg menjelaskan program-program pemerintah melalui Kementan untuk menguatkan ketahanan pangan dalam negeri terealisasi karena hasil kolaborasi beragam unsur termasuk perbaikan kelembagaan manajemen produksi.
“Upaya-upaya itu tentu dikolaborasikan dengan berbagai unsur, baik dalam konteks intensifikasi, ekstensifikasi, perbaikan teknologi baik teknologi prapanen maupun pascapanen. Termasuk juga program atau kampanye yang terus-menerus adalah perbaikan kelembagaan manajemen produksi,” kata Walneg.
Keberhasilan Indonesia meraih penghargaan IRRI juga dipicu kondisi positif lain. Dari transformasi pola kebiasaan atau budaya masyarakat yang lebih sehat, diversifikasi konsumsi pangan, dan kondisi lain yang mendukung terakumulasinya produksi pangan, khususnya beras.
“Secara konsumsi, Indonesia juga pelan-pelan bisa me-maintain. Sedikit turun, tapi bisa me-maintain di kisaran 29-31 juta ton beras. Namun, pada saat yang sama, secara produksi kita juga bisa secara pelan-pelan meningkat secara kontinu atau konsisten,” katanya.
Kendati demikian, dia mengingatkan pemerintah dan segenap unsur yang ada untuk selalu bersiap diri menghadapi beragam tantangan ke depan.
Seperti perubahan iklim, pengurangan lahan tanam, pertambahan penduduk, kinerja dan kualitas petani, serta kualitas manajemen.
Secara khusus, Walneg mencatat pada 2021 ini luas panen padi berkurang sekitar 245 ribu hektare. Apabila itu dikonversi dengan produksi beras, penurunan luas panen itu setara 0,5 juta hingga 0,6 juta ton.
DPP Himpunan Alumni IPB memberikan tiga solusi untuk menghadapi tantangan pertanian Indonesia ke depan, yaitu kalkulasi serta proyeksi yang presisi terhadap permintaan dan suplai, kolaborasi dan sinergi antar pelaku usaha dan pemangku kebijakan, serta inovasi.
“Secara keseluruhan dengan hitung-hitungan yang presisi, dengan adanya kolaborasi, dan sinergi yang melibatkan semua pihak, dan mengandalkan inovasi yang terus-menerus tanpa henti, berharap bangsa kita terbebas dari yang namanya impor pangan, khususnya impor beras. Mudah-mudahan impor beras ini tidak akan pernah kita alami lagi,” kata Walneg. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi