Kertas Putih

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 29 November 2022 – 22:39 WIB
Orang-orang memegang lembaran kertas putih sebagai protes atas pembatasan COVID-19, setelah berjaga bagi para korban kebakaran di Urumqi, di Beijing, China, 27 November 2022. (ANTARA/REUTERS/Thomas Peter/as)

jpnn.com - Macam-macam cara orang menyampaikan protes. Ada yang membawa poster dan spanduk lalu meneriakkan jargon tuntutan dengan suara keras.

Ada yang melakukan ‘’silent protest’’, protes senyap tanpa suara, dan ada juga yang membentangkan poster kosong tanpa narasi apa pun.

BACA JUGA: Ibu Kota China Diteror Covid-19, Begini Kabar Terbarunya

Poster kosong itu belakangan menjadi tren baru untuk melakukan protes.

Unjuk rasa di China yang berlangsung beberapa hari terakhir menjadi perhatian dunia, bukan hanya karena unjuk rasa ini tidak pernah terjadi sejak 1989, tetapi juga cara protes yang unik dengan membentangkan kertas putih polos tanpa narasi apa pun.

BACA JUGA: Ibu Kota China Lockdown Lagi, Ini Dampaknya bagi Staf KBRI

Kertas itu putih polos tanpa narasi tuntutan apapun. Akan tetapi tidak berarti bahwa para pengunjuk rasa tidak punya tuntutan.

Justru dengan kertas kosong itu pesan yang mereka kirim terasa sangat powerful, penuh kekuatan yang mengejutkan.

BACA JUGA: Jepang Khawatirkan Operasi Zona Abu-Abu Militer China, Apa Maksudnya?

Poster kosong menjadi simbol bagi pengunjuk rasa di China untuk menungkapkan kemarahan mereka atas pembatasan Covid-19 yang dinilai terlalu berlebihan.

Aksi protes telah meluas di sejumlah wilayah di China, termasuk di perguruan tinggi terkemuka.

Unjuk rasa kosong ini diiikuti oleh mahasiswa di beberapa kota, termasuk Nanjing dan Beijing.

Mereka memegang kertas kosong sebagai bentuk protes diam.

Cara ini dipakai untuk menghindari sensor dan penangkapan oleh Pemerintah China yang terkenal represif terhadap berbagai jenis protes.

Protes diam terhadap pemerintah China sudah dilakukan secara konsisten oleh kelompok Falun Gong atau Falun Dafa selama bertahun-tahun.

Falun Dafa adalah kelompok spritualitas yang mempunyai pengikut luas tetapi dilarang di China.

Para penganut sekte ini konsisten melakukan unjuk rasa diam dengan duduk bersemedi di depan kantor-kantor perwakilan China di seluruh dunia.

Di China, para aktivis sekte ini ditangkap, disiksa, dan dipenjara.

Alih-alih hilang, pengikut sekte ini malah makin besar dan mempunyai cabang-cabang kuat di berbagai kota besar dunia, termasuk di Amerika Serikat.

Gaya protes diam ala Falun Dafa ini tampaknya mengilhami aksi damai yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa di China sekarang.

Beberapa waktu belakangan China menetapkan kebijakan nol Covid-19 yang sangat ketat, ketika sebagian besar dunia mencoba hidup berdampingan dengan virus itu.

China kembali menetapkan lockdown keras di berbagai daerah.

Hal ini memicu kekecewaan luas di kalangan warga yang merasa sudah terpenjara selama 3 tahun terakhir.

Gelombang kekecewaan meledak menjadi kemarahan, dipicu oleh kebakaran apartemen yang menewaskan 10 orang pada Kamis (24/11) di Urumqi, Xinjiang.

Kabar yang beredar menyebutkan bahwa para penghuni apartemen tidak bisa menyelamatkan diri karena akses keluar apartemen digembok selama lockdown.

Unjuk rasa meluas ke Shanghai, kota pusat finansial China. Pengunjuk rasa mulai berkumpul pada Sabtu (26/11) malam dengan menyalakan lilin sebagai tanda duka cita bagi para korban kebakaran.

Para pengunjuk rasa juga mengangkat kertas kosong.

Puluhan orang mengangkat lembaran kertas kosong, sembari diterangi senter dari ponsel mereka.

Petugas keamanan kemudian membubarkan unjuk rasa tersebut.

Unjuk rasa perorangan juga dilakukan di sebuah kampus di Nanjing.

Seorang perempuan sendirian berdiri di tangga kampus dengan membentangkan poster kosong.

Petugas keamanan datang dan menangkap perempuan itu.

Lembaran kertas kosong juga dipampangkan oleh orang-orang yang berkumpul di halaman Universitas Tsinghua—almamater Presiden Xi Jinping--di Beijing Minggu (27/11).

Mereka menyanyikan lagu kebangsaan dan menyebarkan pesan melalui media sosial agar warga melakukan protes dengan poster kosong.

Beberapa warganet menunjukkan solidaritas dengan memposting kotak putih kosong.

Banyak juga yang memasang foto diri mereka dengan memegang kertas kosong di timeline WeChat atau di Weibo.

Pada akhir pekan tagar "kertas putih" menjadi trending topic tapi segera diblokir di Weibo.

Tindakan ini malah memicu reaksi lebih keras karena dianggap sebagai sensor yang represif.

Jika Anda takut terhadap selembar kertas kosong berarti Anda lemah. Begitu narasi yang disebarkan warganet.

Aksi kertas kosong ini diilhami oleh para aktivis demokrasi di Hong Kong dalam gerakan menentang represi pemerintah China pada 2020.

Para aktivis mengangkat lembaran kertas putih kosong sebagai protes terhadap tindakan keras pemerintah China terhadap pengunjuk rasa.

Sebuah undang-undang keamanan nasional baru yang disahkan pada 2019 melarang slogan-slogan anti-pemerintah dalam unjuk rasa.

Untuk menghindari ancaman undang-undang, para pengunjuk rasa menyiasatinya dengan membentangkan kertas kosong.

Aparat keamanan tidak bisa berbuat banyak oleh gerakan ini, karena tidak ada pasal yang bisa menjerat para pengjunjuk rasa.

Aksi ini mendapat liputan internasional yang luas.

Para aktivis di negara lain meniru taktik ini untuk menujukkan protes diam.

Hal itu terlihat pada unjuk rasa di Moskow, Rusia, beberapa waktu yang lalu.

Beberapa pengunjuk rasa membentangkan kertas putih untuk memrotes invasi Rusia ke Ukraina.

Aksi unjuk rasa di China akan semakin meluas sampai ke ibukota Beijing.

Mahasiswa yang melakukan demonstrasi bahkan berani meneriakkan tuntutan agar Presiden Xin Jiping mengundurkan diri.

Tuntutan keras semacam ini tidak pernah terjadi sejak peristiwa Tiananmen 1989.

Xi Jinping telah berhasil memperpanjang masa kepresidenannya menjadi 3 periode dengan mengubah konstitusi.

Perubahan ini dianggap penuh rekayasa, tetapi elite politik China tidak ada yang berani memrotes terbuka karena takut akan tindakan represif dari Presiden Xi.

Tetapi gerakan ujuk rasa oleh mahasiswa yang dipicu oleh kebijakan lockdown ini membuka celah bagi oposisi untuk melakukan protes.

Dalam sejarah China modern para mahasiswa menjadi ujung tombak gerakan perubahan, tetapi juga sekaligus menjadi martir gerakan perubahan yang menuntut demokratisasi.

Peristiwa Tiananmen 1989 menjadi catatan paling kelam dalam sejarah gerakan demokrasi di China.

Puluhan ribu mahasiswa menduduki lapangan Tiananmen di wilayah Kota Terlarang selama berbulan-bulan.

Para pengunjuk rasa awalnya hanya berjumlah kecil. Lambat laun unjuk rasa berkembang menjadu ribuan dan puluhan ribu.

Penindasan besar ini dikenal sebagai ‘’Peristiwa 6/4’’ karena terjadi pada 4 Juni.

Pengunjuk rasa menguasai Tiananmen dan memblokir semua akses untuk mencapai pusat lapangan.

Pasukan keamanan berulang kali berusaha menerobos, tetapi selalu bisa digagalkan.

Beberapa kali pula pasukan keamanan menyelundupkan senjata ke Tiananmen, tetapi bisa digagalkan dan dirampas oleh mahasiswa.

Gerakan mahasiswa semakin radikal. Tidak ada negosiasi, tidak ada tawar menawar. Elite politik China juga terbelah.

Deng Xiaoping--yang sedang berkuasa setelah bertahun-tahun dipinggirkan oleh lawan politiknya—bertekad mengakhiri gerakan mahasiswa dengan cara apa pun.

Pemimpin Partai Komunis China (PKC) Hu Yaobang yang dikenal sebagai reformis, menentang tindak represif Deng.

Tapi, akhirnya Deng yang menang. Pada tengah malam 4 Juni, puluhan tank meraung-raung memasuki Tiananmen.

Seorang mahasiswa dengan gagah berani mengadang tank itu, tetapi segera disingkirkan.

Foto yang beredar luas ke seluruh dunia terkenal sebagai ‘’The Tank Man’’, manusia tank.

Para mahasiswa sudah diperingatkan oleh simpatisan untuk membubarkan diri. Akan tetapi mahasiswa radikal menolak. Akhirnya tank melaju ke arah kerumunan dan melindas ribuan mahasiswa tanpa ampun.

Pemerintah mengeklaim 300 mahasiswa tewas. Akan tetapi sumber independen menyebut jumlah korban tewas mencapai 1.000 orang sampai 3.000 orang.

Dunia mengutuk aksi tidak berprikemanusiaan itu, tetapi China tidak peduli.

Gerakan demokratisasi yang disponsori mahasiswa berhasil dibungkam dan gerakan mahasiswa dimatikan.

Sekarang, 30 tahun kemudian, benih gerakan mahasiswa muncul lagi. Masih harus dilihat apakah gerakan ini bisa menggelinding menjadi bola salju, atau Pemerintah China akan segera menindasnya sebelum menjadi Tananmen Part Two. (**)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler