Sejak di Dompu, Widjajono Partowidagdo sudah terlihat lelah. Beberapa anggota rombongan yang mendaki Tambora bersama Wamen ESDM itu juga mual-mual dan muntah menjelang puncak.
ABDUL MUIS, DOMPU - INDRA GUNAWAN, BIMA
SEKITAR 50 meter dari puncak Gunung Tambora. Dalam kondisi yang sudah sangat terlihat payah, dengan posisi duduk beristirahat dan kaki dipijat karena kram, Widjajono Partowidagdo tetap bersemangat bercerita tentang gunung yang terletak di Kabupaten Dompu, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat itu.
Mulai rencana wakil menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM) tersebut menjadikan Tambora sebagai lokasi geowisata internasional hingga sejarah ledakan dahsyatnya pada 11 April 1815 yang mengubah iklim di Eropa dan menjadi penyebab kalahnya Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte.
"Pokoknya, sangat banyak yang diceritakan Pak Wamen menyangkut Tambora. Saya melihat Pak Wamen sangat bangga dengan Tambora," kenang Ibnu Khaldun, pencinta alam sekaligus pegawai negeri sipil di Pemkab Dompu yang memijat kaki pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah, tersebut, kepada Lombok Post (JPNN Group) yang menemuinya di Dompu, Minggu lalu (22/4).
Tidak lupa, Widjajono juga memuji pijatan Khaldun. "Apakah kamu tukang pijat?" tanya Widjajono seperti ditirukan Khaldun.
Khaldun pun menjelaskan bahwa dirinya di samping bekerja sebagai PNS di Pemkab Dompu, kerap pula membantu pihak-pihak yang perlu diantar menuju Tambora.
Itulah detik-detik menjelang kematian pejabat yang selalu tampil bersahaja tersebut. Boleh dibilang, Ibnu Khaldun dan petugas pemantau gunung berapi Tambora, Abdul Haris, adalah dua orang yang paling dekat dengan suami Nina Sapti Triaswati dan ayah Kristal Amalia itu sebelum berpulang.
Dua orang itulah, bersama sekitar tiga pendaki lain dari total 23 orang, yang menemani Widjajono beristirahat saat puncak Tambora sudah di depan mata. Karena itulah, Khaldun masih ingat betul peristiwa tersebut.
Meski tetap bersemangat bercerita tentang Tambora, kondisi Pak Wid -sapaan akrab Widjajono- perlahan terus menurun. Sekitar pukul 08.00 Wita, Khaldun dan mereka yang berada di tempat Widjajono beristirahat akhirnya membaringkan alumnus ITB tersebut sambil terus memijatnya.
Namun, dalam posisi seperti itu pun pria yang gigih menyuarakan perlunya Indonesia berpaling ke energi alternatif tersebut masih bercerita seputar keunggulan Tambora sampai akhirnya benar-benar tak sadarkan diri.
Praktis kepanikan langsung menyergap mereka yang menemani Widjajono. Khaldun dan Abdul Haris tetap berusaha tenang dengan memberikan pertolongan sebisanya.
Namun, kondisi Widjajono semakin mengkhawatirkan. Anggota rombongan yang sudah berada di puncak pun dipanggil turun. Khaldun dan Haris lalu berusaha mencari pertolongan dengan mengirimkan SMS kepada Bupati Dompu H Bambang M. Yasin.
Karena sinyal handphone tak ada, mereka harus berlari ke berbagai posisi yang kira-kira tertangkap sinyal. Begitu dapat, SMS langsung dikirim. Namun, SMS itu baru masuk ke telepon seluler sang bupati satu jam setelah dikirimkan.
Ilham Sabil, kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bima, NTB, yang sudah berada di puncak langsung turun begitu mendengar kabar tentang kondisi Widjajono. Ketika sampai di tempat Widjajono, Ilham, yang saat beristirahat di pos 3 tidur setenda dengan atasannya tersebut, melihat bahwa pria berambut gondrong itu sudah kejang-kejang.
Ilham sempat meraba urat nadi Widjajono di bagian tangan dan lehernya. Dia juga mengusap kepalanya sambil membacakan Surat Yasin. Ilham mengaku sempat melihat gerakan mulut Widjajono membaca kalimat Allahu Akbar.
Namun, sesaat kemudian Ilham meraba urat nadi di tangan dan lehernya lagi. Saat itu, sekitar pukul 09.30 Wita, dia tidak merasakan detak jantung dan diyakini Widjajono telah mengembuskan napas terakhir.
Dia mengaku sengaja tidak segera menyampaikan kabar tersebut kepada bupati Bima maupun bupati Dompu dengan pertimbangan agar tidak terjadi kepanikan. Bahkan, dari seluruh anggota rombongan, hanya beberapa yang mengetahui bahwa Wamen telah meninggal dunia.
Untuk membawa Widjajono turun, Khaldun memanfaatkan bambu yang tertancap di puncak Tambora lalu dipotong menjadi dua. Sarung miliknya ditambatkan ke dua bambu itu. Proses menurunkan Widjajono juga harus dilakukan dengan ekstrahati-hati. Sebab, kemiringan gunung setinggi 2.400 meter tersebut rata-rata 50 derajat.
Sementara itu, Ilham sama sekali tak menyangka bahwa Widjajono bakal pergi semendadak itu. Sebab, saat tidur satu tenda kecil bersama seorang Kabid Distamben Kabupaten Bima yang diletakkan di tengah tenda besar tempat anggota rombongan lain tidur, Ilham dan Widjajono banyak bertukar pikiran.
Ilham, misalnya, melaporkan beberapa potensi sumber energi yang bisa dimanfaatkan untuk listrik. Seperti sumber energi panas di Hu"u, Kabupaten Dompu. Sedangkan Widjajono bercerita tentang rencananya menjadikan Gunung Tambora sebagai lokasi geowisata.
"Wamen ESDM juga ingin mengambil gambar Gunung Tambora sehingga mengajak kru TV One ikut mendaki. Agar bisa mempromosikan Gunung Tambora," sebutnya.
Melihat jalur pendakian ke Gunung Tambora yang hanya berupa jalan setapak dan medannya sulit, Widjajono pun tergerak ingin membantu memperbaiki sarana yang ada. Dia pun meminta Ilham menyusun proposal agar bisa diperjuangkan di Jakarta. Tapi, karena jalur ke Gunung Tambora masuk wilayah Kabupaten Dompu, Ilham memanggil staf Distamben Dompu agar segera membuat proposal.
Karena tertarik dengan jaket gunung yang dikenakan Widjajono, Ilham juga sempat guyon agar kalau berkunjung ke Bima, membawa jaket serupa dalam jumlah banyak untuk dibagikan. Widjajono langsung merespons kalau jaket, kompor, dan semua peralatan mendaki yang dibawanya memang akan dibagikan saat turun nanti, terutama kepada Abdul Haris.
Sebelum tidur, Widjajono menyetel alarm pada pukul 03.30. Sebab, dari pos 3 tempat mereka menginap, pendakian akan dilanjutkan mulai pukul 04.00 menuju puncak. "Saya lihat Pak Wamen tidur pulas sekali malam itu," kenang Ilham. Padahal, lanjutnya, banyak anggota rombongan yang sulit tidur karena dinginnya cuaca.
Yang juga membuat Ilham terus terkenang, meski pejabat negara, Widjajono menolak dilayani secara khusus. "Bahkan, dia meminta kami memanggilnya "Mas" atau "Wamen," tak perlu bapak," katanya.
Begitu pula saat memesan makanan untuk persiapan di Gunung Tambora. Seusai menunaikan salat Jumat di Masjid Raya Dompu, Baiturrahman, Wamen yang tak doyan daging itu memilih memesan ekor ikan kakap, cumi, dan udang. Ikan kakap dan cumi dia minta dicampur dengan nasi, kecuali udang yang dibungkus berbeda. Wamen juga memesan sekitar 20 nasi bungkus untuk bekal anggota rombongan lainnya.
Saat di Dompu itulah, Ilham melihat tanda-tanda kelelahan di wajah pria yang pernah mendaki beberapa gunung di luar Indonesia tersebut setelah menempuh perjalanan darat dari Bima. Karena itu, dia memperkirakan Widjajono meninggal karena faktor fisik tersebut.
Faktor lain kemungkinan kekurangan oksigen. Sebab di dekat puncak Tambora, Ilham melihat beberapa anggota rombongan sempat mual-mual. Menurut informasi warga setempat, pada pagi hari angin memang berembus ke arah selatan, ke Desa Doropeti, Kecamatan Pekat, Dompu, tempat pendakian mereka. Mungkin angin membawa aroma belerang dari kawah Gunung Tambora yang mengandung CO2 dan mengurangi O2.
Apa pun penyebab kematiannya, yang jelas, sampai di bawah, kepergian pria murah senyum itu langsung ditangisi kerumunan warga sekitar yang mengenalnya dari dua pendakian sebelumnya. Tak terkecuali Abdul Haris.
"Beliau pendaki sejati. Tidak pernah mengeluh, tetap tegar walau dalam kondisi apa pun. Bahkan, sebelum benar-benar kolaps, tetap memberikan support kepada rombongan agar tetap bersemangat mendaki," kenang Khaldun. (*/jpnn/c2/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menikmati Ojek Birmingham Small Arms di Pematang Siantar
Redaktur : Tim Redaksi