jpnn.com, MATARAM - Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Rinjani berinisial SS terancam hukuman 10 tahun penjara karena menyebarkan kabar bohong.
SS ditetapkan sebagai tersangka terkait penyebaran hoaks atau kabar bohong perihal adanya dana dari pemerintah untuk masyarakat dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai Rp 2 triliun.
BACA JUGA: Seorang Wanita Ketahuan Berbuat Terlarang di Kamar, Tak Berkutik saat Dijemput Polisi
"Ancaman hukumannya sesuai sangkaan pidana yang menetapkan SS sebagai tersangka," kata Kepala Bidang Humas Polda NTB Komisaris Besar Polisi Artanto di Mataram, Jumat (19/2).
Sangkaan yang menyebutkan hukuman 10 tahun penjara itu berkaitan dengan menyebarkan berita bohong, sesuai aturan Pasal 14 Ayat 1,2 dan Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
BACA JUGA: Kawasan Suka Ramai Digerebek Polisi, Pasutri Ini Hanya Bisa Pasrah Diborgol
Selain sangkaan tersebut, penyidik kepolisian juga menerapkan Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Untuk sangkaan pasal ini masih berkaitan dengan penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan di tengah masyarakat.
BACA JUGA: Patung di Pura Kediri Ditemukan Rusak, Kapolres Minta Semua Pihak Menahan Diri
Ancaman pidana dari dugaan ini tertera dalam Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman paling berat 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Ancaman pidana juga disangkakan kepada SS perihal pendistribusian informasi yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik, dalam hal ini tudingan ke pemerintah yang menyembunyikan penyaluran dana PEN untuk masyarakat.
Sangkaan tersebut sesuai dengan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman pidana hukuman paling berat 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, sesuai Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Artanto mengungkapkan, proses hukum yang kini masuk babak baru ini sudah mengagendakan pemeriksaan SS sebagai tersangka.
"Karena penetapan tersangka baru pekan lalu, jadi penyidik mengagendakan pemeriksaan SS dalam statusnya sebagai tersangka, dalam waktu dekat ini diagendakan," ujarnya.
Perihal penahanan tersangka, Artanto mengatakan bahwa hal itu belum dilakukan penyidik.
Namun, dia memastikan bahwa penetapan status penahanan itu akan berjalan seiring dengan rangkaian penyidikan.
"Semua menjadi kewenangan penyidik. Kami belum bisa pastikan, namun nantinya itu (penahanan) akan dilakukan sejalan dengan proses penyidikan," ucap dia.
Tersangka SS dalam konten "YouTube" berjudul "Konferensi Pers KSU Rinjani", diduga menuding pemerintah menyembunyikan penyaluran dana PEN untuk masyarakat.
Hal demikian yang kemudian menjadi motif SS menyebutkan program penyaluran KSU Rinjani yang menjanjikan bantuan tiga ekor sapi dengan anggaran Rp 100 juta untuk setiap anggota, terhambat.
Unggahan itu yang diduga menimbulkan reaksi dari sejumlah anggota KSU Rinjani, melakukan unjuk rasa ke Pemprov NTB, menuntut agar program tiga ekor sapi dari dana PEN itu segera disalurkan.
Dalam persoalan tersebut, Artanto memastikan bahwa pada tahap penyelidikannya, tim siber telah meminta klarifikasi kepada pihak pemerintah.
"Dari klarifikasi tim penyelidik, pemerintah menyatakan tidak ada program atau anggaran demikian, baik dari pusat maupun daerah," ucap dia.
Pernyataan klarifikasi dari pemerintah itu pun dikatakan Artanto telah dikuatkan dengan pemeriksaan data dan program yang sedang maupun akan berjalan.
"Jadi tidak benar ada program dan realisasi anggaran PEN itu dari pemerintah," kata Artanto.
Selain bukti dari klarifikasi, penetapan SS sebagai tersangka juga dikuatkan dengan keterangan ahli di bidang bahasa maupun informasi dan transaksi elektronik.(antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budi