jpnn.com - JAKARTA - Pengetatan pemberian remisi kepada narapidana korupsi, narkoba, dan terorisme serta kejahatan HAM menuai kontroversi. Ada yang menyebut kebijakan yang termuat dalam PP No 99 Tahun 2012 tersebut melanggar UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Yang lain menyebut pengetatan perlu dilakukan agar memunculkan efek jera terhadap para napi dengan pidana tertentu tersebut.
BACA JUGA: FPI Sudah Bisa Kena Sanksi UU Ormas
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar mengatakan, remisi merupakan hak napi yang diatur dalam UU nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, di luar vonis pengadilan. Hal tersebut tertuang dalam pasal 14 ayat 1 huruf i, j, k, dan l. Meski demikian, tidak ada batasan penerima remisi adalah napi kasus tertentu.
BACA JUGA: Majelis Hakim Tipikor Ingin Lihat Driving Simulator
"Maka saya pernah usulkan tidak usah pakai remisi-remisi. Yang bisa menambah dan mengurangi hukuman itu hanya pengadilan. Jadi kalau dihukum 8 tahun ya jalani 8 tahun," ungkap Akil di gedung MK, kemarin.
PP 99 membatasi bahwa napi terutama kasus terorisme, narkoba, dan korupsi tidak akan mendapatkan remisi. Akil menilai itu diskriminasi.
BACA JUGA: Ombudsman-KPK Saling Tukar Laporan
"Remisi adalah hak napi yang sudah jalankan dua pertiga dari hukuman dan berkelakuan baik. Tidak disebutkan napi apa. Hanya pengambil kebijakan saja yang memberi kualifikasi yang ini boleh, itu tidak boleh. Kalau itu konsepnya salah," tegasnya.
Memang, dalam pasal 14 ayat 2 UU Pemasyarakatan menyatakan teknis pemberian remisi diatur melalui PP. Meski begitu PP tidak boleh menabrak ketentuan dalam UU. "UU-nya kan tidak memberi kualifikasi. Apapun alasan kita, tidak bisa begitu. Sama-sama napi. Teroris juga narapidana. Telah menjalani proses hukum yang terbuka untuk umum dengan putusan pengadilan dihukum sekian tahun," ulasnya.
Jika berniat membuat pengecualian maka harus dibuat UU baru atau merevisi UU yang ada. "Di tingkat kebijakan tidak boleh dong. UU-nya membuka kok. Artinya itu tuh hukuman tambahan. Padahal putusan sudah dijatuhkan. Kan prinsipnya kita oke, kita setuju koruptor dihukum gantung, misalnya. Setuju saya. Tapi penegakan hukum tidak boleh sepihak begitu," terusnya.
Penegakan hukum secara sepihak pada akhirnya dinilai Akil memunculkan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa dan berbuntut balas dendam.
"Criminal justice itu kan satu sistem. Kalau kita melakukan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan hukum memang bisa berhasil tetapi akan muncul perlawanan yang bersifat pemberontakan bahkan revolusi. Karena ini sudah kekuatan. Akhirnya kita berputar di seputar itu saja," yakinnya.
Deputi Penelitian Pengembangan Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada, Rimawan Pradityo, setuju koruptor tidak mendapatkan remisi dan dihukum berat.
"Remisi ke para koruptor ini tetap dibuka, artinya hukuman yang sudah ringan jadi bertambah ringan," ujarnya dalam diskusi Melawan Langkah Koruptor, Pertahankan PP 99 tahun 2012 di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kemarin.
Artinya, lanjut Rimawan, keringanan untuk koruptor itu memberikan signal kepada dunia bahwa hukumannya tidak berat. "Kira-kira mengatakan seperti ini; "korupsilah sebanyak-banyaknya karena anda akan untung kalau berada di Indonesia". Lalu, apa pertanggungjawaban kita?" terangnya.
Pihaknya mengaku telah melakukan riset terkait kejahatan narkoba dan korupsi. Data dari putusan MA dari tahun 2001 sampai 2012 terdapat 1.365 kasus dengan 1.842 terdakwa. "Kita kemudian bermain-main dengan statistik, bagaimana sih hukuman kepada para koruptor? Rata-rata dari lama penjara dan putusan MA itu hanya 64,77 persen dari lama penjara tuntutan jaksa. Jadi, yang diketok palu itu hanya 64,77 persen dari lama penjara tuntutan jaksa," ulasnya.
Tanpa adanya pengetatan remisi yang terjadi adalah umumnya koruptor akan tinggal di penjara itu hanya 50 sampai 60 persen dari masa penjara berdasarkan putusan MA itu. Sebanyak 50 persen dikalikan dengan 64,77 persen Hasilnya sekitar 40 persen dari apa yang dituntut.
"Maka kalau kita tidak memberikan pengetatan dalam pemberian remisi yang terjadi adalah memberikan signal kepada calon koruptor bahwa kalau korupsi itu penjaranya ringan kok, nggak akan panjang-panjang," paparnya.
Sementara itu MA sudah menentukan majelis hakim yang akan melakukan gugatan judicial review terhadap PP 99 tahun 2012 tentang Tata Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra. Para hakim untuk perkara teregistrasi nomor 51 P/HUM/2013 itu adalah Supandi, Yulius, dan Imam Soebechi.(gen/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pamerkan Lagu Baru SBY di Hari Anak Nasional
Redaktur : Tim Redaksi