jpnn.com - Khofifah Indar Parawansa tampil di panggung penutupan orientasi mahasiswa baru Uiversitas Airlangga (Unair), Surabaya, Jawa Timur, (28/8).
Khofifah, Gubernur Jawa Timur dan sekaligus Ketua Ikatan Alumni (IKA) Unair, tampil di panggung memberikan motivasinya supaya mahasiswa baru bisa berprestasi tinggi.
BACA JUGA: Irjen Nico Beri Pembekalan Kepada Ribuan Mahasiswa Baru Unair
Acara itu menjadi mirip ‘’Khofifah Show’’ karena Khofifah memang ditampilkan sebagai bintang utama, atau bisa juga disebut sebagai sebagai ‘’Khofifah and Ganjar Show’’, karena ada co-host Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang juga ketua Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama).
Pasangan itu terlihat kompak memberi motivasi. Berdua terlihat terampil dan piawai mengendalikan show.
BACA JUGA: Lantik Pengurus KAGAMA Banyuwangi dan Jember, Ganjar: Ojo Serius-Serius
Tidak ada yang salah dengan ‘’Khofifah Show’’ itu.
Khofifah punya justifikasi sepenuhnya untuk tampil menyajikan show.
BACA JUGA: 5 Provinsi Sudah Tak Miliki Desa Tertinggal, Ada Wilayah Ganjar dan Khofifah
Cuma, yang memunculkan pertanyaan adalah tampilnya Ganjar Pranowo sebagai co-host mendampingi Khofifah.
Tentu banyak alasan yang bisa diajukan, dua orang itu sama-sama gubernur dan sama-sama ketua organisasi alumni dua universitas besar.
Akan tetapi, pertanyaan tetap muncul, mengapa berdua dengan Ganjar.
Pada tahun politik seperti sekarang, semua gerakan sekecil apa pun pasti memunculkan spekulasi politik.
Ganjar Pranowo sedang menjadi ‘’hot property’’ dalam panggung politik Indonesia, karena selalu muncul sebagai tiga besar dalam berbagai survei.
Makin dekat dengan tahun politik 2024, kian kencang spekulasi yang muncul oleh berbagai manuver sekecil apa pun.
Dalam perspektif dramaturgi Erving Goffman, penampilan Khofifah Show adalah penampilan di panggung depan atau front stage.
Khofifah terlihat cerah-ceria bagaikan seorang pemandu show profesional.
Penampilannya bersama Ganjar sungguh serasi dan saling mengisi. Itulah panggung depan yang tersaji pada acara Khofifah Show.
Akan tetapi, ada panggung belakang atau back stage yang tidak terlihat pada show itu.
Ganjar dan Khofifah adalah dua kepala daerah yang namanya masuk radar calon presiden maupun wakil presiden pada perhelatan Pilpres 2024.
Di balik panggung itulah, kemungkinan ada rencana dua tokoh itu untuk memperbaiki citra untuk menaikkan elektabilitas.
Semua kesempatan harus dioptimalkan, dan itulah yang dilakukan Khofifah dalam show di Unair itu.
Selama beberapa tahun terakhir ini kampus-kampus di Indonesia hambar dari aktivitas politik intelektual.
Kondisinya mirip dengan era Orde Baru yang menerapkan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahsiswaan) untuk meredam politik kampus.
Mahasiswa yang terlibat politik dianggap tidak normal, dank arena itu harus dinormalkan.
Mahasiswa dibikin fokus ke kuliah dan tidak tercemar oleh aktivitas politik.
Mahasiswa dibikin steril dari politik supaya fokus pada penyelesaian sistem kredit semester.
Alih-alih rajin menyicil kredit semester, yang terjadi kemudian adalah sistem kebut semalam.
Mahasiwa menjadi apolitik. Maka muncullah tipe mahasiswa ‘’kupu-kupu’’, kuliah pulang, kuliah pulang.
Ada juga mahasiswa yang lebih sering mengopi di kafe atau menongkrong di mal.
Mahasiswa ini masuk kategori mahasiswa kunang-kunang, kuliah nangkring, kuliah nangkring.
Ada mahasiswa yang produktif dan bisa kuliah sambil melapak.
Mahasiswa jenis ini termasuk mahasiswa kuda-kuda, kuliah dagang, kuliah dagang.
Bukan cuma mahasiswa yang pandai berdagang.
Pejabat kampus pun menjadi lebih lihai berdagang, termasuk memperdagangkan penerimaan mahasiswa baru.
Kampus dikelola layaknya perusahaan, kalau tidak mau disebut pabrik.
Kinerja dosen tidak dinilai dari kemampuan intelektualnya.
Tiap hari dosen harus cap jempol untuk menandai kehadiran di kampus.
Dosen harus pandai membuat laporan keuangan, kalau tidak mau kehilangan dana penelitian.
Kaum intelektual kampus diperlakukan seperti karyawan pabrik.
Para doktor dan guru besar harus mengisi presensi kehadiran setiap hari.
Ada insentif tambahan untuk kehadiran, dan ada denda berupa pemotongan bagi yang mangkir.
Para pekerja kampus itu setiap saat sibuk dengan keharusan memenuhi target beban kerja.
Meleset dari target beban kerja berarti tunjangan melayang, atau lebih buruk lagi, jabatan akan ikut melayang.
Yang terjadi kemudian banyak dosen yang menjadi tukang palak intelektual, memalak mahasiswa supaya membuat penelitian ilmiah, lalu sang dosen mengaku dengan menempelkan namanya sebagai ‘’first author’’.
Sang dosen masih memaksa para mahasiswa supaya mengutip karya ilmiahnya untuk menaikkan sitasi.
Jabatan rektor dikontrol dan ditentukan oleh pemerintah sehingga praktis rektor adalah pegawai pemerintah.
Malah ada juga rektor yang menjadi ‘’petugas partai’’.
Rektor tidak menjadi panutan intelektual, tetapi lebih sebagai direktur utama atau CEO sebuah perusahaan perseroan.
Tidak adanya politik kampus menjadikan kontrol dari internal lemah.
Korupsi di kampus tidak terendus dan tidak terdeteksi.
Kasusnya baru meledak setelah rektor tertangkap dalam OTT (operasi tangkap tangan) oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Apa yang terjadi terhadap Rektor Universitas Lampung Profesor Karomani sebenarnya tidak mengagetkan, karena praktik itu tidak mungkin hanya terjadi di Unila.
Nasib Prof. Karomani sungguh apes, sudah dicokok KPK, namanya sekarang diplesetkan menjadi ‘’Prof. Karomoney’’.
Akademisi telah menjadi akademia gelap, dan kampus telah mati. Begitu kata Peter Fleming dalam ‘’Dark Academia; How Universities Die’’.
Kampus tidak lagi melahirkan intelektual organik ala Gramsci yang bisa menjadi kontrol terhadap kekuasaan.
Sebaliknya, kampus banyak melahirkan ‘’cheer leaders intelectuals’’ para intelektual pemandu sorak yang menjadi bagian dari pertunjukan kekuasaan.
Inilah yang seharusnya menjadi keprihatinan kalangan kampus.
Kesadaran untuk menghidupkan kembali spirit intelektual kampus harus ditanamkan sejak mahasiswa mengikuti orientasi.
Kampus harus melahirkan intelektual, yang oleh Dr. Ali Shariati disebut sebagai ‘’Rauzan Fikri’’, manusia yang tercerahkan dan mencerahkan.
Yang terjadi sekarang kampus menjadi sasaran politik praktis.
Kondisinya mirip Orde Baru.
Mahasiswa di kampus dijadikan sebagai massa mengambang, tidak boleh berpolitik, tetapi menjadi objek politik ketika ada pemilu.
Kampus menjadi target politisasi untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas.
Itulah—kira-kira—yang terbaca di panggung belakang ‘’Khofifah Show’’. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror