jpnn.com - JAKARTA - Tiga lembaga swadaya masyarakat yang intens dalam mengawal penegakan hukum, hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi, mendesak Presiden Joko Widodo segera mencopot Jaksa Agung M. Prasetyo.
Pernyataan bersama ini disampaikan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar, Julius Ibrani dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lalola Easter dari Indonesia Corruption Watch (ICW) di kantor ICW Kalibata Timur, Minggu (25/10).
BACA JUGA: IPW: Ada Apa di Balik Kasus Risma?
Lalola Easter pada kesempatan itu mengatakan, satu agenda penting yang harus dilakukan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) setelah genap setahun memerintah adalah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja jajaran menteri atau pejabat lembaga negara dalam Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK.
"Salah satu jajaran dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK yang penting untuk dievaluasi adalah Jaksa Agung, HM. Prasetyo," kata Lalola.
BACA JUGA: Asap Mulai Masuk Pulau Jawa
Dari awal, ujarnya, penunjukkan M Prasetyo menuai protes dari sejumlah kalangan. Jokowi dianggap ingkar janji karena pernah menyatakan tidak akan memilih figur Jaksa Agung yang berasal dari politisi partai politik.
"Namun faktanya justru sebaliknya Jokowi menunjuk dan melantik HM Prasetyo, politisi Partai Nasdem sebagai Jaksa Agung. Muncul kesan pemilihan Jaksa Agung sebagai upaya bagi-bagi kursi kepada Partai Politik yanng mendukung Jokowi dalam Pemilihan Umum 2014 lalu," sebutnya.
BACA JUGA: Mahasiswa Indonesia di Inggris Galang Aksi #freedomtobreathe, Mau Ikut?
Mekanisme pemilihan Jaksa Agung juga dianggap menyimpangi Nawacita karena tidak melibatkan KPK dan PPATK sebagaimana Jokowi menseleksi kandidat menterinya. Padahal masih banyak figur-figur lain yang lebih bersih, berani dan berprestasi yang dianggap layak menjadi Jaksa Agung.
Latar belakang Prasetyo sebagai politisi menimbulkan kekhawatiran antara lain, independensi institusi Kejaksaan. Selain rawan intervensi politik, juga masalah loyalitas ganda. "Selain loyal kepada Presiden, Jaksa Agung yang berasal dari Parpol diduga juga akan loyal kepada Pimpinan Partai dimana dia pernah bergabung," kata Lalola.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kinerja jajaran kejaksaan di bawah Jaksa Agung Prasetyo dalam upaya pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi di internal Kejaksaan sangat tidak memuaskan. Penilaian ketidakpuasan ini didasari pada sejumlah indikator.
Pertama, tidak terpenuhinya pencapaian pelaksanaan Strategi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2015. Dari 17 poin yang jadi PR Kejagung, ICW melihat belum ada poin dalam Stranas PPK yang dipenuhi secara memuaskkan oleh Kejagung.
"Mayoritas 12 pekerjaan rumah Kejaksaan dalam pelaksanaan Inpres 7 Tahun 2015 adalah dalam status belum sepenuhnya berjalan. Sebanyak 5 pekerjaan lainnya tidak jelas perkembangannya," kata Lalola.
Kedua, Kejaksaan Agung tidak kunjung menuntaskan eksekusi Aset Yayasan Supersemar dan Piutang Uang Pengganti Hasil Korupsi sebesar Rp 4,4 triliun. Selain itu, bedasarkan data BPK tahun 2014, Kejaksaan RI masih memiliki piutang uang pengganti sebesar Rp 11.880.833.623.374,80, US$ 215,762,042.30, dan Sin$ 34,951.6 yang belum dieksekusi dari putusan uang pengganti perkara tindak pidana korupsi.
Ketiga, kerja jajaran kejaksaan dan Satgassus Kejaksaan Agung tidak maksimal dalam penanganan perkara korupsi. Berdasarkan penelusuran media, per April 2015, Satgassus. mengklaim telah menyidik 102 kasus korupsi, baik dari perkara mangkrak pada 2014 maupun perkara baru tahun 2015.
Namun jumlah yang disampaikan tersebut terkesan masih sebatas pencapaian secara kuantitas karena secara kualitas tidak banyak perkara korupsi high profile yang berhasil digarap Satgassus Tipikor ini. "Belum ada satupun perkara korupsi kakap yang dihentikan (SP3) kemudian dibuka kembali oleh Kejaksaan," jelasnya.
Beberapa perkara yang digadang-gadang akan diselesaikan oleh tim ini adalah korupsi UPS DKI Jakarta, namun perkembangan penanganan perkara tersebut belum juga tuntas hingga sekarang.
Penanganan kasus korupsi penyalahgunaan dana Bansos di Provinsi Sumatera Utara justru menjadi tidak jelas sejak ditangani oleh Kejaksaan Agung karena tidak ada satupun tersangka yang ditetapkan dalam perkara ini.
Adapun perkara korupsi yang berhasil diselesaikan oleh Satgassus Tipikor ini, sebagian besar merupakan perkara korupsi di tingkat daerah, dan salah satu yang menarik perhatian publik adalah perkara korupsi Trans Jakarta yang menjerat Udar Pristono, mantan Kadis Perhubungan DKI Jakarta.
Berikut, langkah penyidikan Kejaksaan kandas dalam dua sidang pra peradilan yang diajukan oleh Dahlan Iskan dan Victoria Securities Indonesia. Pada tahun 2015, Kejaksaan menghentikan kasus korupsi kakap seperti kasus pengadaan 5 Unit mobil pemadam kebakaran (damkar) di PT Angkasa Pura senilai Rp 63 miliar, kasus dana hibah APBD Bantul yang melibatkan Idham Samawi, politisi PDI P dan kasus kepemilikan “rekening gendut” 10 kepala daerah berdasarkan temuan PPATK akhir 2014 lalu.
Keempat, reformasi birokrasi Kejaksaan yang belum berjalan. Salah satu mandat dalam Inpres 7 Tahun 2015 dan Program Nawacita untuk dilaksanakan oleh Kejaksaan adalah Melakukan lelang jabatan strategis pada lembaga penegak hukum dan pembentukan regulasi tentang penataan aparat penegak hukum.
Namun hingga kini pengisian jabatan-jabatan strategis ditubuh Kejaksaan belum dilakukan dengan proses lelang. Dalam beberapa proses rotasi jabatan tidak dilakukan dengan proses lelang. Dalam surat Keputusan Jaksa Agung No: Kep-074/A/JA/05/2014 tanggal 13 Mei 2015 ada 16 pejabat eselon II dan III yang akan dirotasi.
"Begitu pula dengan Bayu Adhinugroho yang ditunjuk debagai koordinator Kejaksaan Tinggi DKI. Bayu Adhnugroho adalah anak dari Jaksa Agung H.M Prasetyo. Bersama Bayu ada 74 pejabat eselon III yang akan dirotasi. Yang teranyar, kabar pergantian Jaksa Agung Muda Pidana Khusus yang juga tak dilakukan melalui proses lelang," tuturnya.
"Berdasarkan sejumlah uraian diatas maka kami dapat menyimpulkan bahwa - HM Prasetyo gagal menjalankan mandat sebagai Jaksa Agung dalam menegakkan HAM dan memberantas korupsi di Indonesia. Presiden Jokowi harus mengganti HM Prasetyo dengan figur lain yang lebih kredibel dan indpenden (bukan politisi) sebagai Jaksa Agung," pungkasnya.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Padamkan Kebakaran Hutan, Pramuka Dapat Jempol dari Rusia dan Jepang
Redaktur : Tim Redaksi