jpnn.com, JAKARTA - Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diyakini menjadi salah satu solusi mengatasi tumpang tindih regulasi kegiatan usaha.
Metode penyusunan regulasi secara omnibus tersebut diharapkan bisa mereformasi peraturan sehingga meningkatkan investasi di Indonesia.
Saat ini pemerintah tengah menyusun 40 rancangan peraturan pemerintah (RPP) dan empat Peraturan Presiden (perpres) terkait UU Cipta Kerja.
Aturan turunan ini diharapkan sejalan dengan semangat regulasi di atasnya supaya tidak menimbulkan tumpang-tindih regulasi dan hambatan investasi lainnya.
BACA JUGA: UU Cipta Kerja akan Membangkitkan Iklim Investasi di Daerah dan Pusat
Direktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Agung Pambudhi berharap, pemerintah menyelesaikan persoalan investasi dan berusaha melalui aturan turunan UU Cipta Kerja yang tengah disusun. Pemerintah juga harus tegas selaku pemegang otoritas kebijakan dalam memutuskan perizinan dan aturan hukumnya.
"Juga perlunya prinsip fiktif positif bahwa dalam permohonan perizinan dianggap disetujui jika dalam batas waktu tertentu tidak ada keputusan dari pemda. Ini harus tertuang dalam aturan turunan yang tengah dibahas," kata Agung.
BACA JUGA: Pemprov Jabar Harap UU Cipta Kerja Permudah Usaha dan Atasi Tumpang Tindih Kebijakan
Menurutnya, pengusaha sangat mengharapkan pelayanan perizinan jauh lebih memberikan kepastian dari sebelum adanya UU Cipta Kerja.
"Saya sangat percaya manajemen paling primitif perlu dijalankan yakni reward and punishment bagi ASN yang betugas melayani perizinan. Itu tepat untuk mengubah perilaku kerja yang selama ini ada," terang Agung.
Dia juga berharap, kemudahan investasi harus tergambar dari seluruh RPP yang dibuat pemerintah. Misalnya, mengenai kemudahan pengurusan izin yang berbasis sistem mulai pemenuhan persyaratan dokumen hingga pelaku usaha atau pemohon mendapatkan izinnya. Agung meminta proses tersebut tidak hanya mudah, tapi juga pasti.
Menurut dia, langkah pemberian perizinan berbasis risiko memang menjadi ruh regulasi UU Cipta Kerja. Kebijakan tersebut harus dimaksimalkan untuk kemudahan masyarakat.
"Paling penting dalam proses ini soal bagaimana sistem yang menjamin partisipasi dan juga konsultasi di mana publik bisa memberikan catatan atas peraturan-peraturan yang menjadi regulasi turunan dari UU Cipta Kerja," tuturnya.
Sebelumnya, Staf Ahli Bidang Pengembangan Produktivitas dan Daya Saing Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Lestari Indah, menjelaskan reformasi perizinan tersebut meliputi berbagai sektor usaha.
Reformasi dilakukan dengan mengubah konsep menjadi berbasis risiko. Pendekatan tersebut nantinya membagi tiga jenis usaha yaitu risiko rendah, menengah dan tinggi.
Menurut Lestari, izin usaha saat ini masih bersifat kompleks karena terdapat perbedaan antara kementerian dan lembaga dan tingkat daerah.
“Semua kegiatan usaha harus ada izin, banyak sekali izin-izin untuk kegiatan usaha, kompleks. Setiap kementerian dan lembaga punya pola sendiri-sendiri,” jelas Lestari.
Lestari menambahkan konsep perizinan berbasis risiko tersebut tidak melemahkan pengawasan pemerintah terhadap kegiatan berusaha.
Dia menjelaskan saat izin mendirikan bangunan pengawasan dilakukan secara bersamaan dengan proses pengerjaan gedung.
Berbeda dibandingkan konsep perizinan sebelumnya yang standarnya hanya di awal saja tetapi saat pengerjaan tidak memenuhi kriteria.
“Kami alihkan komptensi pemerintah pada pengawasannya, untuk dorong pelaku usaha sesuai standar. Dulu standar hanya saat mau urus izin, habis itu lepas,” jelas Lestari. (flo/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Natalia