Kisah Agus, Sopir Truk yang Akhirnya Bertemu Presiden Jokowi

Rabu, 09 Mei 2018 – 07:14 WIB
Agus Yuda, sopir truk, ditemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta (8/5). Foto Setpres

jpnn.com - Agus Yuda, seorang sopir truk, bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Selasa (8/5), setelah menempuh 729 kilometer selama 23 hari berjalan kaki dari Mojokerto, Jawa Timur.

Jokowi menemui Agus secara khusus setelah mengikuti silaturahmi dengan para pengemudi truk di Istana Negara, Jakarta. Presiden didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (Komjen) Syafruddin.

BACA JUGA: Wakapolri: Polisi Jijiklah Pungli Rp 5 Ribu, Rp 10 Ribu

Kesempatan itu pun tak disia-siakan Agus. Dia ”memuntahkan” penderitaan yang selama ini dipendam sebagai sopir barang antarkota. Setiap hari dia harus berurusan dengan aksi pemalakan.

”Yang saya sampaikan ke Pak Presiden tadi ya kami seluruh driver angkutan barang di seluruh Indonesia itu meminta keamanan dan kenyamanan waktu mendistribusikan barang,” kata dia.

BACA JUGA: Pungli Jalanan Masih Marak, Jokowi: Kaget dong Masa ga Boleh

Agus memulai perjalanan ekstremnya tersebut pada 8 April 2018. Ayah dua anak itu sampai di Jakarta pada 3 Mei lalu. Dengan bekal pakaian dan telepon seluler. Tanpa uang sepeser pun. ”Untuk makan dibantu komunitas driver,” ujarnya saat ditemui seusai pertemuan dengan Jokowi.

Agus menceritakan, perjalanan 23 hari yang dilakukannya tidak selamanya mulus. Sebab, semua dilakukan secara spontan. Sejak awal perjalanan, dia memang tidak mengabari para komunitas driver yang dilewati. Kalaupun ada komunitas driver yang membantu, itu hanya insidental. ”Semua spontan saja,” ucapnya.

BACA JUGA: Jokowi Kaget Dengar Curhat Sopir Truk di Istana

Karena itu, di sepanjang perjalanan, pria berambut ikal tersebut tidur di sembarang tempat. Jika ada komunitas sopir yang menerimanya, dia bisa menumpang di rumahnya. Namun, jika tidak, Agus terpaksa meminta izin tidur di tempat umum, misalnya di mapolsek, makoramil, atau pom bensin.

Meski demikian, Agus tetap bersyukur. Sebab, tidak ada rintangan berarti yang menghadangnya. Tuhan pun selalu memberinya kesehatan. ”Alhamdulillah, sandal atau sepatu juga tidak ada yang rusak,” ungkapnya.

Agus menilai profesi sopir pengangkut barang sangat sentral dalam ekosistem aktivitas ekonomi di Indonesia. Tanpa adanya sopir pengangkut barang, distribusi hasil produksi tidak bisa tersalurkan. Karena itu, bukan hal yang berlebihan jika sopir menuntut negara mau memberikan jaminan keamanan.

”Karena kami seluruh driver Indonesia itu sebagai pendukung pemerintah. Tanpa adanya kami pendistribusian tidak akan lancar,” imbuh anggota Serikat Pengemudi Truk Nusantara (SPTN) tersebut.

Agus menceritakan, sejak dirinya menjadi sopir barang pada 2014, aksi pemalakan di jalanan telah menjadi menu keseharian. Dia dan juga ribuan orang yang berprofesi sama tidak punya banyak pilihan. Melawan bisa babak belur. Namun, jika menuruti, penghasilan mereka anjlok.

Berdasar pengalamannya menjadi sopir barang di Jawa dan Sumatera, aksi premanisme terjadi merata. Di Jawa praktik serupa masih terjadi. Khususnya di daerah yang belum memiliki jalan tol. ”Di Jawa itu masalah premanismenya biasanya di daerah Pasuruan, Probolinggo, sampai Banyuwangi,” kata dia.

Sedangkan di Sumatera kasus serupa hampir terjadi di semua kabupaten. Besaran uang palak tiap preman sangat beragam. Ada yang mau dikasih Rp 5 ribu, Rp 10 ribu, sampai Rp 20 ribu. Tapi, tidak jarang juga yang memaksa hingga ratusan ribu rupiah. Bagi sopir, kata dia, tidak ada pilihan untuk menolak. Sebab, nyawa jadi taruhan.

Bahkan, berdasar penuturan temannya, tidak sedikit pula yang diancam dengan menggunakan pisau di leher. Atau paling tidak, kaca truk bisa dibuat hancur.

Belakangan, lanjut Agus, aksi premanisme yang menyasar sopir pengangkut barang kian menggila. Di kawasan Sumatera banyak preman di berbagai lokasi yang mewajibkan truk harus berstempel. Tapi bukan stempel dari dinas pemerintah, melainkan stempel dari preman. Harga untuk mendapatkan stempel tidak mudah. Mencapai Rp 1 juta rupiah.

Kalau sudah punya stempel pun, para sopir tetap kena jatah dalam kunjungan selanjutnya. ”Paling kami ngelem (Rp) 5 ribu, 10 ribu, 20 ribu,” kata pria 30 tahun itu.

Penderitaan tidak selesai sampai di situ. Pasalnya, mereka masih menerima pungli yang dilakukan oknum petugas. Baik petugas dinas perhubungan maupun aparat kepolisian. Berbagai modus pun kerap dilakukan.

Mulai alasan yang masuk akal seperti tonase (bobot barang) melebihi batas atau kelengkapan dokumen. Sampai yang tidak masuk akal seperti tutup pentil ban. Namun, daripada kendaraan ditahan, sopir pun terpaksa mengeluarkan uang pelicin, puluhan hingga ratusan ribu rupiah.

Meski pemalakan hanya puluhan hingga ratusan ribu, jika dikalkulasi, jumlah yang dikeluarkan sopir untuk preman kampung dan preman berseragam cukup besar. Untuk perjalanan pergi pulang dari Jawa Timur ke Medan yang butuh waktu tiga minggu saja, misalnya, jatah untuk dua jenis premanisme itu bisa mencapai 3 juta rupiah.

Akibat biaya pemalakan yang tak sedikit, uang yang bisa dibawa pulang sopir tidak banyak. Jika beruntung, ungkap Agus, sopir masih bisa membawa Rp 2 hingga 3 juta. Jika sedang apes (pemalak banyak), tidak sedikit sopir yang tak membawa apa pun. ”Seharusnya kan bisa bawa sampai Rp 6 juta kalau tidak dipalak,” ucapnya.

Karena itu, Agus berharap pemerintah bisa memberikan perhatian khusus terhadap persoalan tersebut. Sebab, berbagai upaya sudah dilakukan para sopir di lapangan. Antara lain melapor ke polsek atau polres jika terkena palak. Namun, semua itu sia-sia.

”Mungkin (polisi dan preman, Red) kongkalikong. Nah, itu membuat kami istilahnya nge-down, ngedrop. Sudah enggak ada kepercayaan lagi pada beliau (polisi),” tuturnya.

Presiden Jokowi pun terkejut atas maraknya aksi premanisme yang sampai memotong penghasilan sopir sedemikian besarnya. Mantan wali kota Solo itu mengaku sudah mendengar laporan tersebut, tapi tidak menyangka jumlahnya sangat besar.

”Saya kan dengarnya sedikit. Ternyata, setelah bertanya kepada para pengemudi, para sopir (dipalak) sangat banyaknya. Kaget dong. Masak gak boleh kaget saya?” ujarnya kepada wartawan.

Seusai pertemuan, Jokowi langsung memerintah Wakapolri memberantas praktik itu. Bukan hanya terhadap preman lokal, tapi juga aparat yang nakal. Dia mengakui, aksi pemalakan yang berdampak pada naiknya cost distribusi sudah tidak bisa ditoleransi. ”Disikat saja semuanya,” tegas Jokowi.

Wakapolri Syafruddin mengatakan, pihaknya perlu mengecek dulu laporan itu. Khususnya terhadap pemalakan yang dilakukan aparat. Sepengetahuannya, praktik tersebut sudah lama ditinggalkan kepolisian.

”Mereka juga jijik lah mau pungli-pungli yang Rp 5 ribu, Rp 10 ribu, sekarang. Remunerasi besar sekarang polisi itu. Lebih dari gajinya,” ujar dia.

Namun, jika di lapangan masih ditemukan, jenderal bintang tiga tersebut memastikan melakukan pemecatan. Dia juga mempersilakan sopir truk ataupun masyarakat merekam jika ada polisi yang masih melakukan pungli.

”Silakan videokan para polisi yang ada di jalan. Ini perintah saya ya. Saya langsung pecat. Begitu ada videonya benar, kita pecat hari itu. Telanjangin dia. Keras sekali kita,” tandasnya.

Karena itu, Syafruddin juga meminta Kapolda di daerah terkait segera melakukan penertiban. Jika ada yang main-main, pihaknya tidak segan-segan mencopot Kapolda. (far/c9/ttg)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Menjamu Sopir Truk dari Berbagai Daerah di Istana


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler