jpnn.com - MEMORI pahit tak bisa dilupakan Renold (13), satu dari tiga korban penculikan oknum sopir angkot yang merampok juga meninggalkan mereka di tengah hutan.
Wajah Renold masih terlihat pucat. Sesekali dia menundukkan kepalanya, tangannya bertautan dengan kuat. Kakinya sesekali ia hentakan. Ia menarik nafasnya dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar. Ketakutan. Ekspresi itu yang terpancar dari wajahnya. "Ayo lihat benar bukan itu orangnya,” kata Ririn, ibu dari anak itu.
BACA JUGA: Pengacara Aa Gatot Tantang Citra Lakukan Tes DNA
Mendengar perkataan ibunya, ia tetap menolak untuk beranjak dari kursi panjang yang ia duduki. Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ririn tak menyerah, ia terus memaksa putranya untuk berdiri. Akhirnya Renold mengikuti langkah ibunya.
Menelusuri lorong dalam gedung itu. Ia lalu menemukan sekelompok pria dewasa berbadan tegap yang tengah berdiri. Mata Renold lalu tertuju pada sosok pria yang duduk dikepung para pria. Tangan pria itu dilipat ke belakang. “Benar ini orangnya dek?,” kata Iptu Gelora Tarigan seraya membuka topeng yang menutup wajah pria itu.
BACA JUGA: Mengaku Titisan Nabi Sulaiman, Aa Gatot Setubuhi Biduan
Tak ada jawaban yang dikatakan Renold. Mulutnya terkatup. Pandangannya seketika kosong. bayangan mengerikan seketika menghantui pikirannya. Tarigan kembali menanyakan Renold. Ia meminta jawaban pasti darinya. Karena hanya dia yang tahu identitas pria yang terduduk itu. Ririn juga turut meminta Renold untuk bersuara. Ia menyenggol putranya. “Iya benar, itu dia orangnya,” katanya datar dengan tatapan lurus.
Kalimat serupa dikatakan pria yang terduduk itu. ia mengaku mengenal Renold. Tak hanya Renold, tetapi juga ketiga teman Renold. Pria itu bernama Berto M. Tubuhnya kekar dengan tinggi 155 cm. Wajah Berto lalu ditutup kembali. Ia lalu digelandang menuju salah satu ruangan.
BACA JUGA: Curi Motor untuk Bantu Istri Buka Warung
Sedangkan Renold, ia masih mengelus dada. Wajahnya masih pucat. Masih segar di ingatannya kejadian mengerikan pada Sabtu (4/9) sore itu. Sekitar pukul 16.00 WIT, Renold, Sandi, dan kedua rekannya baru selesai les di kawasan Km 12 depan Luxio, Sorong, Papua Barat.
Mereka lalu berjalan kecil menuju taraffic light Km 12. Melewati jembatan. Seketika, ada sebuah mobil angkutan kota dari arah Km 11 yang berhenti. Dengan senyum ramah, sang sopir menyuruh mereka masuk. Mereka sempat menolak, lantaran arah rumah mereka berbeda. Namun, sang sopir berjanji akan mengantar mereka sampai ke tempat tujuan. “Kebaikan seseorang tak boleh ditolak” begitu batin mereka.
Sang supir lalu membawa mereka menuju Km 14, lanjut KM 15, 16 hingga ke wilayah yang mereka tak ketahui. “Saya tanya, kita mau kemana om? Terus dia bilang jalan-jalan. Kami takut, terus kami tanya lagi, tapi dia suruh diam,”kata Renold tertunduk.
Mendengar perintah sopir yang berkata dengan nada tinggi. Renold dan ketiga rekannya memilih untuk bungkam. Dilihat jam tangannya, waktu telah menunjukkan pukul 17.00 WIT. Dia lalu melihat pemandangan di depan. Alun-alun Aimas. Sang sopir lalu membelokkan angkot menuju jalan aspal yang luas, di depan terlihat papan bertuliskan jalan Osok.
Dalam jalur itu, tak banyak rumah yang terlihat. Semakin jauh, tak ada tanda-tanda hunian. Yang ada hanya semak belukar dan pepohonan yang tinggi dan rindang. Mereka hanya bisa berdoa. Handphone di sakunya hanya sebagai penghias. Renold tak terpikirkan untuk menghubungi orangtuanya. Keringat dingin mulai membanjiri mereka.
Tiba-tiba sebuah gedung bertuliskan kampus Nanibili terlihat. Nafas mereka terasa lega. Namun, sang sopir terus melaju. Kampus itu juga terlihat sepi. Waktu menunjukkan pukul 17.30 WIT. Matahari mulai tenggelam dalam temaram.
Sang sopir lalu menghentikan mobil ia lalu menyuruh para siswa memberikan tas mereka. Puas menggeledah tas, sang sopir lalu memeriksa kantong baju dan celana para siswa malang itu. Setelah mendapatkan 2 handphone dan uang Rp 10 ribu dari saku para mangsanya. Sang sopir lalu kembali ke mobil.
“Dia pergi terus bilang kami kalau dia mau mau pinjam hp kami. Saya sempat mau lawan, tapi saya takut nanti dia tikam. Lebih baik cari aman,”kata Sandi yang ada di samping Renold.
Melihat kepergian sang sopir beserta angkot. para siswa malang ini hanya bisa menatap kosong. sekeliling mereka tak ada rumah. Yang ada hanya pohon yang menjulang tinggi. Dengan langkah lemah, mereka berjalan. Mencoba untuk keluar dari tempat mengerikan itu. Pikiran mereka berkecamuk. Bagaimana jika ada binatang buas atau orang mabuk.
Dengan tertatih mereka mengumpulkan tenaga untuk terus berjalan di jalan yang gelap. Hanya cahaya rembulan yang menerangi langkah kaki mereka. Waktu telah menunjukkan pukul 19.00 WIT. Di jalan yang luas itu, tak ada satupun kendaraan yang melintas.
Pukul 19.30 WIT, akhirnya cahaya lampu mulai terlihat. Setengah berlari, mereka mencari seseorang untuk memberinya pertolongan. Mereka lalu melihat sesosok pria bersegam hijau lumut. “Kami lihat Pak Tentara di depan alun-alun. Akhirnya dia yang antarkan kami pulang,”kata Renold.
Sang ibu, Ririn dmengatakan. Sejak kejadian itu Renold menjadi sosok yang pendiam. Sulit makan. Berkomunikasi hanya jika butuh. Dan kerap melamun. Demikian pula dengan Sandi, selama tiga hari dia masih trauma. Masih jelas gambaran hutan dan semak belukar yang dilawatinya.
“Ini baru dia mulai seperti biasa, mau sedikit ketawa. Setelah dengar pelakunya sudah ditangkap,”kata Ririn yang mendampingi sang putra di Mako Polres Sorong Kota, pada Kamis (8/9).
Dari kejadian yang menimpanya. Renold dan ketiga rekannya banyak mengambil pelajaran. Pertama, jangan mudah percaya terhadap bujukan orang. Lebih waspada. Dan yang pasti lebih berani dalam mengahadapi situasi sulit dan menakutkan.
“Lebih hati-hati, kalau naik angkot pilihan yang banyak penumpang terus ada orang dewasanya,” kata anak yang masih duduk di bangku SMP kelas 2 ini. (nur hayyu supriatin/radar sorong/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tersangka Kelima Penyanderaan di Pondok Indah Akhirnya...
Redaktur : Tim Redaksi