jpnn.com - Kecelakaan jatuhnya pesawat Ethiopian Airlines ET 302 meninggalkan kisah pilu. Banyak di antara keluarga korban yang masih tak percaya bahwa orang-orang tercinta mereka telah tiada dengan cara yang begitu tragis.
--
BACA JUGA: 737 MAX 8
KAKI Kebebew Legesse terasa lemas saat melihat lokasi jatuhnya pesawat Ethiopian Airlines ET 302. Dua kerabat lelakinya terpaksa menyangga tubuhnya. Tangis dan erangan pilu terus keluar dari bibirnya.
Legesse Dia masih tak percaya putrinya, Ayantu Girmay, ikut menjadi korban tewas dalam kecelakaan nahas yang terjadi Minggu (10/3). Girmay adalah salah seorang kru maskapai milik pemerintah Ethiopia tersebut.
BACA JUGA: Tamasya ke Afrika, Sekeluarga Jadi Korban Jatuhnya ET 302
Kesedihan itu kian menjadi karena jasad Girmay tak bisa dikebumikan secepatnya. Para korban memang hampir-hampir tak bisa dikenali lagi.
”Proses identifikasi korban bakal memakan waktu setidaknya lima hari,” terang Juru Bicara Ethiopian Airlines Asrat Begashaw seperti dikutip Reuters.
BACA JUGA: Ramai-Ramai Kandangkan Boeing 737 Max 8
BACA JUGA: Kekhalifahan Hancur, ISIS Mulai Bergeriliya
Pesawat nahas itu dikemudikan Yared Mulugeta Getachew, seorang kapten pilot senior. Meski begitu, pria 29 tahun itu merupakan kapten termuda di maskapai pelat merah tersebut. Karirnya cemerlang dengan masa depan cerah yang membentang.
Tapi, semuanya berakhir saat pesawat Boeing 737 Max-8 yang dikemudikannya menghantam tanah lapang di Hejerem dekat Bishoftu, Etiopia.
Sebelum kejadian nahas itu, pilot berkewarganegaraan ganda, Kenya dan Ethiopia, tersebut sudah satu dekade bergabung dengan Ethiopian Airlines. Tepatnya pada November 2007.
Dia mengantongi lebih dari 8 ribu jam terbang. Alumnus Ethiopian Airlines Aviation Academy tersebut bekerja hampir tanpa cela. Dalam pernyataan resminya, pihak keluarga menyatakan luar biasa bangga dengan prestasi yang dicapai Getachew. ”Dia memiliki rekor terbang yang luar biasa,” terang CEO Ethiopian Airlines Tewolde Gebre Mariam.
Selasa (12/3) asosiasi pilot Ethiopia menggelar upacara penghormatan terakhir untuk semua kru Ethiopian Airlines yang menjadi korban. Ruang duka dipenuhi dengan isak tangis. Mereka rata-rata masih tak percaya dengan kecelakaan nahas itu terjadi.
”Saya tak bisa tidur. Shock. Ini sulit dipercaya,” ujar Hassan Katende, salah seorang kawan Getachew pada BBC.
Kisah para penumpang juga tak kalah tragis. Mahasiswa Georgetown University Cedric Asiavugwa terbang ke Nairobi untuk menghadiri pemakaman salah seorang kerabatnya. Tapi, kenyataannya justru dia yang harus dimakamkan.
Kehilangan yang luar biasa juga dirasakan keluarga Vaidya. Enam anggota keluarga yang berasal dari Brampton, Kanada, itu ikut menjadi korban.
Mereka adalah Kosha Vaidya, 37; dan sang suami Prerit Dixit, 45. Dua putri mereka, Ashka Dixit, 14; dan Anushka Dixit, 13, ikut tiada. Kedua orang tua Kosha, Pannagesh Vaidya, 73; dan Hansini Vaidya, 68, juga tewas.
BACA JUGA: Ramai-Ramai Kandangkan Boeing 737 Max 8
”Dia adalah satu-satunya saudari saya. Saya kehilangan orang tua dan saudari saya. Kini saya tak punya siapa-siapa lagi,” ujar Manant Vaidya.
Manant mengungkapkan bahwa dirinya tahu tentang kecelakaan tersebut dari kawannya. Mereka menelepon tengah malam mengabarkan tentang kecelakaan tersebut. Antara percaya dan tidak, mereka akhirnya berangkat ke bandara untuk memastikan. Kepastian yang mereka terima menjadi pukulan yang begitu menyakitkan.
Manant mengungkapkan, dirinya kali terakhir melihat mereka saat mengantar ke Bandara Internasional Toronto Pearson. Rombongan tersebut rencananya pergi untuk wisata sekali seumur hidup di taman safari Kenya.
Perjalanan itu direncanakan jauh hari sebelumnya dan mereka memutuskan saat liburan Maret ini adalah waktu yang tepat untuk melakukannya. ”Saya bertanya pada ayah saya kenapa dia ingin ikut pergi dan dia berkata pada saya bahwa dia ingin merasakan bepergian sekali lagi,” ungkapnya.
Legislator Slovakia Anton Hrnko juga harus kehilangan seluruh anggota keluarganya. Istrinya, Blankam, serta putra dan putrinya –Martin dan Michala¬– menjadi korban tewas ET 302.
Pakar pariwisata kutub Sarah Auffret juga harus kehilangan nyawa. Perempuan berkewarganegaraan Inggris dan Prancis itu berencana ke Nairobi untuk menghadiri acara PBB.
Dia akan menjadi pembicara tentang bagaimana mencegah polusi plastik pada binatang laut. Perempuan 30 tahun tersebut pernah tinggal di Australia, Jerman, Argentina, Jepang, dan Semenanjung Antartika.
Dalam daftar korban, beberapa di antaranya adalah anggota PBB yang akan menghadiri pertemuan di Nairobi seperti halnya Auffret. Salah satunya adalah pekerja Badan Pangan Dunia dan Agrikultur (FAO) Joanna Toole. ”Dia adalah orang yang lembut dan penyayang,” ujar sang ayah, Adrian.
Kesedihan ayah yang kehilangan putrinya itu memang tak bisa digambarkan. Tapi, sekali lagi, meski menyesakkan, kenyataan harus diterima dengan lapang dada. (sha/c25/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Penumpang Ethiopian Airlines Terhindar Maut karena Apes
Redaktur : Tim Redaksi