jpnn.com - Pantai selatan di Timor Tengah Selatan (TTS) memiliki keunikan dibanding pantai lainnya di Pulau Timor. Sepanjang pantai selatan terbentang pasir nan indah. Plus batu warna yang dimuntahkan dari laut setiap saat.
Namun, Jumat (28/4), pantai nan indah itu seperti murka. Dalam sekejap gelombang setinggi lima meter menerjang pantai dan sampai ke permukiman warga. Ada apa sebenarnya?
BACA JUGA: Bang Betor Diwisuda, Dosen Pembimbing Kagumi Semangatnya
YOPI TAPENU, SoE
PANTAI selatan di wilayah TTS, khususnya Kolbano berjarak sekitar 70 km dari ibu kota Kabupaten TTS, SoE. Jumat (28/4) sekira pukul 10:30, secara tiba-tiba masyarakat yang bermukin dekat pantai Kolbano dikejutkan terjangan gelombang tinggi dengan kecepatan tinggi pula. Tepatnya di RT 1/RW 1 Desa Spaha, Kecamatan Kolbano.
BACA JUGA: Si Gadis Cantik Mualaf, Balerina Berhijab Pertama di Dunia
Tidak ada tanda-tanda alam yang mencurigaan saat itu. Karenanya, sejak pagi masyarakat setempat melaksanakan aktivitas seperti biasa. Sebagian masyarakat di sana berprofesi sebagai penambang batu warna. Karena pantai selatan di TTS itu tepatnya di Kecamatan Kolbano terdapat batu berwarna berbentuk bulat, lempengan dan sangat licin. Ini menjadi ciri khas batu warna di tempat itu. Seperti batu yang dilicinkan menggunakan teknologi.
Aktivitas tambang batu warna itu dilakukan sejak beberapa tahun silam. Namun, batu itu selalu ada. Seakan tidak pernah ada habisnya. Dari mana asal batu itu? Masyarakat setempat meyakini batu itu berasal dari laut. Setiap deburan gelombang yang pecah di pantai selalu membawa serta batu-batu warna tersebut.
BACA JUGA: Sepertinya, Predikat Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Saja tak Cukup
"Ini pemberian dari Tuhan untuk kami. Kami mengambilnya sebagai mata pencaharian kami. Asal tidak merusak pantai. Hanya mengambil batu. Itupun tidak semua batu boleh diambil,” ujar seorang penambang, Marthen Taneo ketika ditemui Timor Express (Jawa Pos Group), Jumat (28/4).
Beruntung sesaat sebelum air laut mengamuk turun hujan dalam skala sedang. Masyarakat penambang memilih untuk berteduh sejenak sembari menunggu hujan reda untuk kembali turun ke laut. Mereka akan melanjutkan aktivitas penambangan batu warna yang dilakukan secara tradisional turun-temurun itu.
Namun, baru sejenak beristirahat di pondok dan rumah yang berada di sekitar pantai itu, terjadi gelombang yang sangat besar. Kesaksian warga yang melihat, gulungan ombak itu setinggi kurang lebih lima meter. Bahkan ada yang menyangka itu adalah tsunami.
"Tiba-tiba saja gelombang tinggi sekali. Datang cepat sekali. Kami kira tsunami. Kami langsung lari selamatkan diri," kata Simon Bako, seorang penambang.
Ada warga yang menduga akan terjadi gelombang badai seperti kejadian tahun 2001 silam yakni air laut mengamuk keluar hingga merendam sejumlah rumah warga. Juga badan jalan lintas selatan TTS. Dugaan itu ternyata benar. Beberapa saat terjadi hujan dalam intensitas sedang itu, air laut mulai bergerak melampaui batasnya. Beberapa saat kemudian air laut dengan ombaknya yang tinggi mulai menghanyutkan benda yang terletak di sepanjang pantai tempat wisata Fatu Un itu.
Sebuah perahu yang ditambat pemiliknya di tepi pantai, dihempas ombak dan keluar hingga ke tepi jalan raya. Beruntung perahu itu tidak keluar hingga ke badan jalan karena tersangkut pagar yang dibangun Pemda TTS guna mengamankan lokasi wisata itu.
"Waktu itu kami takut dan lari semua ke tempat yang agak tinggi," kisah Deci Boimau yang adalah salah satu warga pemilik kios di pantai Kolbano saat berbincang dengan koran ini, beberapa saat usai kejadian menegangkan itu.
Rasa panik menguasai perasaan warga setempat. Mereka khawatir kejadian yang sama akan terulang lagi. Saat kejadian itu, warga di sekitar pantai yang menjadi korban tidak ada kesempatan untuk menyelamatkan barang milik mereka.
"Saya hanya angkat surat-surat penting saja. Sedangkan barang lain tidak sempat ambil karena air laut sudah naik," ucap Ly Sabuna, seorang warga di sekitar pantai Fatu Un itu. Warga lain yang menjadi korban adalah Simon Bako, Yusak Boimau, Marthen Taneo dan Debora Lete.
Pasca gelombang tinggi itu, area sepanjang pantai hingga ke permukiman warga yang menjadi korban dipenuhi batu warna. Seakan gelombang itu hendak memuntahkan batu warna untuk warga setempat. Tingginya bahkan mencapai betis orang dewasa. Sepanjang sekira 100 meter.
Di badan jalan raya, mobil tidak bisa melintas karena tingginya hamparan batu warna tersebut. Karena itu, beberapa kendaraan yang terjebak terpaksa harus didorong agar bisa keluar dari jebakan batu warna di atas badan jalan itu.
Air laut yang mengamuk sepanjang 30 meter dari bibir pantai itu membawa batu warna dari dalam laut. Ketika kembali surut, batu warna yang biasa ditambang warga itu berserakan di atas jalan raya setinggi kurang lebih betis orang dewasa.
Akibatnya kendaraan yang hendak melintas mengalami kesulitan. Harus dibantu dengan cara didorong agar bisa keluar dari tumpukan batu warna sepanjang jalan kurang lebih 100 meter itu.(*/ito/bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terdongkrak Bunga untuk Ahok-Djarot, Omzet Rp20 Juta per Minggu
Redaktur & Reporter : Friederich