Kisah Para Pemburu Batu Giok, Temukan Jenis Topas Laku Rp 300 Juta per Kilo

Jumat, 20 Maret 2015 – 05:22 WIB
Wartawan Jawa Pos (kanan, berjilbab) melihat cara Gusti Nurja bersama teman-temannya membelah batu giok secara manual. Batu itu ditemukan Nurja cs di Alur Tengku. Foto: Ibrahim/Rakyat Aceh/JPNN

BATU giok lagi naik daun. Para kolektor kaya berani merogoh koceknya dalam-dalam untuk mendapatkan batu mulia itu. Berikut catatan wartawan Jawa Pos ENDRAYANI DEWI yang pekan lalu menemui para pencari giok di Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam.
-----------------
AZAN Asar baru saja terdengar di Desa Krueng Isep, Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat, Sabtu (14/3). Desa di pucuk gunung dan dikelilingi sungai itu tampak sepi. Meski begitu, sejumlah mobil mewah terlihat berjejer di jalan kecil menuju sungai yang kaya akan emas tersebut. Hampir semuanya berpelat Medan dan Jakarta.

Ya, mobil-mobil itu milik para kolektor batu mulia (gemstone) yang sedang berburu batu giok asal desa tersebut yang terkenal karena kualitasnya nomor wahid. Kualitas batu mulia Aceh disebut-sebut termasuk terbaik di dunia. Konon nomor dua setelah giok Tiongkok.

BACA JUGA: Kehidupan Pencari Giok di Alur Tengku, Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam

Karena itu, batu Nagan Raya tidak hanya diminati warga dalam negeri, tapi juga sering diborong pencinta giok dari Korea dan Singapura.

Lokasi tambang batu giok Nagan Raya memang cukup sulit ditempuh. Dari Banda Aceh, kita harus melakukan perjalanan darat enam jam, melewati Aceh Besar, Meulaboh, Calang, Aceh Jaya, baru Nagan Raya. Setelah itu, dilanjutkan dua jam perjalanan menuju Desa Krueng Isep. Jalannya sempit dan berkelok-kelok sebelum sampai di desa pucuk gunung tersebut.

BACA JUGA: Yohan Suryanto, Pengusaha Kopi Seniman Latte Art 3D

Dari desa itu, perjalanan masih harus dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju lokasi pencarian giok di Alur (Sungai) Tengku. Tidak main-main, jaraknya sekitar 15 km! Jalan ke lokasi memang belum bisa dilalui kendaraan. Selain masih jalan setapak, posisinya naik ke puncak.

Karena pertimbangan waktu yang mulai sore, saya tidak sampai ke lokasi penambangan. Bersama teman wartawan dari Rakyat Aceh (JPNN Group), saya menunggu di sebuah warung makan yang biasa dijadikan jujukan para pencari giok yang turun.

BACA JUGA: Atmosfer Spesial Balapan Formula 1 di Melbourne

Meski kecil, warung tersebut cukup ramai. Sore itu sedikitnya sepuluh orang ada di warung, mereka ternyata sama-sama berburu giok langsung dari para pencarinya.

Sejak batu mulia dari Nagan Raya dikenal di kalangan gemstone, para pencari batu giok menjadi ”orang penting”. Kemunculan mereka selalu ditunggu para pembeli dari luar kota, bahkan luar negeri.

Bongkahan batu yang didominasi warna hijau terang, hijau lumut, hijau tua, putih, dan hitam tersebut laris manis diburu orang. Terutama yang baru saja diambil dari Alur Tengku.

”Ini solar (jenis giok paling bagus, Red). Baru saja saya beli dari pencari giok Rp 8 juta,” ujar seorang pemburu giok sembari memperlihatkan bongkahan batu berwarna keperakan seukuran kepalan tangan itu.

Menjelang azan Magrib, lima pencari giok yang baru turun dari puncak gunung tiba di warung. Mereka berjalan lunglai dan tampak kedinginan. Maklum, saat itu hujan sangat deras. Salah seorang di antara mereka, Siddin, 37, hanya bisa menunjukkan hasil perburuan giok hari itu.

”Saya naik dari pukul 10 pagi. Nggak bisa menemukan banyak. Itu dibawa teman,” ujarnya sambil menunjuk kawannya yang membawa kantong kecil berisi batu giok.

Batu itu lalu dikeluarkan. Wujudnya bongkahan kecil berwarna kehitaman. ”Udah, beli saja Rp 40 ribu,” katanya kepada pengunjung warung dengan suara datar. ”Yah, sekadar buat beli kopi,” tambahnya dalam bahasa Aceh.

Sejak setahun lalu, ketika batu giok diburu kolektor, banyak warga Nagan Raya yang beralih profesi. Yang semula menjadi petani, pekerja kebun, atau kuli bangunan memilih menjadi pencari batu giok Aceh. Salah satunya Siddin.

Bagi pencari giok pemula seperti Siddin, yang bisa didapatkan selama seharian hanya bongkahan-bongkahan kecil. Namun, bagi pencari giok kawakan seperti Gusti Nurja, 42, lain lagi.

Nurja menekuni pekerjaan tersebut sejak 2003. Waktu itu giok belum banyak dikenal seperti sekarang. Namun, bapak dua anak tersebut setia menekuni pekerjaan mencari giok yang sangat berat itu hingga kini.

Saat ini Nurja sedang disibukkan oleh bongkahan giok sebesar ”gajah” yang ditemukannya beberapa waktu lalu.

”Saya bersama teman-teman menemukan giok ini di sungai. Caranya, ya dengan mengetok setiap batu yang kami temukan. Jadi, di sini banyak batu di sungai bekas pukulan palu,” katanya sembari tersenyum.

Nurja ditemui Jawa Pos saat sedang memecah batu besar di depan rumahnya yang sederhana. Dia menduga batu itu berisi giok jenis super, yaitu nefrit, neon, dan indocrase.

”Ini kami dapatkan setelah berhari-hari menyusuri sungai. Tapi, saya belum tahu jenis gioknya,” tutur dia.

Menurut warga Meunasah Teungoh itu, kalau lagi beruntung, pencari giok yang sudah ’’ahli’’ bisa mendapat bongkahan batu besar. ’’Kami ambil dari sungai dengan backhoe dan dibawa ke rumah dengan truk,’’ katanya.

Secara manual pula, Nurja dan teman-temannya membelah batu superkeras itu. Mereka hanya menggunakan gerinda, palu, dan air. ’’Air ini untuk melihat apakah batu itu berkilat atau tidak,’’ ujarnya. Nurja menyatakan sangat hafal karakter batu giok.

Meski ahli mencari batu giok, Nurja tidak menyadari bahwa kini harga batu yang biasa dipakai untuk hiasan cincin atau bandul kalung itu melambung tinggi. Misalnya, giok Nagan dengan ukuran keliling 2 cm di Banda Aceh dijual Rp 700 ribu untuk jenis neon atau biosolar.

’’Biasanya, orang sini mencari batu sudah dibiayai orang lain. Jadi, setelah mendapat giok, ya diserahkan ke orang yang membiayai,’’ katanya.

Nurja mencontohkan, batu giok sebesar ’’gajah’’ akan dihargai sekitar Rp 70 juta oleh para pemodal. Tapi, setelah diolah menjadi bongkahan-bongkahan kecil atau berbentuk hiasan cincin, harganya bisa berlipat menjadi ratusan juta rupiah.

Menurut bapak dua anak itu, mencari giok di Alur Tengku tidaklah mudah. Umumnya para pencari berkelompok. Setiap kelompok berisi sekitar lima orang. Dengan alat seadanya, mereka menyusuri sungai dari hulu ke hilir.

Mereka biasa menginap berhari-hari di hutan atau di pinggir-pinggir sungai dengan mendirikan kemah dari plastik. Tentu saja, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka membawa bekal dari bawah.

Pencari batu giok yang sudah ahli memang bisa cepat menemukan lokasi batu mulia itu. ’’Batu mulia ini kan endapan mineral di bumi. Endapan itu terbentuk karena adanya kabut di pegunungan. Kalau saya sudah hafal. Di mana lokasi itu diselimuti kabut, pasti ada gioknya di sana,’’ terang Tengku Naufal, 45, pencari giok lainnya.

Naufal bisa jadi merupakan pencari giok yang berhasil. Dia kini sudah menjadi ’’bos’’ dan memiliki 15 anak buah yang dibagi dalam tiga kelompok untuk mencari batu giok.

’’Pada 2014, saya mendapat batu topas. Batu itu dibeli orang Korea Rp 300 juta per kilo. Alhamdulillah, bisa untuk beli tanah di Meulaboh,’’ tuturnya.

Sebagaimana diketahui, kekuatan giok di Nagan Raya termasuk yang terbaik di dunia. Tingkat kekerasan batunya hanya dua atau tiga grade di bawah diamond yang mencapai 10 skala Moh’s (skala kekerasan untuk batu).

Kekerasan batu giok Nagan jenis jade (jadid) yang berwarna hitam pekat atau lebih dikenal dengan blackjade dan nefrid kehijauan mencapai 7–8 skala Moh’s. Dengan tingkat kekerasan seperti itu, batu giok asal Nagan bisa dipakai untuk mengiris dan membelah kaca.

Kekuatan batu giok Nagan tersebut, kata Naufal, sudah dites tim ahli dari Korea yang pernah datang ke Nagan. Karena itulah, mereka mau langsung membeli batu giok dari Nagan. Tim Korea tersebut sempat membagikan 20 alat untuk mendeteksi kekuatan batu giok yang ditemukan.

Dengan alat sederhana itu, batu giok bisa dilihat jenis-jenisnya. Mulai topas (terbatas) hingga jenis nefrid yang bisa dibedakan lagi menjadi solar (kualitas paling bagus), neon, biosolar, indocrase, biosankis, dan cempaka madu. Dua batu terakhir tidak terdapat di Nagan, tetapi lebih banyak di tebing-tebing sepanjang Desa Lamno dan Teunom, Aceh Jaya, yang bertetangga dengan Nagan.

Kini kelompok Tengku Naufal sudah menjadi langganan para kolektor Korea. Mereka sudah memiliki agen khusus di Medan.

’’Orang Korea atau Singapura membeli giok bukan untuk aksesori atau perhiasan, tapi untuk industri. Salah satunya untuk bahan pembuatan campuran senjata api,’’ tutur Naufal.

’’Bahkan, mereka yakin batu giok di Nagan ada yang berkualitas diamond (berlian) yang bisa untuk bahan pembuat hulu rudal,’’ tambahnya.

Karena itu, Naufal yakin booming gemstone di Indonesia saat ini tidak terlalu memengaruhi bisnis giok di Aceh, terutama di Nagan Raya. Sebab, harga giok bisa dipermainkan para tengkulak.

’’Melihat kandungan batu di Nagan yang tidak habis sampai 50 tahun, saya yakin giok tetap laku kapan pun, asal pemerintah membantu masyarakat untuk meningkatkan pemanfaatan giok. Tidak hanya untuk aksesori, tapi juga untuk kebutuhan industri,’’ tandas dia. (*/c10/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Grasi Pak Jokowi, Bikin Sakit Hati Keluarga Kami


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler