Kisah Para Sopir yang Terjebak di Demo dan Kewajiban Mencari Nafkah

Rabu, 23 Maret 2016 – 09:23 WIB
RAKYAT VS RAKYAT: Pengemudi GrabBike dikeroyok peserta unjuk rasa. FOTO: Fedrik Tarigan/JAWA POS

jpnn.com - INGAR-bingar unjuk rasa yang membuat ibu kota mencekam kemarin menyisakan cerita tentang Ali, 55; Sabarudin, 39; dan Bayu, 31. Selain pengemudi angkot serta taksi konvensional dan aplikasi, mereka adalah kepala keluarga yang harus membawa pulang segepok rupiah buat anak istri setiap hari. 

’’Kalau lu nggak mau ikut demo, ya nggak usah narik. Ngerti kagak?’’ Teriakan belasan orang di depan mobil angkutan kota (angkot) itu membuat Ali terpaku di kursi sopir. 

BACA JUGA: Pilkada Bakal Pecah Belah Birokrat DKI

Dia tidak bisa keluar untuk memberikan penjelasan. Pintu dan sekeliling angkotnya dikepung. Dia pun mengalah. Lalu, mesin angkot dimatikan. Setelah puas, para pelaku sweeping melanjutkan perjalanan.

Kepada Jawa Pos yang menemuinya di sudut Terminal Kampung Melayu kemarin sore, Ali mengaku kenal baik dengan para pelaku sweeping. 

BACA JUGA: Masalah Internal Hantui PDIP Jelang Pilkada

Mereka merupakan sesama sopir yang beroperasi di rute yang sama. Namun, dia menolak ikut dalam rombongan demonstrasi. ’’Kalau nggak narik sehari, mau makan apa istri dan anak di rumah?’’ ujar Ali sambil mengelap keringat di dahinya.

Saat kejadian, angkot Ali memang sedang penuh penumpang. Namun, dia menolak disebut memanfaatkan kesempatan sepinya angkot yang beroperasi. Menurut dia, anak dan istrinya tetap harus dinafkahi. 

BACA JUGA: NGERI! Ruhut Ungkap Dalang Demo Sopir Taksi

Karena itu, dia memilih tetap menjalankan tugasnya sehari-hari. ’’Bukannya nggak ikut solidaritas. Tetapi, kalau pulang demo anak minta jajan, mau beli pakai apa?’’ ujarnya.

Demo yang berlangsung anarkistis juga membuat Sabarudin, 39, pengemudi Uber dari Pamulang, Tangerang Selatan, bimbang. Bapak dua anak itu tidak mau mempertaruhkan nyawanya. Sabarudin dan beberapa temannya yang berada di sekitar Pamulang memutuskan untuk libur sejak Senin malam (21/3).

Iming-iming dari Uber yang menawarkan pendapatan dua kali lipat kalau tetap beroperasi saat jam demo tidak membuat Sabarudin beranjak menstarter mobilnya. ’’Saya nggak keluar sama sekali. Di rumah saja. Sengaja menghindari demo,’’ katanya. 

Langkah itu dinilai tepat. Sebab, dari tayangan televisi kemarin, terlihat kebrutalan para sopir taksi. Anggapan yang sama muncul dari teman-temannya yang memilih libur.

Mantan sopir Angkutan Kota 106 jurusan Parung–Lebak Bulus itu sempat berdiskusi dengan teman-temannya. Hasilnya jelas, tidak ingin Uber cepat ditutup. Sebab, dia sudah menggantungkan hidupnya pada platform itu. ’’Saya baru tiga bulan. Uber dan GrabCar jangan sampai ditutup lah,’’ tegasnya.

Dia berharap pemerintah bisa segera mencarikan solusi yang sama-sama menguntungkan. Sabarudin mengaku tidak tahu apa langkah yang terbaik. Sebagai mantan sopir angkot, dia tahu bahwa pekerjaannya sama-sama bertujuan mencari makan. ’’Masalahnya sama kok, nggak setiap hari banyak penumpang,’’ katanya.

Dia mengaku pernah tekor, namun juga pernah untung. Setiap bulan, dia mendapat uang kotor Rp 6 juta–Rp 7 juta. Itu belum dikurangi biaya bensin yang setiap hari mencapai Rp 100 ribu. ’’Saya juga masih bayar cicilan mobil,’’ tuturnya.

Lantaran masih punya tanggungan itu, Sabarudin tidak ingin terus ada gesekan antara taksi dan Uber. Demo membuat kedua pihak sama-sama tidak mendapat pemasukan. Hari ini dia akan kembali mencari penumpang karena kondisi sudah kondusif. 

’’Besok (hari ini, Red) sudah aman. Uber juga sudah minta jalanin seperti biasa,’’ ucapnya.  (dim/gun/gen/wir/c5/kim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Longsor Sumbat Kali di Pancoran


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler