Ribuan relawan bahu-membahu mencari dan mengevakuasi korban jatuhnya pesawat Sukhoi di Gunung Salak. Mereka bekerja tanpa kenal lelah di tengah medan berat dan cuaca yang tidak bersahabat. Seperti apa?
YUSKA APITYA AJI ISWANTO, Bogor
SUDAH empat hari Abdul Muid, 35, tidur di ketinggian 2.211 meter di atas permukaan laut. Anggota Taruna Siaga Bencana (Tigana) Bogor itu mulai terbiasa dengan hawa dingin di puncak Gunung Salak. Muid adalah salah seorang di antara ribuan sukarelawan yang bertugas mencari dan mengevakuasi korban jatuhnya pesawat Sukhoi.
Di antara temannya sekompi, militansi dan stamina Muid memang agak terdepan. Karena itu, sejak hari pertama berada di puncak, Muid sudah tancap gas. Dia rela pergi-pulang dari puncak Gunung Salak menuju lereng hanya untuk memenuhi keperluan logistik tim gabungan yang hendak membelah jalur ke lokasi jatuhnya pesawat. Padahal, waktu tempuh yang dihabiskan Muid untuk mondar-mandir di punggung gunung itu delapan jam.
"Capek sih. Tapi, kerjaan ini kan untuk membantu orang. Sejak 2006, saya aktif menjadi relawan," ungkapnya kepada Radar Bogor (JPNN Group) di Posko Balai Embrio, Pasir Pogor, Cipelang, Cijeruk, Bogor, Jabar, Minggu (13/5) lalu.
Pada hari pertama dan kedua membelah Gunung Salak, aktivitas Muid dan anggotanya lebih disibukkan membuat jalur evakuasi. Pada hari ketiga, barulah dia mampu merangsek ke lokasi jatuhnya pesawat.
Lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi terbilang sulit dijamah. Berada di pundak gunung antara Puncak Salak 1 dan 2, sudut elevasi (kemiringan) tebing di crash point (titik tabrakan) hampir mencapai 90 derajat. Bila tidak berhati-hati, Muid dan rekan sejawatnya bisa celaka. Karena lewat jalur atas, tim Muid mesti turun dengan menggunakan tali sepanjang 500 meter lebih. Sementara tali yang ada di tangan hanya 200 meter.
Tak kehabisan akal, Muid dan dua orang temannya turun untuk membuka jalur yang lebih landai. Dia kemudian menyambungkan tali ke pohon untuk kemudian menjadi akses utama SAR ke titik jatuhnya pesawat.
Di bawah memang telah ada tim dari Marinir yang membersihkan puing-puing dan jasad korban. Setelah terhubung, barulah Muid menarik satu per satu kantong jenazah dari tim yang berada di bawah. Dari situ, Muid melihat banyak jasad korban yang sudah tak berbentuk. Nyaris semua potongan jasad sudah gosong.
"Banyak daging dan potongan tubuh berceceran. Kondisinya sangat curam, seluruh tim harus memakai tali untuk mengambil potongan tubuh," tuturnya.
Jasad tak hanya tercecer di daratan. Ada juga yang tersangkut di pohon yang batangnya gosong. Alur evakuasi sempat terkendala oleh cuaca. Kabut datang dan pergi dalam kurun waktu yang begitu cepat. "Jam sepuluh pagi kabut datang. Ditambah awan mendung. Kami sangat kesulitan dan tidak mau mengambil risiko," katanya.
Meski evakuasi berhenti, hari ketiga di Gunung Salak dilalui Muid dengan gembira. Itu lantaran timnya berhasil mengangkut banyak kantong jasad korban. Ada sekitar sepuluh kantong yang saat itu dibawa dan diserahkan kepada Paskhas TNI Angkatan Udara untuk diboyong ke helikopter Puma.
Suasana haru itu hanya berlangsung dalam hitungan jam. Penyebabnya, stok air milik tim Muid kian tipis. Hingga suatu ketika, Muid tak memiliki setetes air lagi. Padahal, dahaga dan rasa mual dari bau bahan bakar pesawat sudah berada di ujung kerongkongan.
"Kami mencari-cari tim lain, susahnya minta ampun. Hampir seharian kami tidak minum. Untungnya di jalan menuju puncak saya ketemu dengan wartawan. Saya dan lima orang anggota pun akhirnya bisa minum meski hanya sebotol. Setelah itu, kami pun kembali bekerja sambil menunggu kiriman logistik dari posko utama," ungkapnya. (*/c4/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Suharso Monoarfa dan Istri yang Selamat dari Tragedi Sukhoi
Redaktur : Tim Redaksi