------------
FERI FERDIANSYAH, Sampang
-----------
Beban berat tampak dipikul Ummah. Betapa tidak, bentrokan antarwarga yang menewaskan dua orang dan mengakibatkan puluhan rumah terbakar itu diduga kuat dipicu konflik keluarganya. Yakni, antara Tajul Muluk dan adiknya, Roisul Hukamma. Dua orang tersebut merupakan anak kandung Ummah.
Karena itu, Ummah merasa sangat "bersalah" begitu mengetahui konflik tersebut berkembang menjadi bentrokan panas dan berdarah. Bahkan kemudian menjadi perhatian nasional. Ketika kemarin (29/8) Jawa Pos Radar Madura menemui Ummah di tempat pengungsian, Lapangan Indoor Sampang, perempuan 65 tahun itu tampak lelah. Wajahnya kusut, kurang tidur.
"Saya ingin keluar dari sini (pengungsian, Red). Ingin tinggal di rumah keponakan saya di Bangkalan," ucapnya lemah.
Ummah mengaku tidak pernah menduga konflik antara dua anaknya itu bisa mengakibatkan bentrokan warga yang berlarut-larut. Padahal, sebelumnya, delapan anak yang dia lahirkan, termasuk Tajul dan Rois, hidup rukun. Kondisi tersebut berubah setelah Tajul dan Rois berseteru secara pribadi.
Sayangnya, keinginan Ummah membeberkan perasaan dirinya sebagai ibu dua anaknya yang berkonflik dicegah Ummi Hani, 29, anak kelimanya. Ummi tak ingin ibunya berlama-lama diwawancarai wartawan. Ummah pun kemudian pamit hendak berkemas-kemas menuju rumah kerabatnya di Bangkalan.
"Saya mau menenangkan diri di rumah keponakan saya itu," ungkapnya lalu pergi.
Dari perkawinannya dengan Ma"mun (alm), Ummah dikaruniai delapan anak. Mereka, berturut-turut, adalah Iklil al Milal, 40; Tajul Muluk, 38; Roisul Hukamma, 33; Fatima, 30; Ummu Hani, 29; Budur, 27; Ummu Kulsum, 26; dan Ahmad Miftah, 24. Seluruh anaknya tersebut sudah berkeluarga. Kini Ummah memiliki 28 cucu.
Meski sekeluarga, anak-anak Ummah memiliki keyakinan berbeda dalam beragama. Empat orang menganut paham Islam Sunni (Roisul Hukamma, Fatima, Ummu Kalsum, dan Ahmad Miftah), sedangkan empat lainnya berpaham Syiah (Iklil al Milal, Tajul Muluk, Ummu Hani, dan Budur).
Mereka sebenarnya tidak pernah saling mempermasalahkan perbedaan keyakinan itu. Bahkan, yang menganut Syiah pun bisa tinggal di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, yang kebanyakan warganya penganut Sunni.
"Adik saya yang Sunni aman di desa ini. Kami juga tidak pernah ada masalah dengan mereka, kecuali dengan Rois. Ini konflik internal, bukan soal agama," ungkap Iklil al Milal, si sulung, ditemui secara terpisah.
Seperti halnya sang ibu, Iklil mengaku tidak pernah menduga konflik antara dua adiknya itu bisa mengakibatkan bentrokan yang begitu besar. "Saya tidak menyangka. Padahal, dulu di keluarga kami tidak pernah ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan baik," tambahnya.
Menurut Iklil, semua bermula ketika Rois merasa sakit hati kepada Tajul dan menyatakan diri keluar dari Syiah. Padahal, kata Iklil, ketika masih berkeyakinan Syiah, Rois-lah yang paling getol berdakwah dan mengajak warga di sekitar untuk masuk paham itu. Namun, keadaan berubah setelah niat Rois untuk meminang gadis pujaannya gagal. Bahkan, si gadis malah dinikahi pengikut Syiah. Rois pun kecewa berat dan keluar dari Syiah. Dia kemudian menganut Sunni.
"Saat itulah konflik di keluarga kami tidak pernah bisa diselesaikan. Ibu beberapa kali meminta saya mendamaikan Tajul dan Rois, tapi hingga mereka dipertemukan di Polres Sampang pun (pascabentrok Desember 2011), perdamaian tidak tercapai," beber dia.
Iklil menceritakan, di keluarganya kebebasan dalam berkeyakinan dijunjung tinggi. Itu terbukti, meski orang tua mereka menganut Syiah, anak-anaknya tidak dilarang untuk mengikuti ajaran Islam Sunni. Baru setelah sang ayah, Ma"mun, meninggal dunia pada 2006, satu per satu anaknya mengikuti jejak orang tuanya menjadi Syiah. Yang pertama Tajul Muluk yang saat itu baru pulang dari Arab Saudi. Kemudian, diikuti saudara-saudara lainnya, termasuk Iklil dan Rois.
"Saya dengan adik-adik perempuan saya masuk Syiah karena buku-buku yang kami baca. Kalau Tajul dan Rois karena sempat belajar ilmu agama," tutur Iklil.
Tajul dan Rois setelah menyelesaikan pendidikan dasar (SD) di desa mereka melanjutkan pendidikan di Yapi (Yayasan Pesantren Islam), Bangil, Pasuruan. Keduanya belajar ilmu agama enam tahun. Tamat dari Yapi, keduanya balik ke desa. Pada 1994 Tajul memutuskan untuk menjadi TKI di Arab Saudi.
"Tidak benar bila diberitakan bahwa Tajul pernah belajar di Iran. Yang benar, dia pergi ke Arab Saudi. Di sana dia bekerja menjadi pelayan toko selama lima tahun," ujar dia.
Iklil juga menceritakan bahwa hubungan keluarga sebelum Rois keluar dari Syiah tidak ada masalah. Namun, pascakonflik pada akhir 2011, keluarga yang berbeda keyakinan semakin terpisah.
"Adik-adik saya yang Sunni takut menjenguk kami di sini. Mereka khawatir dianggap Syiah. Padahal, sebelumnya mereka biasa saja. Kini mereka terpaksa menjaga jarak dengan kami," paparnya.
Lain halnya dengan adik perempuannya yang bernama Budur. Meski pengikut Syiah, dia menikah dengan warga Sunni dari Proppo, Pamekasan. Di sana Budur hidup tenang dan dianugerahi lima anak.
Iklil menceritakan, dirinya termasuk anggota keluarga yang kenyang mengalami pahit-getir perseteruan di Karang Gayam. Pada bentrok Desember 2011, misalnya, dia harus terusir dari desanya. Dia terpaksa hidup berpindah-pindah di Malang bersama istri dan anak bungsunya, sebelum akhirnya pindah ke Sidoarjo. Tiga anaknya yang lain dititipkan tetangga di Desa Bluuran, Kecamatan Karang Penang.
"Kalau saya tidak bekerja, bagaimana anak istri saya mau makan. Karena itu, saya lalu pindah ke Sidoarjo untuk mencari nafkah," tutur Iklil.
Iklil mengaku menjelang Ramadan lalu pulang ke Sampang untuk berkumpul kembali dengan ketiga anaknya. Tapi, dia tidak menyangka kalau kemudian perseteruan kedua adiknya kembali terjadi dan berujung pada bentrok berdarah.
"Jelas kami sebagai keluarga merasa bersalah dengan kondisi ini. Apalagi, bagi ibu kami. Beban pikirannya sungguh berat," tandas Iklil. (*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cerita Pertemuan Keluarga Abdoel Manap-Abdoel Hamid setelah Terpisah selama 70 Tahun
Redaktur : Tim Redaksi