Kisah Yuhanie Marisa Latinia, Ibu Simon Donaldson yang Dituduh Memasung Anaknya

Tak Rela Serahkan Simon kepada Ayahnya

Sabtu, 05 Mei 2012 – 00:05 WIB
Simon Donaldson dan ibunya, Yuhanie Marisa Latinia di kamar rumahnya di Tenggilis Mejoyo Selatan VII/20, Surabaya. Foto : Dite Surendra/Jawa Pos

Kisah perebutan anak antara warga New Zealand David Donaldson dan istrinya seorang WNI, Yuhanie Marisa Latinia, yang diberitakan Jawa Pos kemarin (3/5) bakal makin rumit. Sebab, Yuhanie bersikukuh tetap ingin merawat anaknya yang menderita epilepsi kompleks, meski suaminya ingin membawanya pulang ke New Zealand.
 
 EKO PRIYONO, Surabaya
 
RUMAH di Jalan Tenggilis Mejoyo Selatan Gang VII, Surabaya, kemarin siang tampak sepi. Rimbunan tanaman yang menjulang setinggi pagar mengesankan bahwa pemilik rumah sangat tertutup. Apalagi, tidak ada nomor rumah seperti halnya rumah-rumah di kanan-kirinya.
    
Itulah rumah yang ditinggali Marisa "panggilan Yuhanie Marisa Latinia" bersama anaknya, Simon Esalbar Donaldson, pemuda berkewarganegaraan New Zealand yang menjadi headline di koran The New Zealand Herald karena dipasung ibunya. Simon menjadi objek rebutan antara Marisa dan suaminya, David Donaldson.
    
Menurut klaim David, setelah proses cerai pada 1992, pengadilan memutus bahwa hak pengasuhan lima anak mereka diberikan kepada David. Namun, pada 2003, Marisa membawa Simon "anak keempat" ke Surabaya. Marisa berdalih akan menyembuhkan penyakit Simon yang disebut terkena guna-guna.
    
Namun, kondisi Simon tak juga membaik. Awalnya, dia mengalami disleksia dan sering kejang-kejang seperti epilepsi. Dokter mendiagnosis Simon (dan kakaknya, Robbin Jonathan Kanigoro) menderita epilepsi kompleks dan leucodystrophy, semacam kelainan gen yang menyerang sel putih otak. Kelainan tersebut memengaruhi saraf motorik dan pertumbuhan fisik penderita. Karena itulah, Simon dan Robbin terkadang mengalami kesulitan berjalan.
    
Sementara itu, lantaran merasa berhak mengasuh kelima anaknya, David berupaya merebut kembali Simon. Dia ingin membawa pulang anaknya yang kini berusia 26 tahun itu ke New Zealand untuk diobatkan di sana. Apalagi, secara kewarganegaraan, Simon tercatat sebagai warga negara New Zealand. Berdasar catatan keimigrasian, Simon sudah overstay di Indonesia. Dengan demikian, dia bisa dideportasi. Hanya, karena alasan kesehatan, Kantor Imigrasi Kelas I Waru memberikan toleransi waktu lima bulan untuk pengobatan Simon.
    
Tak mudah untuk masuk ke rumah Marisa. Jawa Pos yang sempat mondar-mandir di depan pagar rumah itu baru bisa masuk setelah ditanya seorang pria yang mengintip dari balik seng plastik penutup pagar. "Cari siapa?" tanya pria tersebut dengan nada menyelidik.
    
Setelah diberi tahu maksud kedatangan Jawa Pos, pria tersebut masuk ke rumah. Tak lama kemudian, dia mempersilakan Jawa Pos masuk dan mengunci pintu gerbang kembali. "Kami memang berhati-hati. Kami seperti jadi incaran," kata Marisa.
    
Marisa mengakui, sikapnya tertutup karena David berusaha merebut Simon dari pengasuhannya. Karena itu, tanpa didampingi pengacaranya, Richard Baltazar, Marisa menolak setiap tamu yang datang.
    
Putri mantan Kepala Kanwil Bea Cukai Jatim Harun Arasyid Jeru Augusman tersebut mengontrak rumah tak begitu besar tersebut dua tahun, hingga Desember nanti. Sebelumnya dia menempati rumah orang tuanya di Jalan Kendangsari Blok Q. Namun, kini rumah itu dijual sehingga dia terpaksa menyewa rumah di Tenggilis Mejoyo.
    
Di rumah tersebut, Marisa tinggal hanya berdua dengan Simon. Dia memang punya seorang pembantu, tetapi setiap pukul 16.00 pulang. Selain itu, rumahnya dijaga dua pria selama 24 jam. Keduanya mirip petugas sekuriti. Keduanya bersikap penuh selidik terhadap setiap tamu asing.
    
Marisa membantah tuduhan telah memasung anaknya. Menurut perempuan kelahiran 15 Mei 1958 itu, dirinya terpaksa merantai tangan anak keempatnya tersebut hanya saat labil. "Itu pun dulu," ucapnya.
    
Marisa menceritakan, berdasar keterangan dokter Rumah Sakit Premier Surabaya (dulu Surabaya International Hospital, Red) tempat anaknya dirawat, Simon menderita sakit yang tidak bisa disembuhkan dan akan selalu bergantung pada obat-obatan. Saat kondisinya labil, Simon kerap memukuli tubuh sendiri, juga tubuh ibunya.

Dia pun khawatir, kalau dibiarkan, perilaku tersebut akan membahayakan keselamatan anaknya sendiri. Karena itulah, dia berinisiatif untuk mengikat pergelangan tangan kiri Simon dengan rantai yang dikaitkan ke ranjang.
    
Kondisi itu sempat disaksikan David yang datang bersama polisi dan petugas Kantor Imigrasi Kelas I Waru pada 26 Maret lalu. Saat itu Marisa khawatir anaknya akan mengamuk karena banyak orang asing di sekitarnya. Nah, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Marisa memasung anaknya dengan rantai.    
   
"Kalau ada banyak orang, Simon langsung bingung. Mungkin takut terjadi apa-apa terhadap saya dan dirinya. Saya tidak menyiksa dia. Dia kan darah daging saya sendiri," katanya.

Tapi, kini Simon tak dirantai lagi. Kondisi psikologisnya relatif stabil. Marisa juga membantah telah merebut Simon dari tangan David. Versi dia, justru David yang enggan mengurus Simon dan Robbin Jonathan Kanigoro (anak kedua) yang menderita kelainan yang sama. David-lah yang menyerahkan dua anak itu kepada Marisa.

"Udah deh, aku gak bisa ngurusin (dua anak itu). Mereka sudah gila," ujar Marisa, menirukan ucapan David saat menyerahkan Robbin dan Simon pada 2004.

Karena itu, Marisa merawat dua anak tersebut. Selain menggunakan jalur medis, ibu rumah tangga itu mengobati anaknya melalui pengobatan herbal. Terbukti, setelah menjalani pengobatan selama tiga tahun, Robbin sembuh total.

Pada 2007 David mendatangi Robbin dan pamit untuk mengajaknya jalan-jalan. Namun, sejak itu Robbin tak dikembalikan sampai sekarang. Berdasar informasi yang Marisa dengar, Robbin kini tinggal di New Zealand.

Saat ini Simon sedang menjalani perawatan serupa. Hanya, perkembangannya lamban. Meski begitu, Marisa sangat bersyukur karena anaknya itu kini sudah bisa berkomunikasi dan berjalan. "Terkadang juga nge-game," ucapnya.

Memang David sempat meminta Simon untuk dirawat di New Zealand. Namun, Marisa menolaknya dengan alasan kondisi Simon yang belum stabil. Dia juga meragukan David akan selalu menjaga Simon. Sebab, setahu dia, pengusaha jasa keamanan pertambangan tersebut sering meninggalkan rumah untuk keliling Indonesia menjalankan bisnisnya. Karena itu, daripada Simon dirawat orang lain, Marisa memilih merawatnya sendiri.

Ditanya soal izin tinggal Simon yang sudah habis, Marisa mengatakan bahwa selama ini yang mengurusi keimigrasian Simon adalah David. Karena itu, dia tidak tahu kapan habisnya izin tinggal anaknya tersebut. Marisa mengakui pernah meminta tambahan waktu hingga lima bulan untuk merawat anaknya. Namun, kemarin dia mencabut pernyataan itu dan berjanji tidak akan pernah menyerahkan anaknya kepada David.

"Saya akan berjuang mati-matian untuk bisa merawat anak saya. Saya akan pertahankan sampai kapan pun," tegasnya.

Jawa Pos sempat diajak melihat kondisi Simon. Saat itu pemuda kelahiran 14 Juni 1986 tersebut duduk di atas tempat tidur kamarnya. Kepalanya menunduk dan matanya menatap lurus. Tangan kanannya tak berhenti memainkan tasbih. Sesekali dia melirik tamunya. Saat disapa, dia hanya menjawab dengan pandangan dingin. "Kalau yang menyapa perempuan, Simon langsung merespons," ucap Marisa.

Di ruang itu terdapat dua lukisan kaligrafi dan sebuah gambar Kakbah dalam ukuran besar. Meski terpasang mesin pendingin, Simon lebih suka menyalakan kipas angin. Sebuah televisi juga terpasang menghadap ke arah tempat tidur.

Selain pengobatan herbal dan medis, Simon juga mendapat terapi dari seorang ahli yang datang ke rumah. Ahli itu menerapi ingatan Simon tentang aktivitasnya sehari-hari. Misalnya, mengingat nama-nama orang yang ditemuinya. "You like what" Bread" bread" opo yo, gak ruh" gak ruh," ucap Simon saat diterapi.

Saat ini Marisa sedang menunggu putusan cerai gugat di Mahkamah Agung (MA). Proses hukum itu yang kali ketiga dihadapinya. Sebelumnya, David mengajukan cerai gugat. Namun, MA membatalkan putusan sebelumnya yang mengabulkan perceraian tersebut. Karena itu, Marisa mengaku masih menjadi istri sah.

David tak kenal lelah dan mengajukan perceraian lagi. Namun, lagi-lagi usahanya gagal. Nah, yang terakhir ini tampaknya berhasil. "Saya dengar sudah diputus. Tapi, saya belum dapat salinan putusannya," ucap Marisa.

Dalam gugatan itu Marisa juga menuntut ganti rugi Rp 50 miliar sebagai kompensasi atas sikap David yang menelantarkannya selama bertahun-tahun. Bahkan, David juga tak mengirimkan biaya untuk perawatan Simon. Dia sangat optimistis dengan tuntutannya itu. Ibu lima anak tersebut menganggap blow up foto Simon yang dirantai dan dimuat di media massa, termasuk di New Zealand, sebagai upaya pengalihan isu yang terkait dengan tuntutan ganti ruginya.

Selama ini, perempuan lulusan SMA tersebut mengaku tak bekerja. Sehari-hari dia hanya menjaga Simon. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia mengandalkan uang pensiunan orang tuanya dan pemberian saudara-saudaranya. "Mudah-mudahan saya diberi kekuatan untuk menjaga anak saya," ucap dia. (*/c5/c11ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Laboratorium Cybercrime Bareskrim Polri Jadi yang Terbesar Se-Asia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler