jpnn.com, JAKARTA - Pengelola Pelabuhan Marunda, PT Karya Citra Nusantara (KCN) menolak persyaratan perdamaian yang diberikan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) untuk menyelesaikan sengketa pembangunan Pelabuhan Marunda, Jakarta Utara.
"Jadi, kami (KCN) tidak menerima dan tidak mengerti atas syarat perdamaian versi KBN. Bukannya tidak mau berdamai, justru selama ini hampir 2 tahun KCN selalu mengedepankan langkah-langkah mediasi tapi KBN mengabaikan seluruh rekomendasi Kementerian terkait dan memilih jalur peradilan," kata Direktur Utama PT KCN Widodo Setiadi di Jakarta, Senin (6/9).
BACA JUGA: KBN Dituding Lakukan Pembohongan Publik soal Pelabuhan Marunda
Lebih lanjut Widodo menjelaskan, ada lima syarat perdamaian yang diminta oleh PT KBN. Pertama, KBN tetap meminta komposisi pembagian saham masing-masing 50 persen untuk PT KBN dan 50 persen untuk PT KTU.
Kedua, KBN meminta agar 50 persen dermaga pier 2 serta dermaga pier 3 dikembalikan kepada PT KBN. Ketiga, konsesi antara KCN dengan Kementerian Perhubungan dibatalkan. Keempat, dermaga pier 1 yang sudah beroperasi akan dikenakan biaya sewa kepada KCN.
BACA JUGA: Sengketa Pelabuhan Marunda: KCN Tegaskan Tidak Pernah Minta Damai
"Dan syarat yang kelima, KBN meminta kami untuk membayar Rp 773 miliar sesuai dengan putusan pengadilan," ujar Widodo.
Karena berbagai syarat itu, Widodo mengaku tidak akan mau menerima usulan perdamaian versi PT KBN. Karena jika syarat pembagian komposisi saham di KCN menjadi 50 : 50 itu diterima, maka konsep awal kerja sama KCN yang telah disepakati sejak 2005 sebagai proyek non APBN/APBD akan berubah total.
“Saat ini terdapat dana sebesar Rp 200 miliar yang siap dibagikan sebagai deviden kepada pemegang saham KCN, yakni PT KBN dan PT Karya Tehnik Utama (PT KTU),” katanya.
Pasalnya, devisen belum dapat dibagi sejak 2016 akibat ulah KBN yang selalu berdalih belum dapat menandatangani Addendum IV perjanjian kerja sama yang disusun oleh Jaksa Pengacara Negara sebagai payung hukum atas komposisi saham KCN kembali pada perjanjian awal tahun 2005 yakni KBN 15 persen dan KTU 85 persen dan sebagaimana arahan Menteri BUMN pada saat itu.
Widodo menjelaskan syarat-syarat perdamaian yang dinyatakan KBN akan menghilangkan fakta hukum atas peristiwa dan kronologis awal tender tahun 2004 yang dilakukan oleh negara dalam mencari mitra bisnis di bidang kepelabuhanan.
Widodo pun membantah atas status dermaga Stengah Pier 2 dan pier 3 yang diminta untuk dikembalikan. Menurut dia, KTU sebagai pihak yg telah mengantongi SK mitra bisnis KBN tahun 2004 sebagai mitra bisnis KBN bertujuan membangun pelabuhan ini untuk bisnis.
Selain itu, kata dia, merupakan itikad baik dari pihak swasta turut berperan membantu pemerintah yang saat itu baru saja melewati krisis moneter dan tentunya sangat membutuhkan dana investasi dari swasta. Jadi, pelabuhan ini dibangun bukan untuk disumbangkan kepada KBN secara cuma - cuma.
“Jika KBN mau mencoba melanjutkan pembangunan pier 3, mungkin bisa dicari tau sebagai bahan perbandingan bahwa terdapat proyek pembangunan pelabuhan lain yang dilakukan oleh KBN di wilayah C-4, tapi sampai saat ini proyeknya sama sekali tidak jalan, mangkrak," tukasnya.
“Yang kami alami saat ini sungguh sangat tidak fair, kami menanam saham kepada negara, dana yang digunakan tanpa sedikit pun uang negara, full dari swasta tetapi kami digugat dan didenda pula oleh negara sebesar Rp 773 miliar,” ucap widodo.
Kemudian, lanjut dia, permintaan konsesi pelabuhan yang telah berjalan selama 3 tahun ke negara dalam hal ini Kementerian Perhubungan bagaimana bisa dibatalkan oleh putusan hakim.
“Padahal, konsesi itu suatu bentuk kepatuhan kami sebagai swasta terhadap UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran," kata Widodo.
Sementara itu, Pengamat kebijakan publik sekaligus praktisi hukum, Azas Tigor Nainggolan, saat diminta pendapat tentang putusan hakim tentang gugatan yang melibatkan perseteruan negara dengan negara atas konsesi, berpendapat,
“Loh, sang pencetus konsesi kan pasti regulator kepelabuhanan, UU 17 tahun 2008 tentang pelayaran, memandatkan swasta yang berusaha di bidang pelabuhan harus mendapat konsesi dari regulator kepelabuhanan, yakni Kemenhub, jelasnya.
“Saya rasa aneh sekali ya, jika sebuah lembaga setingkat Kementerian yang berwenang digugat terhadap produknya sendiri? Negara tidak mungkin rugi, apalagi jika proyeknya non APBN APBD? Jika putusan ini inkracht nantinya, maka Kemenhub sebagai pihak yang kalah wajib membayar denda ratusan miliar kepada negara juga, bayarnya pakai apa jika bukan pakai APBN? Justru itulah yang berpotensi merugikan negara, tutupnya”
Sebagaimana diketahui, pembangunan Pelabuhan Marunda kini menuai polemik berlarut-larut. Masalah muncul pada November 2012 usai posisi Direktur Utama PT KBN beralih dari Rahardjo ke Sattar Taba. PT KBN meminta revisi komposisi saham yang akhirnya disepakati menjadi 50:50.
Namun, KBN tak mampu menyetor modal hingga batas waktu yang ditentukan, karena ternyata tidak diizinkan oleh salah satu pemegang saham PT KBN yakni Kementerian BUMN dan juga Dewan Komisaris PT KBN.
Kejadian setelahnya, PT KBN malah tetap menganggap memiliki saham 50% di PT KCN. Tak hanya itu, PT KBN juga mengirimkan surat penghentian pembangunan Pelabuhan Marunda kepada PT KCN dan berlanjut pada gugatan perdata ke pengadilan untuk membatalkan konsesi. Kini kasus sengketa tersebut telah sampai pada tahap kasasi di Mahkamah Agung. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil