jpnn.com - Oleh: Juventus Prima Yoris Kago
Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 2018 - 2020
BACA JUGA: Jepret! Luhut Beri Amplop ke Kiai, Minta Datang ke TPS 17 April
Pemilihan presiden (pilpres) 2019 tidak saja menjadi ajang perebutan kursi nomor satu di Republik Indonesia antara pasangan Joko Widodo - Mar’uf Amin versus Prabowo Subianto - Sandiaga Uno, tetapi juga dikhawatirkan sebagai pertarungan antara dua kekuatan ideologi. Yaitu antara mempertahankan Pancasila melawan kubu yang ingin mengganti Pancasila dengan khilafah, negara demokratis berubah menjadi negara teokratis berbasis ajaran Islam. Benarkah?
Indonesia sudah merdeka selama 73 tahun. Kekuatan-kekuatan kelompok ekstremis berbasis agama yang ingin menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sistem khilafah tidak pernah terealisasi.
BACA JUGA: TKN: Insyallah Lampung, Sumsel dan RIau ke Jokowi - Maruf
Lantas kenapa sekarang isu tersebut kembali diembuskan? Saya kira sebagai sebuah isu politik jelang pilpres demi meraih kekuasaan hal itu biasa, toh sejarah sudah membuktikan Indonesia tetap sebagai negara kesatuan dan tidak berubah. Namun, yang perlu dikhawatirkan adalah dampaknya setelah pilpres.
Menggunakan isu khilafah berdampak negatif bagi persatuan dan kesatuan bangsa karena Indonesia bukan negara yang masyarakatnya homogen, melainkan masyarakat yang heterogen. Indonesia terdiri dari beragam suku, ras, agama, golongan, budaya, dan bahasa daerah.
BACA JUGA: Politikus PKS Ngeri dengan Mobilisasi ASN oleh Petahana
BACA JUGA: Mau Ganti Pancasila? Hadapi Dulu Prabowo
Para pendiri bangsa sadar akan kenyataan itu dan bersepakat untuk mendirikan suatu negara: satu untuk semua dan semua untuk semua yang mengakomodasi seluruh kepentingan yang ada. Andai kata pada waktu itu ternyata yang disepakati adalah negara agama, saya yakin Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti sekarang ini tidak akan pernah terealisasi karena mendapat penolakan dari banyak daerah.
Jika sekarang ini wacana khilafah ditiupkan sebagai usaha untuk menarik simpati dan suara Muslim, besar kemungkinan akan berhasil sebagai sebuah strategi politik elektoral, namun tidak akan mendapatkan ruang di tengah masyarakat Indonesia yang heterogen. Memaksakan hal itu sama halnya dengan kemauan untuk menanam pohon pepaya di rawa-rawa, mustahil!
Sekali lagi sebagai sebuah isu politik, hal itu dapat berdampak pada kehancuran bangsa terutama di kalangan akar rumput.
Pilpres hanya salah satu bagian dari cara kita memilih pemimpin, cara kita berdemokrasi. Hal yang jauh lebih penting di atas segala kepentingan adalah melestarikan Indonesia. Sekalipun sebagai sebuah wacana untuk mendulang suara, mengembuskan isu bahwa Indonesia akan menjadi negara khilafah adalah suatu sikap politik yang tidak terpuji. Mengapa? Karena hal itu dpat berpotensi terjadinya konflik horizontal antarmasyarakat yang heterogen.
Minim Gagasan Brilian
Selama beberapa bulan terakhir kita tidak melihat ada gagasan brilian dari pasangan calon presiden untuk kemajuan Indonesia. Kalau pun ada, itu menjadi kabur dengan isu-isu politik yang berpotensi memecah persatuan bangsa dan menyulut emosi rakyat.
Kita tidak menemukan sikap kenegarawanan yang ideal dan sanggup menyajikan gagasan brilian untuk kemajuan Indonesia karena di ruang maya dan nyata tempat kita hidup disesaki dengan isu-isu murahan, hoaks, bahkan wacana Indonesia bubar.
Pilpres 2019 seharusnya menjadi ajang bagi kita untuk mendewasakan demokrasi kita, mendewasakan cara berpikir kita tentang keindonesiaan. Pilpres harusnya menjadi ruang bagi para pemimpin untuk mendidik rakyat, bukan untuk mengadu-domba dan menyulut emosi rakyat agar berkelahi satu dengan yang lainnya.
Pilpres bukan sekadar memilih presiden, pilpres adalah ruang untuk mencari pemimpin yang negarawan yang mempunyai visi ideal membawa negara bangsa ini pada cita-cita kesejahteraan bersama (bonum commune).
Tentang sikap kenegarawanan, saya kira para capres bisa belajar dari para pendiri bangsa. Para pendiri bangsa berpolitik dengan cara yang sangat elegan seraya memberikan edukasi politik kepada rakyat. Mereka berdebat, berbeda pendapat, saling serang argumentasi secara tajam dengan logika yang ketat dan solid, tetapi tidak pernah sekalipun mereka mengumbar hoaks untuk menjatuhkan lawan politiknya. Mereka berbeda secara prinsip, tetapi tidak pernah mengagungkan prinsipnya dan menjelek-jelekkan yang lain secara membabi buta.
Perbedaan prinsip di antara mereka hanya terjembatani oleh gagasan rasional bukan yang lain. Kepentingan mereka hanyalah tentang Indonesia, tentang merawat Indonesia, tentang mengupayakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hari-hari ini yang disajikan kepada kita adalah politik emosional, jauh dari kata rasional. Yang rasional justru jadi musuh bagi sebagian politikus, mereka lebih suka mengobok-obok emosi rakyat. Yang rasional jauh dari percakapan para politikus di ruang publik.
Argumentasi rasional dimusuhi karena tidak memberikan keuntungan elektoral. Segala macam perbedaan yang ada dijembatani oleh kepentingan pragmatis, maka lahirlah banyak politikus berwatak oportunis yang banyak di antara mereka berakhir di balik jeruji KPK.
Kita kehilangan negarawan tulen seperti para pendiri bangsa, tetapi surplus para demagog yang meracuni pikiran rakyat dengan hoaks dan pesimisme. Pilpres yang seharusnya menjadi ajang bagi untuk melahirkan pikiran-pikiran bermutu untuk memajukan bangsa dan negara justru menjadi batu sandungan bagi kita melangkah maju.
Menurut saya, apa pun pilihan kita di pilpres mendatang, Indonesia Raya tetap menjadi kepentingan kita bersama. Tentang khilafah, sebaik apa pun bentuk negara khilafah, hanya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dapat mengakomodir kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia tergantung pada jari kita ketika kita berada dalam bilik suara dan mencoblos pasangan calon presiden-wakil presiden terbaik untuk Indonesia.
Ingat, kita tidak sekadar memilih calon presiden dan wakil presiden, kita sedang berjuang untuk Indonesia seribu tahun lagi. Apa pun wacana politik yang diembuskan oleh capres-cawapres, harus diingat: Kita Tetap Indonesia!
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dradjad: Tidak Mungkin Jokowi jadi Menteri Mas Prabowo
Redaktur : Tim Redaksi