jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencari solusi atas permasalahan pembukaan lahan dengan cara dibakar.
Pasalnya, masalah ini harus bisa diselesaikan dengan bijak dan disetujui semua pihak.
BACA JUGA: KLHK Gencar Melakukan RHL untuk Menjaga Mata Air di Kawasan Hulu DAS
Salah satunya dengan mendengarkan pandangan dari berbagai pihak, seperti perwakilan masyarakat adat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), anggota DPR dan DPRD, hingga para perwakilan kementerian/lembaga terkait yang dirangkai dalam acara Focus Group Discussion (FGD), yang bertajuk Solusi Kearifan Lokal dalam Pembukaan Lahan di Bawah Dua Hektare Dengan Cara Membakar.
Wakil Menteri LHK Alue Dohong memimpin jalannya FGD tersebut.
BACA JUGA: Alue Dohong Tokoh Dayak Pertama Masuk Kabinet
Dalam sambutannya, dia menjelaskan bahwa penggunaan api untuk kegiatan pembersihan lahan untuk perladangan merupakan kearifan lokal masyarakat yang telah terjadi dan dilakukan oleh masyarakat adat, khususnya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Praktik pembakaran lahan yang dilakukan masyarakat adat menurutnya harus ditempatkan dalam kontek regulasi yang tepat agar kearifan lokal yang terbukti memiliki efek positif untuk membantu proses keterjaminan dan ketahanan pangan dan konservasi hayati, tidak disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung untuk membakar lahan secara masif yang merugikan kepentingan umum.
BACA JUGA: Komisi IV DPR RI Apresiasi Program KLHK untuk Pemberdayaan Masyarakat
"Kami harus segera menyusun naskah kebijakan untuk memperbaiki dan mempertegas pengaturan pembukaan lahan dengan cara bakar ini, agar menjadi bagian solusi permanen pencegahan karhutla seperti yang diinstruksikan Bapak Presiden," kata Alue.
Menanggapi diskusi, Willy M Yoseph, Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Dayak Nasional (ICDN) yang juga anggota Komisi VII DPR menyatakan rumusan dan kesimpulan hasil FGD dapat dijadikan masukan untuk revisi UU yang mengatur tentang diperbolehkannya membakar lahan secara terbatas oleh masyarakat.
"Kami siap untuk membantu melalui proses revisi undang-undang. Ini yang paling pas untuk kita, bicara panjang lebar harus ada muaranya, agar masyarakat dapat terbantu,” ujarnya.
Salah satu isu yang mencuat adalah perlu antisipasi terhadap para oknum yang mengatasnamakan masyarakat adat untuk melakukan pembakaran lahan.
Beberapa pembicara meminta agar jangan sampai kearifan lokal masyarakat dilarang bukan karena kesalahan masyarakat, tetapi lebih karena kebijakan pemerintah yang mengatur terkait hal tersebut belum kuat, sehingga rawan menimbulkan celah hukum.
Menutup diskusi, Wamen LHK menyimpulkan bahwa secara umum para pembicara menyetujui jika sistem perladangan tradisional dengan teknik pembakaran oleh masyarakat adat perlu terus dilanjutkan, namun dengan catatan harus ada adaptasi, inovasi-inovasi dan teknologi agar meminimalisir dampak terhadap bencana karhutla.
Wamen LHK pun menyampaikan kesimpulan hasil diskusi yang memuat pendapat dan masukan dari para narasumber tadi, di antaranya yaitu diperlukan adanya kebijakan khusus Pemerintah terkait penetapan wilayah perladangan tradisional yang diintegrasikan dalam RTRWP/RTRWK pada masing-masing daerah yang masih memiliki tradisi dan mempraktekan perladangan tradisional.
Selanjutnya perlu adanya kegiatan pemetaan wilayah berbasis tipe ekosistem, inventarisasi sebaran spasial dan jumlah peladang tradisional termasuk jenis komoditas yang dibudidayakan, teknologi serta kearifan yang dipakai di dalam praktik perladangan tradisional, dalam rangka penyusunan basis data yang lengkap dan sahih terkait perladangan tradisional.
Kemudian perlu adanya peningkatan dan penguatan program dan anggaran, pemberdayaan, introduksi dan alih teknologi pengolahan lahan tanpa bakar (PLTB), akses kelola hutan, pendampingan instensif dan lain-lain dari pemerintah, swasta yang lebih berpihak pada kelompok peladang tradisional. (cuy/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan