KLHK Minta Masyarakat Belajar dari Kebakaran Hutan Australia

Rabu, 15 Januari 2020 – 23:38 WIB
Kebakaran lahan di Australia. Foto: AAP Image/Shane Chalker/via REUTERS

jpnn.com, JAKARTA - Pelaksana tugas (Plt) Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan pada Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK Raffles B. Panjaitan mengatakan, hingga awal Januari ini masih ada 619 hotspot kebakaran hutan dan lahan terpantau di berbagai wilayah Australia. Kebakaran hutan yang menghasilkan asap tebal ini, berdampak hingga Selandia Baru.

Bahkan, hingga saat ini ada hampir 15 juta hektare hutan dan lahan di Australia yang dilalap kobaran api.

BACA JUGA: Kebakaran Hutan Australia: Kualitas Udara Melbourne Hampir Seburuk India

Dilaporkan akibat kebakaran hutan dan lahan di Australia menimbulkan 24 korban jiwa dan lebih dari 1.400 rumah hancur. Kemudian, diperkirakan hampir setengah miliar satwa termasuk reptil, mamalia, dan burung telah mati, bahkan 8.000 Koala yang menjadi satwa liar asli Australia musnah akibat kebakaran yang melanda negara itu sejak September 2019.

Raffles mengatakan, kejadian kebakaran hutan dan lahan di Australia harus bisa dijadikan pelajaran oleh masyarakat di Indonesia untuk tidak membakar hutan dan lahan.

BACA JUGA: Uang yang Terbakar Karena Kebakaran Hutan Australia Bisa Ditukar Ke Bank

“Kita harus terus meningkatkan upaya pencegahan. Siklus karhutla di Indonesia yang bisa terjadi di bulan-bulan pada awal tahun khusus di beberapa daerah rawan harus lebih diwaspadai,” ujar Raffles kepada wartawan, Rabu (15/1).

Kasus kebakaran hutan ekstrem di Australia ini dipengaruhi oleh faktor cuaca yang panas, kering serta berangin. Selain itu kebakaran ini juga terjadi akibat kombinasi dari pola cuaca yang memanas dalam jangka pendek dan jangka panjang.

BACA JUGA: Gara-Gara Kebakaran Hutan, PM Australia Jadi Tertawaan Dunia

Pada konteks jangka panjang, tahun 2019 Australia mengalami cuaca terpanas dan terkering yang menyebabkan terjadinya kemarau lebih lama. Tren hujan pun mengalami penurunan, khususnya di beberapa wilayah.

Pada 18 Desember, Australia juga memasuki hari terpanas sepanjang sejarah mereka. Kala itu, suhu udara rata-rata di Australia hampir mencapai 42 derajat Celcius.

Pada jangka pendek, ada dua faktor yang turut berpengaruh yaitu suhu air di bagian Barat Samudera Hindia yang lebih hangat dibandingkan rata-rata serta suhu udara yang lebih dingin di bagian Timur. Kondisi ini membuat musim hujan semakin jauh dari Australia.

Pantauan hotspot di Indonesia, sampai dengan saat ini, pada tanggal 1 – 9 Januari 2020, berdasarkan Satelit NOAA Confidance belum terpantau adanya hotspot, pada periode yang sama tahun 2019 jumlah hotspot sebanyak 11 titik.

Sedangkan Satelit Terra/Aqua (NASA) Confidence Level terpantau 14 titik, pada periode yang sama tahun 2019 jumlah hotspot sebanyak 25 titik.

“Artinya, terdapat penurunan jumlah hotspot sebanyak 11 titik atau 44 persen. Ini harus ditekan terus hingga tidak ada hotspot,” tandas Raffles. (cuy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler