Koalisi dan Oposisi Sulit Dilembagakan

Senin, 21 Mei 2012 – 23:53 WIB

JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Bandung, Dede Mariyana mengatakan bahwapelembagaan koalisi dan oposisi tak mudah dilakukan dalam sebuah negara yang menganut sistem presidensial. Pasalnya, keputusan untuk berkoalisi atau memilih menjadi oposisi adalah sikap politik.

Menurutnya, pelembagaan koalisi dan oposisi yang diatur undang-undang bukan jaminan pemerintahan akan lebih efektif. “Koalisi atau oposisi susah diikat dalam UU sebab sikap politik oposisi atau koalisi partai hanya menyangkut etika, sehingga nyaris mustahil bisa diikat dalam peraturan formal," kata Dede saat dihubungi wartawan, Senin (21/5) guna menanggapi gagasan Ketua Fraksi PKB Marwan Ja'far tentang perlunya koalisi-oposisi diikat UU.

Menurut Dede, membangun kabinet presidensial adalah hak prerogatif presiden yang sudah tegas ditetapkan dalam sistem presidensial. Karenanya pelembagaan sikap partai dalam koalisi atau oposisi justru akan merancukan hak prerogatif.

Dede mencontohkan Amerika Serikat yang menganut sistem presidensial. Di AS, seorang anggota Kongres dari partai yang berbeda dengan pemerintah yang berkuasa tetap bisa sejalan dalam menyikapi satu isu.

"Sebaliknya anggota legislatif dari Demokrat bisa saja menentang kebijakan pemerintahan yang dari Demokrat. Hal itu bisa terjadi karena anggota legislatif mengikuti kehendak konstituen dari dapilnya masing-masing," tegas guru besar ilmu politik Unpad itu.

Sebelumnya Marwan menngusulkan agar revisi UU Pilpres juga diarahkan untuk pelembagaan kubu oposisi dan koalisi. Alasan MArwan, agar ada kejelasan partai yang benar-benar mendukung pemerintah dan anti-pemerintah.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 14 Tahun Reformasi, Genjot Penataan Birokrasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler