Komat Kamit Kobat Kabut

Senin, 27 Februari 2012 – 11:55 WIB

jpnn.com - SAYA baru ngeh, mengapa unsur air dimasukkan dalam empat jenis pengendali dalam film animasi Avatar, The Legend of Aang? Sekecil apapun sifat “air” dengan segala wujudnya, adalah unsur yang amat berpengaruh dalam kehidupan modern. Sama dahsyatnya dengan api, tanah dan udara. Kabut, yang oleh atau orang Sunda biasa disebut “halimun” hanyalah uap air lembut yang berada dekat di permukaan tanah, berkondensasi dan mirip awan.

Warnanya putih, lembab, kasat mata, dan kadang menyilaukan. Sepekan ini, tiga kali saya harus bersabar gara-gara “teror kabut”. Pertama, Jumat, 24 Februari lalu, kabut membungkus langit Bandar Udara Adi Sucipto Jogjakarta. Saya bersama Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sudah sejam menunggu di atas pesawat Garuda, di Soekarno Hatta pagi itu, pukul 06.00 gagal take off dan dipaksa turun lagi.

“Mohon maaf, kami tidak diizinkan terbang, karena Bandara Jogja ditutup kabut,” begitu announce kru di kabin. Setelah turun ke ruang tunggu, baru diperoleh penjelasan, bahwa kabut menghalangi jarak pandang di Maguwoharjo, --lokasi Bandara Adi Sucipto Jogja--, hingga maksimal cuma 750 meter. Idealnya, di 2.000 meter, atau paling darurat 1.500 meter harus terang tanpa halangan.

Nyaris dua setengah jam, kami harus bersabar, menunggu sinar matahari mengubah kabut itu menjadi titik-titik embun. Sesampai di atas langit Kota Gudeg pun, kami pun harus berputar-putar 20 menit di atas Kabupaten Kulonprogo, sisi barat-selatan Provinsi DIY. Ada tiga pesawat yang sama-sama antre menunggu izin landing dari menara pengawas.

:TERKAIT Haluan kiri, haluan kanan, miring kiri, miring kanan, terbang rendah membentuk angka delapan. Kebetulan, saya terbang persis di atas rencana pembangunan bandara Jogja yang baru, di pantai selatan Kulonprogo itu. Baru tahu juga, di lokasi itu jauh lebih aman dari teror “kabut turun” dan bisa dibangun landasan lebih panjang dan lebih berstandar internasional.

Melihat traffic Adi Sucipto yang begitu padat, pembangunan dan pemindahan bandara itu semakin mendesak. Kedua, sesampai Adi Sucipto, kami langsung bertolak ke Wonosobo dengan helikopter, sebuah kabupaten kecil persis di tengah-tengah provinsi Jawa Tengah. Kawasan yang bersembunyi di antara Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Jauh di atas permukaan laut 750 meter, dengan dataran tertinggi 3.000 meter dpl. Sejuk, dan berkabut. Inspirasi Katon Bagaskara KLA Project menciptakan lagu “Negeri di Atas Awan” berasal dari sini, di Bukit Dieng, yang bisa mandi kabut setiap hari, sepanjang musim. Saat kemarau tiba, sama dengan saatnya dewa kabut lebih sering turun gunung, menyapa warga. Kalau malam hari, menggunakan jalur darat, Anda tidak mungkin berjalan di atas 20 kilometer perjam. Jarak pandang hanya 5-10 meter.

Lampu high beam pun tidak sanggup menembus butiran-butiran uap air yang pekat itu. Justru cahaya makin berpendar. Patokannya hanya garis marka putih di aspal, tanpa itu sebaiknya minggir dulu, menunggu si kabut kabur daripada terperosok di tebing curam. Ibarat, kalau tergelincir ke sana, orang menyanyikan lagu “Indonesia Raya” sampai berhenti pun, belum berhenti sampai ke dasar.

Saking dalam dan curamnya. Sambil menyaksikan pohon sengon (baca: albasia, red) dari atas heli yang dibudidaya warga di Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, dan Banjarnegara, Menhut Zulkifli Hasan pun berkhayal. Bagaimana bisa mendeskripsikan kesuksesan masyarakat kawasan Wonosobo dan sekitarnya itu ke luar Jawa sana? Agar mereka sadar, dan mengikuti sukses besar bercocok tanam sengon, sebagai “tanaman emas”? “Membuka kesadaran rakyat itu adalah tantangan dan pekerjaan besar.

Dan saya ingin buktikan, bahwa itu bisa dilakukan,” ucap Zulkifli penuh semangat. Mengapa disebut tanaman emas? “Satu hektare sengon, selama lima tahun, bisa menghasilkan Rp 200 juta. Padahal, lahan di Kalimantan, Sumatera, Kalimantan dan Papua, masih terbuka luas.

Wonosobo telah membuktikan, ada Haji Sengon, Sarjana Sengon, Insinyur Sengon, Dokter Sengon, karena sukses itu dibiayai oleh Sengon? Pabrik pengolahannya juga hebat, dimiliki warga asli Wonosobo juga,” sebut menhut sambil memegang bahu bos PT Mekar Abadi, Ariyadi, pria yang tidak lulus SD, tetapi memilki tiga unit pabrik playwood di Sapuran, Wonosobo dengan omzet USD 4 juta per bulan.

Menteri yang sudah menjadi pengusaha sejak lulus SMA, tahun 1983 itu mencatat banyak inspirasi dari kunjungan kerja sehari di tiga titik itu. Salah satunya upaya masyarakat mencangkok sengon, agar tetap tumbuh di lahan salak. Sengon itu harus sudah 4-5 meter tingginya, sehingga per bibit cangkok itu bisa berebut “nutrisi” dari tanah dengan akar serabut salak, dan berebut cahaya matahari dari pohon salak itu juga.

“Ini gagasan kreatif dan mandiri. Mereka berhasil memberdayakan konsep ini, sehingga sengon panen sesuai skedul, dan salak tidak berkurang produksinya. Mereka menyadari, bahwa lahan semakin sempit, karena itu setiap jengkal tanah harus termanfaatkan secara optimal.Inilah yang saya bilang, cinta tanah sama dengan cinta kepada Tuhan,” sebutnya yang didampingi Bupati Wonosobo A. Kholiq Arif, dan Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Mulhim Asyrof itu.

Saking heboh dan rasa kagumnya, Zulkifli nyaris dikepung kabut dan tak bisa balik Jogja mengejar pesawat ke Jakarta. Tak sadar, sudah pukul 16.00, pilot heli berulang-ulang melihat jam tangan, kode untuk cepat-cepat terbang, sebab sewaktu-waktu, kabut cepat turun, dan heli tak bisa terbang. Cuaca buruk, adalah musuh utama heli.

Di sepanjang jalur Wonosobo-Jogja yang ditempuh 15 menit itu, sang pilot mempertontonkan begitu banyak kabut yang cepat bergerak. Ketiga, Minggu pagi, 26 Februari kemarin, lagi-lagi saya berurusan dengan “teror kabut” di Bandar Udara Sultan Badaruddin, Palembang. GA 111 yang boarding sejak 05.40, baru bisa terbang pukul 07.15 WIB.

Kasusnya mirip, kabut pekat dan jarak pandang hanya 450 meter. Saya lantas berpikir, seharusnya di setiap bandara yang rawan teror kabut itu belajar ilmu pengendali air dari Avatar, si bocah gundul kecil yang mewarisi seni bela diri dan ahli hidrokinetik untuk mengontrol air, uap dan es itu.

Saat kabut menghadang, tinggal mengerahkan mereka untuk menggunakan jurus dari leluhur Suku Air, seperti dalam episode “Siege of the North.” Cukup sekali gerakan, “komat kamit kobat kabut” maka kabut itu sudah bisa menyingkir tanpa syarat! Datang tak diundang, pergi tak diantar… (*)

(*) Penulis adalah Pemred-Direktur Indopos dan Wadir Jawa Pos.


BACA ARTIKEL LAINNYA... Atmosfer Hutan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler