JAKARTA - Ketua Komisi III DPR RI, I Gede Pasek Suardika, menilai perkara dugaan korupsi bioremediasi yang membuat pegawai PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Kukuh Kertasafari menjadi pesakitan karena dijatuhi hukuman dua tahun penjara oleh pengadilan, tetap layak diperdebatkan. Pasek beralasan, ada beberapa temuan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyatakan proses kasus ini melanggar HAM.
Bahkan, majelis hakim dalam kasus bioremediasi juga tak pernah satu suara karena selalu ada dissenting opinion tentang kesalahan terdakwa. "Masih ada masalah yang kita harus perdebatkan. Dengan hal tersebut publik menjadi tahu," kata Pasek saat dihubungi wartawan, Kamis (18/7).
Memang, kata Pasek, dissenting opinion dalam sebuah putusan majelis merupakan hal yang wajar. Namun, katanya, dengan adanya perbedaan tersebut menandakan ada fakta lain dalam perkara itu. "Itu hal yang wajar dan keputusan tergantung suara mayoritas hakim," katanya.
Meski demikian, politisi Partai Demokrat ini mengimbau semua pihak menghormati putusan hakim. Sebab, vonis tersebut sudah menjadi putusan pengadilan.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang diketuai Sudharmawati Ningsih memvonis Kukuh bersalah. Kukuh dinyatakn terbukti melakukan perbuatan sebagaimana diatur Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Selain pidana penjara selama 2 tahun, Kukuh wajib membayar denda Rp 100 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Namun, vonis terhadap Kukuh tidak bulat karena Hakim Anggota, Slamet Subagyo, mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Bahkan Slamet menganggap Kukuh tidak bersalah.
Dalam pertimbangannya, Slamet menyatakan bahwa Kukuh tidak ikut menetapkan lahan yang disebut terkontaminasi limbah minyak bumi di SLS Minas, Riau. Sebab, pihak ang menetapkan 28 lahan sebagai lahan terkontaminasi minyak adalah Tim IMS (Infrastructure Management Support) yang bukan kewenangan Kukuh. (boy/jpnn)
Bahkan, majelis hakim dalam kasus bioremediasi juga tak pernah satu suara karena selalu ada dissenting opinion tentang kesalahan terdakwa. "Masih ada masalah yang kita harus perdebatkan. Dengan hal tersebut publik menjadi tahu," kata Pasek saat dihubungi wartawan, Kamis (18/7).
Memang, kata Pasek, dissenting opinion dalam sebuah putusan majelis merupakan hal yang wajar. Namun, katanya, dengan adanya perbedaan tersebut menandakan ada fakta lain dalam perkara itu. "Itu hal yang wajar dan keputusan tergantung suara mayoritas hakim," katanya.
Meski demikian, politisi Partai Demokrat ini mengimbau semua pihak menghormati putusan hakim. Sebab, vonis tersebut sudah menjadi putusan pengadilan.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang diketuai Sudharmawati Ningsih memvonis Kukuh bersalah. Kukuh dinyatakn terbukti melakukan perbuatan sebagaimana diatur Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Selain pidana penjara selama 2 tahun, Kukuh wajib membayar denda Rp 100 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Namun, vonis terhadap Kukuh tidak bulat karena Hakim Anggota, Slamet Subagyo, mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Bahkan Slamet menganggap Kukuh tidak bersalah.
Dalam pertimbangannya, Slamet menyatakan bahwa Kukuh tidak ikut menetapkan lahan yang disebut terkontaminasi limbah minyak bumi di SLS Minas, Riau. Sebab, pihak ang menetapkan 28 lahan sebagai lahan terkontaminasi minyak adalah Tim IMS (Infrastructure Management Support) yang bukan kewenangan Kukuh. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan Sarankan Kemensos Tak Urusi Undian
Redaktur : Tim Redaksi