Komisi III DPR Ajukan Interplasi Remisi

Senin, 13 Februari 2012 – 15:36 WIB

JAKARTA -- Sejumlah Anggota Komisi III DPR, Senin (13/2), menyerahkan tandatangan dukungan penggunaan hak interplasi kepada Pimpinan DPR, terkait kebijakan pengetatan remisi korupsi yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM.

"Kita terpaksa menyampaikan hak interplasi karena jawaban Menkumham tidak meyakinkan. Kebijakannya menerapkan moratorium melanggar Undang-undang dan HAM," kata Anggota Komisi III Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo, Senin (13/2), sebelum menyerahkan dukungan interplasi kepada Pimpinan DPR.

Dia menyatakan, maksud penyampaian dukungan interplasi ke Pimpinan DPR itu agar diagendakan di Badan Musyawarah untuk diparipurnakan guna pengambilan keputusan. "Kalau di paripurna disetujui, maka presiden akan dipanggil untuk menjelaskan soal kebijakan ini," ujarnya.

Menurutnya, kalau nantinya disetujui maka presiden sendirilah yang harus memberikan penjelasan. "Apakah presiden tahu, dilaporkan, setuju dan mendorong kebijakan itu," katanya.

Nah, kata dia, kalau presiden ternyata tahu, setuju dengan kebijakan itu, maka presiden telah melanggar sumpah jabatan. "Dan tidak dilaksanakan sebaik-baiknya," ujar dia.

Sedangkan kalau presiden tidak tahu, tegas Bambang, konsekuensinya harus memecat menteri yang bersangkutan. "Yang menjawab interplasi harus presiden tidak boleh diwakili," kata Bambang.

Dia menjelaskan, sejauh ini sedikitnya sudah terkumpul 86 tanda tangan yang menyetujui usulan interplasi itu."Kita yakin lampaui 200 (tandatangan)," ujarnya.

Ia menyatakan, tujuh fraksi di DPR kecuali Demokrat dan PAN sudah membubuhkan tandatangan. Lebih jauh dia menyatakan, bahwa dari interplasi itu bisa ditingkatkan menjadi Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Sebelumnya Menkumham Amir Syamsudin menjelaskan kepada Komisi III DPR, bahwa pihaknya  menunggu putusan PTUN terkait gugatan atas kebijakan kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat itu.

Dia mengakui, bahwa hasil  tindaklanjut rapat dengan Komisi III sebelumnya pada Desember 2011 dan Januari 2012 silam, memerintahkan Kemenkumham mengkaji dan evaluasi ulang, kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat itu.

"Sehari setelah rapat terdaftar di PTUN oleh pihak yang merasa dirugikan oleh SK 16 November sehingga, walaupun kami tetap juga melakukan evaluasi dan pengkajian, situasi berubah dimana kebijakan telah diuji forum yang sah menyebabkan kami walaupun menyajikan juga kajian, tapi tentunya mengharapkan PTUN memeriksa apakah kebijakan kami benar atau keliru. (Pemeriksaan) itu sedang berjalan," kata Amir, Senin (13/2) di hadapan Komisi III DPR, di Jakarta.

"Tanpa kurangi rasa hormat kepada dewan, kalaupun ada kami pemeriksaan pengadilan berjalan dan segera ada hasil dalam waktu tidak lama, itu alasan kami anggap ada satu situasi yang berbeda dengan pada saat rapat terakhir," tambahnya. (boy/jpnn)



BACA ARTIKEL LAINNYA... Nasir Membela Diri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler