Komnas HAM Didesak Panggil Danjen Kopassus

Rabu, 10 April 2013 – 20:11 WIB
JAKARTA -  Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memanggil Danjen Kopassus Mayjen TNI Agus Sutomo untuk dimintai keterangan terkait kasus penyerangan ke Lapas Cebongan Sleman Yogyakarta yang diduga melibatkan 11 Anggota Kopassus.

Selain Danjen Kopassus, Hendardi juga menyatakan Komnas HAM harus memanggil Komandan Group II Kopassus Kandang Menjangan Kartasura Solo, Letkol Maruli Simanjuntak, untuk dimintai keterangan.

"Karena kedua komandan itu  adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas penyerangan yang diduga melibatkan 11 anggota Grup II Kopassus itu," kata Hendardi, di Jakarta, Rabu (10/4).

Hendardi juga mengkritisi jumlah penyerang yang disebutkan Tim Investigasi TNI AD hanya 11 pelaku.

Ia menduga jumlah pelaku mengalami penyusutan. Sebab, kata dia, sejumlah saksi mata yang turut menjadi korban penganiayaan pelaku, yakni para petugas LP Cebongan menyebutkan, pelaku setidaknya 17 orang.

"Seperti ada diskon, awalnya para saksi mata melihat pelakunya 17 orang, kemudian menyusut menjadi 11 orang. Dari jumlah itu, dua diantaranya merupakan anggota yang menghalangi," kata Hendardi.

Bekas Pengacara Pemimpim Timor Leste, Xanana Gusmao, itu khawatir jangan-jangan nanti mengerucut lagi tinggal satu orang saja pelaku utamanya.

Menyusutnya jumlah pelaku, Hendardi menduga, itu mengindikasikan adanya upaya mengaburkan kasus.

Selain itu, kata dia, upaya pengaburan semakin menguat karena tidak diungkap adanya pembicaraan antara Kapolda Yogyakarta dengan pimpinan TNI di Jawa Tengah dan DIY sebelum terjadinya penyerangan. "Ini ada apa sebenarnya?" tanya dia.

Ia mencurigai upaya pengaburan fakta itu sesungguhnya untuk "mengurung" peristiwa, guna menutupi kepentingan-kepentingan yang lebih besar.

Pihaknya juga menyayangkan, kenapa kasus penyerangan brutal dengan membunuh empat tersangka yang sedang ditahan di sel, malah bergeser ke arah pemberantasan premanisme.

"Jadi,  ada upaya sistematis membelokkan kasus pembunuhan di LP Cebongan itu ke isu pemberantasan premanisme."

Hendardi juga menyayangkan pelaku pembunuhan maupun komandan di atasnya justru belakangan ini disebut-sebut sebagai tindakan kesatria yang pantas diberi tanda jasa. "Hal ini kan menjadi sangat sesat dan jelas-jelas telah melecehkan negara hukum,” tegasnya.

Direktur Program Imparsial Al Araf mengatakan kalau proses hukum terhadap 11 pelaku dilakukan di peradilan militer, maka dikhawatirkan akan sulit berjalan secara adil dan bertanggung jawab.

"Bahkan sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga ke vonis akan sulit berjalan adil kalau dilakukan di peradilan militer. Seharusnya kita bisa belajar pada Pengadilan Militer terhadap Tim Mawar dan kasus lain yang melibatkan TNI," ujar Al Araf, Rabu (10/4), di Jakarta.

Ia pun mengungkapkan, dengan tetap memproses hukum kasus penyerangan ke LP Cebongan di peradilan militer, maka negara ini akan kehilangan momentum untuk memperbaiki UU Peradilan Militer.

Karenanya, ia meminta publik harus mendorong agar kasus ini diadili di peradilan umum. "Jika perlu, ajukan uji materi (judicial review) atas kekhususan TNI pada Pasal 9 dan 10 UU Peradilan Militer," katanya.

Sebab, sambung dia, kalau tetap di peradilan militer, tidak ada ruang bagi publik mendorong akuntabilitas peradilan ini. "Kecuali melakukan eksaminasi publik setelah putusan pengadilan. Selebihnya, publik hanya bisa menonton," papar Al Araf.

Sosiolog dari Universitas Indonesia,  Thamrin Amal Tamagola menduga adanya tim yang bekerja secara offensive untuk menciptakan isu baru soal pembasmian preman.

"Ada yang disebut preman versus super preman. Reaksi masyarakat atas kasus ini menjadi terbelah,” terangnya.

Ia menilai tindakan membasmi preman sebagai kepahlawanan itu keliru, karena pembasmian preman dengan cara membunuhnya secara brutal di dalam sel tahanannya tetap saja sebuah tindak kejahatan.

"Terus terang saja, isu pemberantasan premanisme tanpa melalui proses hukum ada keliru. Upaya membelokkan opini ini tentu sangat berbahaya, karena jelas-jelas telah mengancam negara hukum,” pungkasnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Demi Pemilu, Pergantian Kapolri Dipercepat

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler