jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah kepala sekolah Satuan Pendidikan Kerja sama (SPK) mengungkapkan, kesejahteraan tenaga pendidiknya sudah lebih bagik.
Peningkatan kesejahteraan ini sebagai konsekuensi atas kompetensi guru-gurunya yang harus sesuai standar kurikulum asing.
BACA JUGA: Sekolah Swasta Mahal Belum Tentu SPK
Anita Purnomosari dari IPH SCHOOLS mengungkapkan, guru-guru SPK memiliki standar kemampuan pedagogik lebih tinggi.
Para guru SPK harus mampu menjabarkan kurikulum asing dalam bentuk pembelajaran yang menyenangkan.
BACA JUGA: Ini Nama-nama SPK PAUD yang Terdaftar di Kemendikbud
Guru SPK juga harus mampu berinteraksi dengan bahasa asing sebagai pengantar dalam pembelajaran.
"Di IPH SCHOOLS, kami sangat memerhatikan kesejahteraan seluruh guru baik WNA (warga negara asing) maupun WNI (warga negara Indonesia). Dari sisi kompetensi, tidak ada perbedaan, semua harus memenuhi standar yang ditetapkan Lembaga Pendidikan Asing (LPA) karena SPK menggunakan kurikulum asing," terang Anita kepada JPNN.com, Selasa (28/7).
BACA JUGA: Aturan Baru tentang Cuti PNS, Kalangan Guru dan Dosen Patut Bersyukur
Ketentuan itu, menurut Anita, sudah diketahui seluruh guru IPH SCHOOLS saat memutuskan menjadi SPK. Awalnya IPH SCHOOLS bukanlah SPK.
"Begitu kami putuskan jadi SPK, kami umumkan kepada guru-guru yang sebelumnya fokus mengajar kurikulum nasional harus beralih pada kurikulum asing. Kami sebutkan juga, untuk menjadi guru SPK standar kompetensinya harus sesuai kurikulum asing. Konsekuensinya, mereka akan mendapatkan gaji serta tunjangan yang layak dari yayasan dan bukan pemerintah lagi," tuturnya.
Hal sama diungkapkan Aulia Widya Esti dari Surabaya European School. Surabaya European School tadinya international school dan kemudian beralih status jadi SPK.
Menurut Aulia, guru-guru SPK baik WNI maupun WNA kompetensinya setara. Sebab, untuk menjadi guru SPK harus lulus standar yang ditetapkan LPA sebagai mitra.
"Sekolah-sekolah SPK terutama yang terakreditasi A, sangat memerhatikan ini. SPK juga berkontribusi kepada negara dengan tetap memasukkan kurikulum nasional terutama untuk tiga mata pelajaran (Pendidkan Agama dan Budi Pekerti, Bahasa Indonesia, dan PPKn)," tuturnya.
Terkait kesejahteraan, lanjut Aulia, yayasan sudah mengetahui aturan dari Kemendikbud soal SPK.
Bahwa yayasan juga yang mengatur standar kesejahteraan guru-guru SPK.
Dia mengungkapkan untuk standar gaji antara guru WNA dan WNI sama. Yang membedakan hanya tunjangannya.
Guru WNA tunjangannya lebih besar karena pertimbangannya mereka harus pindah ke Indonesia sehingga ada tambahan biaya.
"Kenapa SPK jadi mahal karena kami harus mendatangkan guru-guru WNA juga. Selain itu setiap kali ujian, yayasan harus mendatangkan para penguji dari dari luar negeri. Jadi bukan sekolah yang menguji tetapi dari negara yang kami ajak kerja sama," jelasnya.
Peter Lau dari Yayasan Springfield mengungkapkan, sebagai SPK yang menggunakan kurikulum Cambridge, ada standar yang harus dipenuhi para tenaga pendidik.
Selain kemampuan bahasa dan pedagogik, guru-gurunya harus menguasai mata pelajaran yang tertera di kurikulum asing itu.
"Guru-guru kami banyak orang Indonesia tetapi kemampuan mereka mungkin lebih dari sekolah swasta biasa. Karena guru-guru ini harus selalu meng upgrade kemampuannya," terangnya.
Keberhasilan guru ini nantinya akan teruji saat pelaksanaan ujian Cambridge. Di mana saat pelaksanaan ujian, seluruh materi soal, penguji, pemeriksa, dan pemberian nilai langsung dari Cambridge. Pihak sekolah tidak bisa terlibat atau intervensi.
"Kalau nilai anak-anak bagus, tandanya cara guru mengajar bagus dan bisa dipahami peserta didik," pungkasnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad