jpnn.com - Malam itu, saya sudah tertidur. Mata ini begitu berat, sehingga tidak bisa menahan kantuk. Namun, tidur saya tidak nyaman. Tidur yang membawa beban pikiran, karena memikirkan seorang teman yang sedang berbaring lemas di rumah sakit.
Dia salah satu dari jutaan orang Indonesia yang terpapar Covid-19. Kondisinya dalam keadaan gawat. Tetapi, karena tubuh ini lelah, akhirnya saya tertidur juga.
BACA JUGA: Antisipasi Lonjakan Pasien Covid-19, RS Fatmawati Tambah Kapasitas Tempat Tidur
Belum lama tertidur, telepon genggam saya berdering. Firasat menujukkan hal yang tidak baik. Pasti ada sesuatu yang akan menganggu pikiran. Betul saja, seorang teman dari seberang telepon mengabarkan kematian kawan yang sedang dirawat di rumah sakit. Rasa katuk itu langsung hilang.
Saya berusaha menghubungi kawan yang sejak awal mendampingi teman yang sakit. Tidak ada jawaban. Beberapa menit kemudian, dia menelepon dan mengabarkan kepastian meninggalnya teman yang sakit tadi.
BACA JUGA: TNI-Polri dan NU Berkolaborasi untuk Percepatan Vaksinasi Covid-19, Gus Nabil Merespons Begini
Saya langsung terbayang wajah teman yang meninggal. Bayangan itu sangat dekat dan melekat di memori saya. Sebab, tiga hari sebelumnya saya berjumpa langsung dengannya.
Sebelum meninggal dunia, dia sempat berkeliling Jakarta dan sekitarnya untuk mencari rumah sakit. Enam rumah sakit sudah didatangi, tetapi tidak ada yang mau menerima karena penuh. Karena kelelahan mencari rumah sakit, kondisi kesehatannya pun drop.
BACA JUGA: Simak, Pesan Gus Jazil Kepada Santri Baru Ponpes Sunanul Muhtadin
Malam harinya, akhirnya ada rumah sakit yang mau menerimanya di kawasan Cinere, Kota Depok.
Namun, dia hanya bisa mendapatkan perawatan di IGD saja. Dia tidak bisa mendapatkan rawat inap, karena tidak ada kamar kosong. Sekitar tiga jam di rumah sakit, dia akhirnya harus keluar, karena bergantian dengan pasien lain.
Ketika keluar IGD, tidak ada tenaga kesehatan (Nakes) yang membantu. Untung, ada seorang teman yang “pemberani”. Dia mengambil kursi roda, kemudian memapahnya naik kursi, lantas mendorongnya ke arah mobil yang terparkir di depan UGD.
Saya melihat teman saya menahan sakit di dadanya. Napasnya begitu berat. Batuk yang keluar sangat menyakitkan. Kondisinya lemas.
Si sakit dan kursi rodanya diletakkan di depan pintu mobil. Sedangkan teman “pemberani” yang menolongnya tadi kembali masuk ke IGD untuk mengambil barang yang tertinggal.
Hanya ada sopir yang berada di samping teman yang sakit. Saya berusaha mendekat dan mau membantunya masuk mobil, tetapi saya tidak bisa setelah mengingat virus yang sangat ganas.
Hati saya perih, sedih, dan tersayat. Saya merasa bersalah, karena tidak bisa memapahnya masuk mobil.
“Teman macam apa kau ini, teman lagi sakit, memapahnya saja tidak mau,” pikiran itu berkecamuk.
Ingin sekali saya membantunya, masuk mobil bersamanya dan mendampinginya mencari rumah sakit agar bisa mendapat perawatan yang memadai. Tetapi, hal itu tidak bisa saya lakukan. Berkali-kali saya meminta maaf dalam hati.
Saya pun menjauh dan menemui penjaga rumah sakit. Saya bertanya apakah ada nakes yang bisa membantu teman saya masuk ke mobil. Petugas keamanan itu hanya terdiam dan seperti orang bingung.
Teman saya yang “pemberani” keluar dari IGD, kemudian memapah yang sakit masuk rumah sakit. Malam itu, mereka akan mencari rumah sakit yang bisa merawat inap teman saya yang sakit.
Saya melihat orang yang sakit terus berdatangan ke rumah sakit. Kondisinya hampir sama, semuanya sudah lemas dan membawa alat bantu pernapasan.
Ada yang diterima masuk IGD, tetapi lebih banyak yang batal masuk rumah sakit. Ada mobil yang penuh dengan penumpang.
Salah seorang dari mereka terlihat berbaring lemas dengan alat bantu pernapasan. Wajah mereka diliputi kecemasan. Dengan perasaan sedih, mereka terpaksa meninggalkan rumah sakit.
Keesokan paginya, saya mengirim pesan kepada istri teman yang sakit. Saya menanyakan kabarnya. Saya bersyukur, karena dia sudah mau makan pisang dan telur. Namun, ketika sore hari, kondisi kesehatannya memburuk.
Dia akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Tidak mudah mendapatkan rumah sakit di masa pandemi yang memuncak. Setelah berkeliling ke beberapa rumah sakit, akhirnya ada rumah sakit yang mau menerima.
Dua hari kemudian, teman yang baik hati dan selalu menyenangkan itu meninggalkan kita untuk selamanya.
Setelah kesedihan saya mereda, malam itu saya kemudian membuka handphone (HP), mengecek pesan singkat di grup WhatsApp (WA). Saya makin lemas ketika membaca pesan di grup WA alumni pesantren.
Seorang teman perempuan yang tinggal di Banyuwangi juga meninggal dunia setelah berjuang melawan ganasnya virus Corona. Sudah beberapa hari dia dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang naik turun dan akhirnya Tuhan memanggilnya lebih dulu.
Pesan belasungkawa dan dukacita mengalir deras melalui telepon genggam. Kabar kematian berseliweran memenuhi smart phone kita. Keesokan harinya, kembali datang kabar kematian tetangga saya di Sidoarjo. Rumahnya persis di depan rumah saya. Saya langsung teringat wajahnya, wajah istrinya, dan wajah anaknya.
Sebab, sebulan lalu saya bertandang ke rumahnya ketika liburan Idul Fitri. Sehari setelahnya, datang lagi kabar kematian tetangga saya di Sidoarjo yang rumahnya persis di belakang rumah saya.
Lengkap sudah rumah saya dikepung orang meninggal dunia karena Covid-19. Bukan hanya rumah, pikiran saya juga dikepung pesan kematian. Hari-hari itu penuh dengan komunikasi kematian. Betul-betul Bulan Juli 2021 yang kelabu.
Pesan kematian datang silih berganti. Komunikasi kematian mengalahkan komunikasi lainnya. Kematian sebagai pesan dan handphone kita sebagai medianya. Kita kadang sebagai komunikator dan juga komunikan.
Seperti disampaikan Harold Lasswell bahwa komunikasi ialah who says what in which channel to whom with what effect. Yaitu, siapa mengatakan apa, dengan media apa, kepada siapa, dan apa efeknya. Ada lima unsur komunikasi, yakni komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek.
Di sini kita membicarakan tentang pesan. Kematian yang menjadi pesan. Pesan itu begitu deras datang, seperti banjir bandang yang tidak bisa ditolak dan tidak bisa menghindar selama kita membuka handphone.
Sangat sulit untuk menjauhi gadget. Apalagi ketika pesan kematian itu datang dari orang tua, saudara, kerabat dekat atau teman baik. Tentu kita akan membaca atau mendengar kabar kematian itu dengan seksama.
Bagi yang ingin menjauhi HP, mungkin dia meminta agar dibukakan HP agar mengetahui kabar orang dekatnya atau tanpa meminta dia akan mendapat kabar yang tiba-tiba menggetarkan seluruh sendi-sendinya.
Pesan kematian di masa pandemi mungkin tidak pernah kita rasakan dan dengar sebelumnya. Musim pagebluk akan menjadi sejarah dan akan terus diingat bagi orang-orang yang hidup di zaman itu. Masa yang penuh dengan kesulitan. Kesulitan kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, dan kesulitan berkomunikasi secara tatap muka.
Kita hanya bisa berkomunikasi secara online atau daring dengan alat komunikasi masing-masing. Kita patut bersyukur, karena virus yang kabarnya dari Negeri Wuhan itu tidak menyebar melalui media komunikasi kita.
Yang menyebar dari HP dan media komunikasi kita hanya virus kepanikan, kekhawatiran, dan keresahan. Tetapi, itu justru yang sangat membahayakan. Derasnya kabar kematian justru sangat mempengaruhi psikologi kita.
Tentu, setiap orang berbeda dalam menyikapi sebuah pesan, khususnya tentang pesan kematian. Ada yang begitu cemas, takut, dan was-was. Namun, ada pula yang bisa mengendalikan emosi dan tegar mendengar kabar itu.
Pesan kematian di masa pandemi Covid-19 sangat berbeda dengan pesan-pesan kematian pada kondisi normal. Saat masa normal, kita biasa saja mendengar orang meninggal dunia. Hanya orang-orang dekat yang berduka.
Para kerabat yang meninggal bisa dengan leluasa menggelar upaca kematian. Bagi orang Islam, mereka bisa memandikan, mensalatkan, dan mengguburkannya dengan lancar.
Mereka yang ikut upacara kematian mungkin ada yang akhirnya mengingat kematian sebagai suatu kepastian, tapi mereka tidak takut akan ikut mati bersama orang yang meninggal dunia. Para tetangga juga tidak khawatir akan terpapar virus kematian.
Dalam masa pandemi Covid-19, semua itu berbeda. Kematian orang yang terpapar Covid-19 harus diperlakukan secara berbeda.
Keluarga yang meninggal tidak bisa menggelar upacara kematian seperti dalam kondisi normal. Mereka harus menggelar upacara kematian sesuai dengan protokol kesehatan (Prokes).
Orang dekat dan para tetangga pun ikut berdebar-debar. Mereka takut tertular virus dan ikut menyusul ke alam baka. Pesan kematian yang menyebar begitu cepat juga membawa keresahan, kekhawatiran, dan ketakutan.
Maka, hanya keluarga dekat yang datang ke pemakaman. Tempat pemakaman korban Covid-19 pun dipisahkan. Lahan yang sebelumnya kosong langsung penuh dengan batu nisan.
Teman, tetangga, dan kerabat yang tidak dekat hanya bisa mendoakan dari jauh. Mereka tidak bisa menggelar upacara kematian secara normal. Ada protokol kesahatan yang menjadi penghalang.
Upacara-upacara kematian menjadi sesuatu yang menakutkan. Menurut Prof Deddy Mulyana, upacara kematian merupakan salah satu bentuk komunikasi ritual.
Selain upacara kematian, komunikasi ritual juga tampak dari pesan atau iklan yang menyampaikan ucapan duka cita kepada keluarga yang meninggal dunia. Selama masa pandemi, pesan ucapan belasungkawa memenuhi gawai kita.
Pesan itu datang sangat deras dan bertumpuk-tumpuk. Keluarga yang sedang bersedih tentu tidak langsung membacanya.
Orang lain yang tidak terpapar Covid-19 seolah-olah hanya tinggal menunggu giliran. Terpapar virus, kemudian isolasi mandiri di rumah atau dibawa ke rumah sakit.
Setelah itu hanya ada dua pilihan, menang melawan Covid-19, kemudian sembuh seperti sedia kala atau kalah, lalu meninggalkan dunia yang fana. Maka, ketakutan akan kematian menjalar cepat. Banyak manusia yang akhirnya berdiam diri di dalam rumah agar tidak terpapar virus.
Namun, bagi pedagang kecil dan masyarakat yang tidak mampu, mereka tetap keluar dari rumah dan menyebar di atas muka bumi untuk mencari penghidupan.
Mereka hanya mempunyai dua pilihan, mati karena Virus Corona atau mati karena kelaparan, karena tidak makan. Walaupun dilaksanakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), mereka tetap keluar.
Pesan kematian karena kelaparan lebih menakutkan daripada pesan kematian karena Covid-19. Yang jelas kematian menjadi hantu yang menakutkan. Di masa pandemi, kematian begitu sangat dekat.
Padahal, di hari-hari biasa, kematian memang sangat dekat, tapi banyak manusia yang tidak menyadarinya, karena tidak ada virus yang bernama Corona. Jadi, virus itulah yang menjadikan kematian begitu dekat.
Pesan kematian itu makin lekat di pikiran dan perasaan, karena disebar melalui media yang setiap saat kita pegang. Pesan menakutkan yang disebar melalui teknologi canggih, membuat kita kelabakan.
Maka, banyak yang akhirnya meletakkan alat komunikasinya dan sesaat menjauh darinya. Namun, itu kadang tidak berlangsung lama, apalagi ketika kabar duka datang dari orang dekat kita.
Hati sangat perih dan sedih, ketika orang dekat meninggal, tapi tidak bisa membersamainya. Hal itu dirasakan orang yang sedang terpapar Covid-19, baik yang isolasi mandiri di rumah atau di rumah sakit.
Ketika harus isolasi mandiri, keluarganya dekatnya meninggal dunia, karena penyakit yang sama.
Dia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa berdiam di kamar atau rumah dan tidak bisa keluar, karena akan menularkan virus yang ada di tubuhnya. Air mata sampai mengering, dia pun lelah memanjatkan doa, akhirnya tubuh yang terkena virus itu pun ambruk, karena tidak kuat menahan luka. Dia pun terbayang-bayang tentang kematian. Kapan sang maut akan datang?
Dalam Hidup Sesudah Mati, Bey Arifin mengatakan bahwa mati adalah satu kejadian yang paling berat, paling menakutkan, dan paling mengerikan.
Suatu kejadian yang pasti akan dialami setiap manusia. Satu kejadian yang tidak bisa dihindari dengan cara bagaimanapun. Para Nabi dan Rasul, Jin dan Malaikat sekalipun tidak bisa menghindar dari kematian.(****)
Penulis adalah seorang wartawan sekaligus Alumnus Magister Komunikasi FISIP UMJ
Redaktur & Reporter : Friederich