Tragedi di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), sudah sebulan berlalu. Namun, masyarakat setempat masih belum bisa melupakan bentrokan yang menelan korban jiwa itu.
UMAR WIRAHADI, Bima
RABU petang (1/2) mobil Daihatsu Taruna yang ditumpangi Jawa Pos dari Bandara Sultan Muhammad Salahudin, Bima, tiba di Pelabuhan Sape. Perjalanan tersebut menempuh jarak 55 kilometer. Gerimis yang turun tidak mengganggu aktivitas di pelabuhan kala itu. Kendaraan hilir mudik keluar masuk pintu pelabuhan. Tragedi di Pelabuhan Sape yang menewaskan dua orang pada 24 Desember lalu, tampaknya, tak lagi menghantui warga setempat.
Namun, kondisi itu berbeda dari yang terjadi di Kecamatan Lambu. Di wilayah dengan 12 desa tersebut, laju kendaraan yang kami tumpangi tak lagi mulus. Jalan raya ditutup. Batu-batu gunung dan pohon diletakkan melintang di tengah jalan. Jarak dari satu titik dengan lainnya sekitar 50 meter. Ketika malam semakin larut, jalan sepanjang 3 kilometer ditutup total. Tak ada cara lain, kami pun berjalan kaki sambil menyapa warga.
"Jalan diblokade sejak tragedi 24 Desember lalu. Tapi, hanya malam hari," kata Sunardin, 30, salah seorang warga.
"Tragedi 24 Desember" adalah istilah dari warga untuk menandai insiden di Pelabuhan Sape. Saat itu dua warga tewas dan puluhan lainnya luka setelah terlibat bentrokan dengan aparat keamanan. "Kami tidak melawan, tapi terus ditembak," ujar Sunardin yang mengenang kerusuhan tersebut.
Kami diarahkan untuk menemui koordinator aksi Front Rakyat Anti Tambang (FRAT). Organisasi masyarakat itulah yang memblokade Pelabuhan Sape dan menyerang Kantor Bupati Bima. Massa datang dari tiga kecamatan. Yang utama datang dari Lambu. Sebagian lainnya dari Sape dan Langkudu.
FRAT bermarkas di Desa Rato. Sekretariatnya adalah sebuah rumah panggung mirip hunian khas suku Bugis. Mereka biasa mengadakan rapat di bawah panggung rumah tersebut. Saat itu puluhan orang berkumpul. Tak hanya kaum pria, beberapa di antara mereka juga ibu-ibu. Mereka duduk di kursi plastik dan membentuk lingkaran.
"Kami sangat hati-hati dengan media. Sebab, tak sedikit pemberitaan yang merugikan warga," ucap Hasanudin, koordinator FRAT.
Setelah koran ini menjelaskan maksud kedatangan, suasana menjadi cair. Pembicaraan berlangsung hangat dengan beberapa kali diselingi canda. Hasanudin menjelaskan, blokade jalan pada malam hari tidak bermaksud menutup diri. Itu dilakukan untuk melindungi warga pascainsiden 24 Desember di Pelabuhan Sape dan? pembakaran Kantor Bupati Bima pada 26 Januari lalu.
Menurut Hasanudin, blokade jalan itu juga merupakan protes warga karena polisi masih berupaya masuk ke lingkungan warga untuk mencari sejumlah warga yang menurut polisi tersangkut hukum.
"Masih banyak polisi yang keluar masuk desa kami untuk mencari DPO (daftar pencarian orang, Red). Seolah-olah kami ini penjahat," cetusnya.
Pencarian itu adalah buntut dari lepasnya 50 tahanan Rutan Bima pada 26 Januari. Perinciannya, 10 orang adalah tahanan pengadilan, 7 tahanan kejaksaan, dan 33 lainnya tahanan titipan dari kepolisian. Nah, di antara puluhan tahanan yang kabur tersebut, hingga kemarin (1/2), sudah sepuluh orang yang menyerahkan diri.
Kini penjagaan di Kecamatan Lambu semakin diperketat. Di 12 desa di kecamatan itu, dibangun 700 pos penjagaan dengan lima pos di setiap desa. Satu pos jaga ditunggu 20 orang. Artinya, selusin desa di kecamatan tersebut dijaga 1.200 personel warga. "Ini hanya untuk antisipasi. Sampai kondisi ini benar-benar aman," ujar lelaki bertubuh kekar tersebut.
Warga sebenarnya sudah sedikit tenang setelah bupati Bima mencabut SK Nomor 188/45/357/004/2010 tentang Izin Usaha Penambangan (IUP). Bupati Bima mengeluarkan SK baru Nomor 188.45/46/004/2012 tentang Penghentian secara Permanen Operasi Pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara (PT SMN).
Meski begitu, warga belum puas. Pasalnya, mereka hanya mendapatkan salinan foto kopi tentang keputusan tersebut. "Selain itu, kami kecewa dengan polisi. Sebab, mereka masih berupaya mencari warga yang dianggap bersalah," tambah Mulyadin, 28, pentolan FRAT lainnya.
Maryam Said, 45, ikut bersuara. Perempuan berkerudung tersebut mengatakan, semua warga kompak mendukung blokade jalan. Menurut dia, warga dari kecamatan lainnya tak mempermasalahkan kondisi itu. Pasalnya, blokade jalan hanya dilakukan pada malam hari, mulai pukul 18.00 hingga 06.00 Wita. "Yang penting kami tidak mengganggu kelancaran aktivitas warga lainnya," tegas dia.
Maryam adalah salah seorang ibu yang giat berdemo. Ibu tiga anak tersebut bahkan ikut bermalam bersama ratusan orang di pinggir pelabuhan. Itu dia lakukan karena tak mau desanya menjadi korban tambang. "Daripada kerja tambang, lebih baik mencari rumput," ujarnya yang disambut kor tertawa warga lainnya."
Maryam ikut menjadi korban tembakan peluru saat tragedi 24 Desember lalu. Pangkal paha kirinya terkena peluru polisi. Beruntung, lukanya tidak parah. Namun, karena lesakan timah panas tersebut, gaya berjalannya tidak lagi sempurna."Saya hanya pincang," ujar Maryam.
Di sisi lain, polisi memilih bersikap hati-hati dalam menyikapi masalah itu. Kapolres Kota Bima AKBP Kumbul K.S. menyangkal bahwa pihaknya berupaya mengejar warga. Pihaknya tak ingin bersikap represif.
Sebab, itu justru akan memancing perlawanan warga. "Kami memang mengimbau agar mereka menyerahkan diri. Itu lebih baik. Daripada nanti menyesal di kemudian hari," tuturnya.
Bahkan, korps baju cokelat tersebut terkesan keder dan memilih bersikap lunak. Menyikapi kasus pembakaran Kantor Bupati Bima pada 26 Januari lalu, misalnya, hingga kini petugas belum menemukan titik terang untuk menangkap pelakunya. "Memang masih proses penyelidikan," kata Kumbul.
Untuk kembali mencairkan hubungan dengan warga, khususnya di Kecamatan Lambu dan Sape, petugas melakukan sejumlah cara. Salah satunya, menyebarkan selebaran di berbagai tempat publik. Selebaran itu berisi lima poin yang bertujuan melunakkan warga. Di antaranya, mengimbau masyarakat agar tidak terpancing segala jenis provokasi, menjaga situasi kamtibmas, serta mengimbau tahanan yang melarikan diri untuk menyerahkan diri. (*/c10/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jalan Wayo, Kampung yang Dihuni Pria Beristri Lebih dari Satu
Redaktur : Tim Redaksi