Kondisi Politik Demokrasi Malaysia Keruh di Tengah Tantangan Menghadapi Pandemi Covid-19

Selasa, 19 Januari 2021 – 21:11 WIB
Ilustrasi Kuala Lumpur, Malaysia saat lockdown akibat pandemi covid-19. Foto: EPA-EFE/straitstimes

jpnn.com, KUALA LUMPUR - Peneliti Ahli Utama P2P LIPI- (Center for Political Studies, Indonesian Institute of Sciences) Syafuan Rozi Soebhan mengungkapkan saat ini terjadi perubahan politik di Malaysia selama tiga tahun terakhir.

Yaitu sejak pemilihan umum Malaysia pada 2018 lalu yang memilih kembali Dt. Tun Mahathir Mohamad sebagai Perdana Menteri.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Kondisi Kesehatan Rizieq Mengkhawatirkan, Anies Tersinggung? Kemenkumham Diserbu

Terpilihnya Dt. Mahathir lewat gerakan semacam people power sekaligus mengakhiri enam dekade kekuasaan Barisan Nasional (BN) di Malaysia.

Pakatan Harapan (PH) pimpinan Mahathir Mohamad yang terdiri dari Partai Keadilan Rakyat (PKR), Partai Aksi Demokratik (DAP), dan Partai Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM) berhasil mengalahkan Barisan Nasional dan menempatkan Mahathir sebagai Perdana Menteri.

BACA JUGA: Malaysia Benar-Benar Kebobolan, COVID-19 Tak Pernah Seganas Ini

"Kemudian dia mengundurkan diri hingga dihalang-halanginya Dt. Anwar Ibrahim untuk menjadi Menteri Besar apalagi Perdana Menteri, seakan siklus demokrasi yang memungkinkan oposisi silih berganti mengelola negara, amat pelik dan musykil di negeri jiran ini. Hingga naiknya PM Muhyiddin yang pro dan kontra, yang belakangan juga mengalami turbulensi dukungan dari para pengusungnya karena perkara memelihara cara hidup demokratik, tampaknya “masih jauh panggang dari api”," tutur Syafuan mengungkap masalah politik di Malaysia.

Dia mengatakan Malaysia adalah jiran tetangga terdekat Nusantara. Bukan hanya serumpun secara etnisitas yang memiliki kesamaan ras Asia-Melayu-Austronesia-Mongoloid, tetapi juga faktanya hadir “Sebumi” secara geopolitik, karena berbatasan langsung darat, laut dan udara.

BACA JUGA: Wabah COVID-19 Makin Parah, Pemerintah Malaysia Cuma Kucurkan Rp 52 Miliar

Hal itu berlangsung sangat lama karena banyak perantau Indonesia yang bekerja di Malaysia. Sebagian warga Malaysia leluhurnya perantauan dari Riau, Minang, Aceh, Jambi, Bugis, Banjar, Dayak, Jawa dan lainnya.

Ada nasihat tetua bahwa tetangga adalah saudara terbaik yang bisa diminta tolong dan didengar pandangannya. Apapun keadaannya, orang terdekat yang boleh membantu dan saling berwasiat kebaikan.

Karena itu, kata dia, masalah yang terjadi di Malaysia juga dirasakan oleh bangsa Indonesia sebagai saudara jauh.

"Apa yang terjadi di rumah tetangga sebelah, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap rumah kita dan sebaliknya. Tetangga damai, kita tenang. Tetangga guncang kita pun ikut resah, karena telinga dan mata, melihat dan mendengar apa yang terjadi di sebelah kita. Kalau negara sebelah demokratis dan sejahtera kita tentu senang, tetapi kalau pemerintahnya dalam krisis politik, konflik tak berujung, ada masalah ketidakpercayaan dan elemen kebangsaannya tidak bahagia, kian khawatir, tertekan dan berjarak satu sama lain. Kita pun akan ikut bersedih, karena Indonesia Raya pernah mengalami suasana 32 tahun totalitarian, pengelolaan politik yang tidak demokratis, aktor politik sipil tertekan dan mayoritas rakyat pun kurang bahagia," tambahnya.

Redupnya Demokrasi Subtantif

Untuk menghindari redupnya demokrasi subtantif, mestinya ada pengakuan dan penerapan indikator berupa praktik check and balances atau saling mengawasi/simak dan saling imbang, antara legislatif dan eksekutif.

Tidak mendiamkan, menggantung atau mengabaikan satu-sama lain. Untuk itu Ilmuwan Politik Sidney Hook misalnya berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan–keputusan pemerintahan yang penting mesti dikonsultasikan kepada wakil-wakil rakyat di parlemen yang diberikan wewenang oleh konstitusi untuk mengawasi eksekutif ketika membuat kebijakan publik.

Tidak boleh diabaikan atau digantung. Berkaitan dengan itu pemerintahan dan negara yang demokratis adalah yang mengajak dialog para wakil rakyat (Dewan Undangan Negeri) yang mendapat persetujuan dan memenangkan pilihan rakyat lewat pemilu.

"Kita mengenal dalam literatur politik kawasan bahwa negara Malaysia adalah kerajaan yang berkonstitusi, dengan sistem demokrasi berparlemen. Teks “Rukun Negara”nya yang disusun pada 31 Agustus 1970 pada bagian pertama menyebutkan tujuan negara yang mau dibentuk yaitu negara Malaysia mendukung cita-cita hendak: Mencapai perpaduan yang lebih erat dalam kalangan seluruh masyarakatnya; Memelihara cara hidup demokratik; Mencipta satu masyarakat yang adil di mana kemakmuran negara akan dapat dinikmati secara adil dan saksama. Hal ini sejalan dengan indikator demokrasi subtantif yang universal. Namun dalam perjalanan waktu, tentu akan mengalami dinamika pasang dan surut. Demokrasi dengan dasar kedaulatan yang diwakili oleh pihak oposisi dan pro pemerintah, sewajarnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan, apalagi dalam suasana darurat pendemi. Pengabaian ini menjadikan demokrasi kian redup dan mengkhawatirkan," jelasnya.

Menuju Monarchy Absolut

Awal 2021 ini misalnya, seperti halnya Indonesia, Kerajaan Malaysia pun sibuk menangani pandemi Covid 19 dengan relasi eksekutif dan llegisatif yang imbang.

Presiden yang diwakili para menteri hadir di DPR RI untuk mendengar kritik Komisi IX yang meminta agar BPOM jangan diintimidasi dan tidak boleh ada denda bagi warga negara yang menolak vaksin. Justru eksekutif yang perlu transparan dan meyakinkan warga negara.

Begitu juga dialog terkait lockdown, pembatasan pergerakan orang, penanganan C19, vaksin dan seterusnya berlangsung partisipatif.

Dialog yang berbeda pandangan adalah biasa dalam demokrasi yang subtantig, apalagi perbedaan perspektif diperlukan untuk melihat gambaran yang sebenarnya terjadi dari berbagai arah.

Parlemen Indonesia membuka diri dengan eksekutif dalam membuat kebijakan publik di masa pandemic Covid 19. Ini berbeda dengan kondisi politik di Malaysia.

"Kita mengikuti perkembangan pengumuman “Darurat Sipil Pendemi” Yang di-Pertuan Agong Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah pada 12 Januari 2021 lalu yang akan berlaku hingga 1 Agustus 2021. Semestinya, jika jarum waktu bisa diputar ulang, kebijakan tersebut mestinya melibatkan dan mendengar suara wakil rakyat yang ada di parlemen seperti yang diatur dalam prinsip “rukun Negara Malaysia 1970," tututnya.

Faktanya tidak terjadi, terkait keadaan darurat kerajaan yang cenderung mengabaikan prinsip checks and balances antara eksekutif dan legislatif, yang dihormati dan dipatuhi oleh semua negara yang menjunjung tinggi demokrasi universal dan subtantif yang mempertimbangkan kedaulatan rakyat.

Sangat disayangkan jika kegiatan parlemen Malaysia “digantung/dihentikan”. Hal ini menandakan Malaysia kian menuju monarchy absolut.

"Kita berharap ada rekonsiliasi dan kerja sama yang baik antara Yang Dipertuan Agung, Perdana Menteri, para anggota parlemen faksi UMNO Pakatan Harapan-Perikatan Nasional dengan faksi Oposisi (Pakatan Rakyat). Alangkah indahnya jika parlemen dan eksekutif di negeri serumpun ini saling berdialog dalam mekanisme cheks and balances, yang di Pertuan Agong, mau melibatkan dan mendengar kekhawatiran dan peringatan dini yang disampaikan untuk semua pihak yang menjadi warga negara jiran nusantara ini. Kita tidak ingin Malaysia terperangkap dalam monarchy absolut ketika dunia di puncak pendemi ini. Kepemimpinan di masa krisis tokoh-tokoh tersebut sedang diuji dan diawasi oleh pengamat kawasan dan aktor politik global. Ke mana arah demokrasi negara-negara di masa pendemi? Semoga rakyat Malaysia dan nusantara dikelola secara demokratis di masa pendemi ini," pungkas Syafuan Rozi. (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler