Konflik Internal Golkar dan PPP Ancam Hak Konstitusional Pilkada

Jumat, 24 April 2015 – 00:48 WIB

JAKARTA – Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nasrullah mengakui, konflik internal di tubuh Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), membawa problem tersendiri dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahap pertama yang akan digelar 9 Desember mendatang.
 
Contohnya seperti Partai Golkar, di satu sisi ada kubu yang tekah diakui kepengurusannya dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly. Namun di sisi lain, Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) Jakarta menerbitkan putusan sela, menunda pengesahan kubu Agung Laksono yang diakui Menkumham tersebut.
 
“Kondisi ini tentu membawa problem tersendiri. Tapi menurut saya, kalau satu parpol memiliki dua kepengurusan, itu artinya mereka sendiri yang membuat hak konstitusionalnya terganggu. Jadi jangan disalahkan (aturan), karena hak konstitusional sudah diberikan,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (23/4).
 
Nasrullah menilai, ketika parpol melanggengkan konflik, sama artinya menjauhkan hak konstitusional yang telah diatur dalam undang-undang. Artinya kalau itu yang terjadi, kata Nasrullah, harus juga dihormati sebagai langkah parpol yang tidak ingin menggunakan hak konstitusionalnya dalam pelaksanaan pilkada. “Jadi harapannya, islah. Itu yang paling enak,” ujarnya.
 
Meski begitu Nasrullah menilai meski konflik Golkar dan PPP terus mengalir, dapat saja tidak berimbas di tingkat bawah. Apalagi jika pengurus yang ada di tingkat provinsi, kabupaten maupun kota, tak terdapat dualisme kepengurusan. Karena itu tetap terbuka kemungkinan usulan calon kepala daerah dari kedua parpol tak akan bermasalah.
 
“Sepanjang tidak ada dualisme kepengurusaan tingkat bawah, silakan saja, boleh (mengajukan calon). Tapi memang problemnya secara hukum, maka penyelenggara tetap harus berpegang pada hak konstitusional. Nah kalau ditanya bolehkah minta persetujuan dua-duanya (dua kubu dalam satu parpol), saya kira karena kondisi abnormal, bisa saja persetujuan pun abnormal,” katanya.
 
Meski begitu aturan terkait boleh tidaknya dua kubu dalam internal parpol bersengketa mengajukan calon kada, menurut Nasrullah kini masih dibahas. Rancangan Paraturan KPU tentang pencalonan kepala daerah masih alot dibahas di Komisi II DPR, sebelum akhirnya ditetapkan menjadi pedoman pelaksanaan pilkada.
 
“Pembahasan PKPU soal pencalonan alot, karena banyak kepentingan juga, tapi ini kan namanya konsultasi. Menurut saya DPR kan sudah diberi porsi oleh negara untuk membuat undang-undang, jadi tidak perlu lagi merendahkan diri untuk membuat peraturan pelaksana undang-undang. Ngapain mengurus masalah teknis. Masa wilayah teknis mau buat lagi,” ujarnya.
 
Nasrullah mengungkapkan pandangannya karena dalam sistem aturan yang berlaku di Indonesia, salah satu kewenangan DPR adalah membuat undang-undang. Dalam aturan juga diatur adanya delegasi legislasi yang diberikan pada kewenangan atributif yang diberikan pada pelaksana teknis.
 
“Siapa pelaksana teknis, itu bisa pemerintah. Misalnya untuk menyusun paraturan pemerintah, atau aturan pelaksanaan pilkada, pelaksana teknisnya KPU dan Bawaslu. Jadi kalau DPR juga mau membuat aturan teknis, secara teori itu bertentangan. Jadi biarlah KPU yang membuat itu. Posisi DPR mengontrol sisi original content dari undang-undang terhadap PKPU,” pungkasnya. (gir/jpnn)

BACA JUGA: DPR Dorong Pemerintah Segera Buka Perdagangan dengan Palestina

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pendukung Marzuki Minta SBY Ikhlas Lepas Jabatan Ketum


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler