Konflik Papua Sangat Rumit, Perlu Penyelesaian Secara Kolaboratif dan Holistik

Kamis, 06 Mei 2021 – 23:17 WIB
Kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Foto: Puspen TNI

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan, konflik Papua harus dipahami dalam spektrum yang lebih luas.

Persoalan yang sangat heterogen, multidimensional dan sangat rumit, membuat tidak ada solusi tunggal di Papua.

BACA JUGA: Panglima TNI ke Papua, Ingin Bicara Langsung dengan Komandan di Lapangan

"Konflik Papua ini tergolong paling alot, sangat lama dibanding di wilayah lain. Maka perlu kajian mendalam untuk mengidentifikasi akar persoalan konflik," ujar Karyono saat membuka webinar IPI yang mengangkat thema 'Memahami Papua Serta Upaya Penyelesaian Secara Kolaboratif dan Holistik', Kamis (6/5).  

Pandangan tersebut diamini pengamat politik dari President University AS Hikam.

BACA JUGA: Penetapan KKB Sebagai Teroris tidak Menyentuh Akar Masalah Konflik di Papua

Menurutnya, Papua perlu dilihat dengan cara pandang yang berorientasi pada humanistik dan kebudayaan.

Sebab, masalah Papua bisa diselesaikan dengan pendekatan yang khas masyarakat sipil.

BACA JUGA: Panglima TNI dan Kapolri akan Turun Langsung ke Papua

"Jadi bagaimana masyarakat sipil bisa terlibat secara sukarela dalam menyelesaikan masalah. Ini kedengarannya sederhana tapi tidak mudah. Apalagi jika mereka masih ada trauma," ucapnya.

Bagi Hikam, apa yang sudah dilakukan pemerintah memang sangat baik.

Namun, kalau tidak berbasis fakta riil di lapangan, maka hasilnya kemungkinan tidak akan efektif.

Sebagai contoh, program otonomi khusus Papua dengan dana triliunan rupiah yang mengikutinya, AS Hikam menilai masih menjadi pertanyaan sejauh mana efektifitasnya.

"Memang secara normatif sudah dilakukan pembangun Indonesia untuk Papua. Tapi persoalan paling krusial adalah pada penanggulangan masalah korupsi. Inilah yang membuat masyarakat dengan mudah kecewa. Entah benar atau tidak, bagaimana pejabat yang menikmati dan masyarakat masih miskin," kata Hikam.

Problem lainnya bagi Hikam, bagaimana memosisikan masyarakat Papua secara humanistik agar merasa dihargai.

"Dalam bahasa Jawa bagaimana kita Ngewongke Wong. Orang Papua dilibatkan dan didengarkan. Sekarang ada orang bicara Papua cenderung bicara 'kami versus mereka' Bukan solodarity making. Ini juga jadi persoalan," katanya.

Pembicara lain Bobby Adhityo Rizaldi menilai, pembangunan di Papua sebenarnya sudah terlegislasi dan teregulasi dengan baik.

Di antaranya dengan lahirnya UU 21/2001 tentang Otsus Papua.

Kemudian Perpu No.1 tahun 2008 yang mengamanatkan agar Papua mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM, percepatan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan dalam rangka kesetaraan.

"Bicara konflik Papua, perlu dilihat, apakah masalah ada pada regulasi, perda, ataukah secara taktis implementasinya. Sebab dengan dana otsus yang ratusan triliun pasti indeks manusianya meningkat," kata Bobby.

Sebagai contoh, lanjut Bobby, ketika Presiden Jokowi menggenjot pembanguan infrastruktur jalan lintas, BBM satu harga dan program lainnya, ternyata masih ada kendala di lapangan berupa pertentangan antara yang mendukung dan melawan kebijakan itu.

"Pembangunan jalan ruas Papua, masih banyak diganggu. BBM satu harga ternyata masih ada biaya tambahan. Maka secara taktis harus dilihat. Mana yang mendukung program pemerintah dan mana yang menolak dan menghambat kemajuan," katanya.

Sementara itu, Staf Khusus Presiden/Pengusaha Muda Papua Billy Mambrasar menilai, pembangunan Papua sebenarnya sudah berjalan baik, terutama yang berkaitan dengan basis sumber daya manusia.

"Saya menerima beasiswa Otsus dan saya hanya satu cerita dari ribuan cerita lainnya. Kami ikut dalam human centered development process," tutur Billy.

Ia menilai konsep membangun bersama masyarakat Papua telah membuka peluang kemajuan yang sangat potensial.

Jika dulu pemerintah pusat membangun ke Papua, maka sekarang waktunya mengkapitalisasi SDM anak Papua yang sudah siap ikut membangun daerahnya.

"Jadi dari human centered development process. Ada perubahan dari give menjadi konsep share value," katanya.

Ia juga menyebut pembangunan di Papua harus berbasis potensi lokal. Mengembangkan potensi itu tentunya bersifat terstruktur melibatkan masyarakat asli Papua.

"Orang asli Papua adalah mitra pembangunan pemerintah," katanya.

Dalam webinar kali ini Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengawali paparannya dengan menyampaikan dua arahan Presiden Jokowi terkait Papua.

Pertama, presiden mengusung semangat pembangunan Papua dengan paradigma baru dan cara kerja baru agar terbuka kesempatan kemajuan bagi rakyat Papua, pada 11 Maret 2020.

Kedua, belum lama ini Presiden Jokowi memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri mengejar dan menangkap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan tak ada ruang bagi kelompok kriminal di Republik Indonesia.

Lebih lanjut, Jaleswari menyebut salah satu ukuran dalam pembangunan di Papua bisa dilihat dari rasio ASN dengan penduduk Papua 1:38, lebih ideal dibanding daerah lain seperti Jawa 1:111, Sumatera 1:59, Sulawesi 1:43, dan Kalimantan 1:50.

"Namun yang menjadi masalah mendasar adalah sebaran ASN di Papua yang terkosentrasi di kota-kota. Ini membuat layanan publik dan fasilitas belum dapat menjangkau masyarakat secara merata," ujarnya.

Jaleswari menilai ada korelasi yang kuat antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan konflik yang terjadi di Papua. Daerah yang IPM-nya rendah relatif sering terjadi kekerasan.

"Daerah yang IPM-nya masih rendah seperti Nduga, Puncak, Intan Jaya dan Puncak Jaya cenderung tingkat kekerasannya tinggi. Mimika juga tinggi, tapi ini pemicunya berbeda. Di sana ada tambang freeport," jelas Jaleswari.

"Kita mengenal Jokowi bukan sekadar komitmennya terhadap pembangunan Papua. Beliau 13 kali melakukan kunjungan kerja ke Papua dan melihat progres pembangunan. Jokowi menginginkan cita-cita visi Indonesia Sentris harus dipenuhi," jelas Jaleswari.

Ia menyebut tiga paradigma pendekatan yang dipakai.

Pertama, adalah pendekatan antropologis, bagaimana rakyat papua harus dilibatkan dengan pendekatan budaya. Masyarakat Papua bukan objek tapi subjek.

Kedua, pendekatan kesejahteraan (ketimpangan terjadi perlu dibongkar dengan program langsung ke bawah. Seperti BBM satu harga, jalan ruas, termasuk pengambilalihan 51 persen Saham Freeport dan sebagainya.

Sedangkan yang ketiga, kata Jaleswari, adalah pendekatan evaluatif. Yakni pembangunan diawasi ketat agar dana tepat sasaran dan dirasakan masyarakat. (gir/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler