Konflik Pasca Tragedi Sampang Bisa Meluas

Sabtu, 01 September 2012 – 07:48 WIB
JAKARTA-Penyerangan terhadap kelompok Syiah di Sampang, Madura, merupakan bentuk kriminalisasi terhadap kelompok minoritas. Namun, apabila akar permasalahan dari konflik itu tidak segera diselesaikan, maka bisa berdampak luas.

’’Meningkatnya teror terhadap kelompok minoritas harus diwaspadai karena merefleksikan gejala eskalasi kriminalisasi yang menimpa kelompok keagamaan yang dianggap berbeda,’’ ucap Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity Fajar Rizal Ul Haq pada acara dialog perspektif Indonesia bertema ’’Kaum Minoritas, Mazhab Syiah, dan Hak Warga’’ di Gedung DPD RI, Jakarta, Jumat (31/8).

Fajar menilai, pada banyak kasus keadilan hukum seringkali tunduk pada tekanan kelompok-kelompok yang mengaku mewakili mayoritas. Di sisi lain, dia mengatakan masyarakat sudah kehilangan rasa hormat terhadap penegak hukum. ’’Padahal, hukum buta dengan pengotakan mayoritas-minoritas,’’ papar dia.

Karena itu, lanjutnya, pemerintah dan aparat keamanan segera mengusut tuntas kasus kekerasan itu. Bagaimanapun perilaku intoleran dan aksi kekerasan bisa cepat menular di masyarakat jika pemerintah menggantung penyelesaian kasus-kasus kriminal berlatar belakang agama. ’’Namun ketidaktegasan, bahkan pembiaran yang dilakukan pemerintah dan penegak hukum terhadap pelaku kekerasan bisa memberikan pemahaman sesat bahwa teror atas nama kebenaran mayoritas boleh dilakukan,’’ tegas dia.

Untuk itu, Fajar berharap, pemerintah harus melakukan tindakan preventif untuk mengantisipasi terjadinya kasus kekerasan berlatar belakang agama. Disayangkan, justru respons pemerintah selama ini hanya bersifat reaktif setelah terjadi konflik antar kedua belah pihak. ’’Pemerintah harus melakukan pencegahan dari hulu ke hilir jangan sampai persoalan berlatar belakang agama sampai muncul,’’ tuturnya.

Sedangkan menurut Anggota DPD RI Provinsi Jawa Timur Istibsyaroh menegaskan, konflik di Sampang karena banyak yang tidak paham dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan peraturan di negara ini. ’’Mereka hanya mendengarkan para ulama dan tokoh masyarakat,’’ ulasnya.

Istib menilai, warga yang terlibat dalam konflik itu banyak yang tidak mengerti dan mereka hanya ikut-ikutan. Banyak masyarakat Madura yang meyakini ucapan ulama ataupun tokoh masyarakat. ’’Mereka pasti percaya ucapan para ulama walaupun belum tahu benar atau salah,’’ terangnya.

Selain itu, menurut dia, dalam ajaran Syiah berbeda dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Seperti di dalam kitab Syiah, tidak ada anjuran untuk mengucap dua kalimat syahadat dan di dalam rukun Islam terdapat kekuasaan. ’’Untuk menyelesaikan masalah ini, harus diberikan pemahaman dari perbedaan itu,’’ kata anggota Komite I DPD RI itu. (fdi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Peringatan Tsunami Resmi Dicabut

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler