Kongres Lahan

Oleh: Dahlan Iskan

Kamis, 16 Desember 2021 – 08:32 WIB
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - SEBENARNYA marah enggak sih Presiden Jokowi kepada Buya Anwar Abbas?

Medsos merilis video yang beredar luas. Temanya: Presiden men-sekak Buya Abbas sampai lima kali.

BACA JUGA: Investasi Paguat

Pidato Presiden hari itu dipotong-potong. Diambil bagian-bagian tertentu. Sebagai bukti sekak pertama sampai kelima.

Sebelum potongan-potongan sekak itu, ditampilkan potongan sambutan Buya Abbas di acara tersebut –Kongres Ekonomi Umat Islam ke-2 pekan lalu.

BACA JUGA: Kroni Texmaco

Dari potongan itu kesannya kuat: Buya Abbas mengkritik keras pemerintah langsung di depan Presiden. Yakni soal penguasaan 59 persen tanah oleh hanya 1 persen warga negara.

Saya pun menghubungi Buya Abbas kemarin. "Kalau saya kok tidak merasa Bapak Presiden marah kepada saya," ujarnya. "Apakah mungkin karena saya orang Padang, sehingga perasaan saya beda dengan orang Jawa?" tambahnya.

BACA JUGA: UV Tinggi

Kongres Ekonomi Umat Islam itu merupakan acara Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kongres pertama berlangsung pada 2017.

Hari itu, semestinya Dr Anwar Abbas tidak tampil memberi sambutan. Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar –yang juga Rais Aam PB-NU– yang akan berpidato.

“Menjelang berangkat ke sana saya mendapat telepon dari sekjen MUI. Ia bilang ketua umum berhalangan hadir," ujar Buya Abbas. "Saya, sebagai wakil ketua umum, harus menggantikan beliau," tambahnya.

Buya Anwar sebenarnya lebih senang berpidato tanpa teks. Karena di acara itu ada presiden, ia harus membatasi diri. "Saya putuskan membuat teks pidato," katanya.

Namun, waktu untuk membuat teks tidak cukup. Tidak bisa juga dibuat di perjalanan. Sopirnya lagi sakit. Buya harus menyetir sendiri mobil Kijang Innova-nya.

Maka, setiba di tempat acara, Buya berhenti dulu di tempat parkir –di basement Hotel Sultan dekat Semanggi, Jakarta. Ia membuat teks pidato di situ. Di HP-nya. Mesin mobil dibiarkan terus hidup agar AC tetap menyala.

Buya tidak perlu buka-buka data. Ia putuskan untuk mengemukakan soal keadilan ekonomi. Mumpung di depan pengambil kebijakan tertinggi.

Ia ingat pertemuannya dengan Menteri Agraria Dr Sofyan Djalil. Ia pernah bertanya: berapa indeks tanah kita.

Sang menteri, menurut Buya Anwar, menjawab jelas: 0,59. Itu berarti 1 persen warga negara menguasai tanah 59 persennya.

Menurut Buya, itu simbol ketidakadilan ekonomi yang sangat nyata. Sebagai doktor ekonomi, Buya banyak membaca buku ekonomi, termasuk yang ditulis ahli-ahli ekonomi dari Barat.

Ia setuju dengan teori bahwa ekonomi itu tidak dikendalikan oleh politisi atau cendekiawan atau lainnya. Ekonomi itu dikendalikan oleh yang menguasai ekonomi.

Buya lahir di Guguak 8 Koto, tidak jauh di timur Bukittinggi. Sampai SMA masih di sana.

Lalu kuliah di IAIN Ciputat, Jakarta –kini Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Lalu ambil S-2 manajemen.

Ambil lagi S-2 ekonomi Syariah di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Buya balik ke UIN untuk mengambil S-3 bidang pemikiran Islam.

Giliran Presiden Jokowi memberi sambutan terjadilah yang tidak biasa –meski pernah juga seperti itu. Presiden mengatakan bahwa sebenarnya ia sudah dibuatkan teks pidato.

“Ini...", katanya sambil mengacungkan kertas teks itu. Namun,  ia memutuskan untuk berbicara tanpa teks.

Presiden langsung merespons apa yang dikemukakan Buya Abbas. Bahwa terjadinya penguasaan tanah seperti itu bukan ia yang tanda tangan.

Maksudnya, itu terjadi sejak sebelum masa jabatannya sebagai presiden pengganti Susilo Bambang Yudhoyono.

Presiden menegaskan justru ia akan menertibkannya. Ia akan mencabut izin-izin penguasaan lahan besar yang tidak sesuai dengan aturan.

Tanah yang diambil kembali oleh negara itu akan dibagikan kepada siapa pun. Yang mengajukan proposal yang baik. Termasuk kepada Anwar Abbas kalau ia mau mengajukan proposal dimaksud.

Gaya dan mimik Presiden –saat berpidato itu– memang serius. Tidak salah kalau ada yang menafsirkan Presiden lagi marah.

Namun, memang belum tentu marahnya kepada Anwar Abbas. Bisa kepada siapa saja.

Yang jelas Presiden hari itu mendapat panggung yang tepat untuk menjelaskan semua itu. Seharusnya Presiden berterima kasih mendapat umpan yang cantik.

Bukankah apa yang dikemukakan Buya itu sudah jadi isu nasional? Yang memang harus diklarifikasi? Kapan lagi Presiden dapat waktu menjelaskannya secara tepat dan luas selain di situ?

"Saya sama sekali tidak merasa Presiden marah kepada saya," ujar Buya.

Ia menunjukkan dua kejadian setelah pidato itu. Yakni ketika ia minta Presiden mau berfoto bersama pimpinan MUI. "Suasananya enak sekali," katanya.

Demikian juga ketika acara selesai. Presiden sudah meninggalkan tempat. Sudah menuju mobil. Waktu itu Buya tidak ikut mengantar.

"Sudah terlalu banyak yang ingin mengantar," katanya. Buya pilih duduk lagi di ruang acara.

Sesaat kemudian seorang ajudan presiden mendatanginya. Presiden ingin bertemu Buya Abbas.

Maka, setengah berlari, Buya mendatangi Presiden yang sudah berdiri di samping mobil kepresidenan.

Di situ presiden mengulangi lagi apa yang disampaikan di podium. Agar umat Islam mengajukan proposal untuk mendapat lahan 40.000 sampai 50.000 hektare.

Buya Anwar mengiyakan permintaan Presiden. Lalu mereka siap-siap berfoto bersama. Bertiga. Posisi Buya di tengah. Presiden di kanan. Menteri agama di kiri.

Saat itulah menteri agama minta agar posisi untuk foto diubah: Presiden yang harus di tengah. Tokoh sentralnya presiden.

Namun, Presiden tidak mau berubah posisi. “Saya yang tetap di tengah. Presiden sendiri yang menghendaki agar posisi saya tetap di tengah," ujar Buya.

Buya pun kagum dengan sikap Presiden seperti itu. "Peristiwa itu benar-benar menunjukkan kerendahan hati Bapak Presiden," kata Buya.

Buya mengharapkan agar pengusaha dari kalangan Islam menyambut baik tawaran presiden itu. "Sudah ditawari Presiden sampai seperti itu. Jangan sampai tidak ada yang mengajukan," pintanya.

Buya, 65 tahun, adalah pensiunan pegawai negeri. Ia dosen di UIN Jakarta.

Awalnya saya memanggilnya profesor. Beliau menolak.

“Saya bukan profesor. Tahun 1999 pangkat saya memang sudah 4A, tetapi ketika pensiun pada 2020 pangkat saya tetap 4A," katanya.

Waktu remaja Buya pernah menanam singkong. Di tanah orang tua di atas bukit. Luasnya sekitar 1.000 meter.

Gagal. Menjelang panen singkong itu dicuri orang. Letak kebun itu memang jauh dari rumah: sekitar 1 Km.

Setelah ditelusuri yang mencuri adalah orang yang dikenal baik oleh Buya-kecil. Ia ternyata masih punya utang ke ibunya. Berarti orangnya miskin sekali. Akhirnya dibiarkan saja dicuri.

Buya sudah menulis dua buku: yang satu, hasil disertasi doktornya tentang pemikiran ekonomi Wapres Bung Hatta.

Yang kedua, tentang pemikiran Wapres Ma'ruf Amin. Menjelang pencalonan menjadi wapres. Judulnya: Ma'ruf Amin Way.

Isinya: sorotan terhadap kegagalan teori menetes ke bawah (teori Trickle-Down Effect).

Meski tokoh Muhammadiyah, Buya Anwar ternyata menulis buku tentang tokoh NU. Begitu dekat hubungan keduanya.

“Lho, waktu Kiai Ma'ruf jadi Ketua Umum MUI, kan, saya yang jadi sekjen," katanya.

"Sejak beliau jadi wapres saya belum pernah bertemu," katanya.

Itu sudah watak Buya Anwar. Tidak mau dekat dengan orang yang lagi punya kedudukan tinggi. Pun ketika orang itu teman dekatnya.

“Waktu Pak Amien Rais jadi ketua MPR saya tidak pernah ke rumahnya," katanya.

Tidak mau masuk politik?

“Orang seperti saya tidak cocok di politik. Yang kalau sedekah pun tidak bisa ikhlas," katanya.

Seminggu sebelum kongres, beredar kabar di medsos. Akan ada tokoh Islam yang ditangkap terkait terorisme.

Inisial tokoh itu AA. "Pasti akan banyak yang terkejut nanti," tulis medsos itu.

"Pernah mendengar kabar akan ditangkap?" tanya saya. "Pernah, lucu sekali," katanya.

Apakah Buya akan mengajukan proposal untuk mendapat lahan itu? Seperti yang secara serius disampaikan Presiden?

“Saya tidak mungkin. Saya ini tidak punya uang," katanya. (***)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar https://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Jangan Lewatkan Video Terbaru:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rumah Merah


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler