BANGKOK - Kongres media massa dunia atau 65th World Newspaper Congress telah resmi dimulai. Dalam acara pembukaan yang dihadiri ribuan perwakilan media dari berbagai dunia, menyerukan satu semangat kebersamaan yakni kebebasan pers.
Kongres yang berlangsung di Centara Hotel, Bangkok, Thailand ini, diselenggarakan oleh The World Associaton of Newspapers and News Publishers (WAN-IFRA) atau asosiasi surat kabar dunia. Dalam waktu yang sama juga digelar 20th World Editors Forum (forum editor dunia) dan 23rd World Advertising Forum (forum iklan media dunia).
Jacob Mathew, Presiden WAN IFRA, memberikan kata sambutan penuh pesan sekaligus ucapan selamat, kepada insan media khususnya di Myanmar, yang telah memperjuangkan hak publik dunia mendapatkan pemberitaan seimbang mengenai konflik SARA di sana. Mathew menyebut media di Myanmar, telah melakukan aksi heroik yang patut menjadi inspirasi bagi kalangan media.
"Mereka mempublikasikan dengan bebas, memperjuangkan, apa yang selama ini dunia tidak mengetahuinya," kata Mathew, di hadapan lebih dari 1.500 penerbit, pemimpin redaksi, CEO dan eksekutif senior media dari lebih kurang 66 negara.
Mathew pun menegaskan bahwa WAN IFRA selalu mendukung perkembangan media yang bebas dari segala bentuk interpensi. Dua negara yang selama ini terkesan tertutup, menurut Mathew kini sudah mengalami perkembangan signifikan. Yakni Myanmar dan Thailand.
"Semangat kebebasan, telah membuat sebagian besar kita terkejut sekaligus memberi apresiasi. Publik bisa melepas ekspresi mereka dengan adanya jaminan kebebasan media," tegas Mathew.
Dihadapan Wakil Perdana Menteri Thailand Kittirat Na Ranong yang hadir, Mr Mathew pun mengkritik Pasal 112 KUHP, perihal hukum "lèse-majesté". Hukum ini dimaksudkan untuk mencegah pelanggaran media terhadap raja dan keluarga kerajaan. Akibatnya sering terjadi penangkapan wartawan.
"Kami memahami alasan historis bagi keberadaan hukum lèse-majesté, tapi WAN-IFRA sangat prihatin dengan penyalahgunaannya yang menyebabkan dalam beberapa kasus penangkapan dan pemenjaraan editor, penerbit dan wartawan," katanya. "Ini penangkapan yang tidak semestinya dan pemenjaraan bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers. Ini akan menggagalkan pengembangan media yang kuat dan menghapuskan semangat independensi," tegas Mathew.
Dalam kesempatan yang sama, Mathew pun berharap negara-negara Asia seperti Laos, Kamboja, Vietnam dan Malaysia juga bisa bergerak lebih cepat menuju kebebasan pers seperti negara lainnya.(afz/jpnn)
Kongres yang berlangsung di Centara Hotel, Bangkok, Thailand ini, diselenggarakan oleh The World Associaton of Newspapers and News Publishers (WAN-IFRA) atau asosiasi surat kabar dunia. Dalam waktu yang sama juga digelar 20th World Editors Forum (forum editor dunia) dan 23rd World Advertising Forum (forum iklan media dunia).
Jacob Mathew, Presiden WAN IFRA, memberikan kata sambutan penuh pesan sekaligus ucapan selamat, kepada insan media khususnya di Myanmar, yang telah memperjuangkan hak publik dunia mendapatkan pemberitaan seimbang mengenai konflik SARA di sana. Mathew menyebut media di Myanmar, telah melakukan aksi heroik yang patut menjadi inspirasi bagi kalangan media.
"Mereka mempublikasikan dengan bebas, memperjuangkan, apa yang selama ini dunia tidak mengetahuinya," kata Mathew, di hadapan lebih dari 1.500 penerbit, pemimpin redaksi, CEO dan eksekutif senior media dari lebih kurang 66 negara.
Mathew pun menegaskan bahwa WAN IFRA selalu mendukung perkembangan media yang bebas dari segala bentuk interpensi. Dua negara yang selama ini terkesan tertutup, menurut Mathew kini sudah mengalami perkembangan signifikan. Yakni Myanmar dan Thailand.
"Semangat kebebasan, telah membuat sebagian besar kita terkejut sekaligus memberi apresiasi. Publik bisa melepas ekspresi mereka dengan adanya jaminan kebebasan media," tegas Mathew.
Dihadapan Wakil Perdana Menteri Thailand Kittirat Na Ranong yang hadir, Mr Mathew pun mengkritik Pasal 112 KUHP, perihal hukum "lèse-majesté". Hukum ini dimaksudkan untuk mencegah pelanggaran media terhadap raja dan keluarga kerajaan. Akibatnya sering terjadi penangkapan wartawan.
"Kami memahami alasan historis bagi keberadaan hukum lèse-majesté, tapi WAN-IFRA sangat prihatin dengan penyalahgunaannya yang menyebabkan dalam beberapa kasus penangkapan dan pemenjaraan editor, penerbit dan wartawan," katanya. "Ini penangkapan yang tidak semestinya dan pemenjaraan bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers. Ini akan menggagalkan pengembangan media yang kuat dan menghapuskan semangat independensi," tegas Mathew.
Dalam kesempatan yang sama, Mathew pun berharap negara-negara Asia seperti Laos, Kamboja, Vietnam dan Malaysia juga bisa bergerak lebih cepat menuju kebebasan pers seperti negara lainnya.(afz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengkaji Trend Media Global
Redaktur : Tim Redaksi