Ola merupakan terpidana narkoba yang mendapat vonis mati Agustus 2000 lalu karena kepemilikan heroin seberat 3,5 kilogram. Dia ditangkap bersama dua sepupunya, Deni Setia Maharwa dan Rani Andriani.
Meski ditahan di LP Wanita Tangerang dan terancam dihukum mati, tidak membuat Ola jera. Di dalam tahanan pun, dia seolah menjadi raja bagi sesama napi perempuan. Maka, tak heran dia dipanggil ”Jenderal” oleh sesama penghuni Lapas Wanita Tanggerang.
Panggilan tersebut menjadi gambaran betapa berkuasanya Ola di sana. Apalagi, perilaku Ola yang temperamental dan sering memukul sesama penghuni lapas tanpa ada tindakan dari petugas lapas. Bahkan, petugas juga terkesan membiarkan Ola berkuasa di dalam tahanan tersebut.
Di dalam Lapas itu pula Ola leluasa mengatur bisnis narkobanya. Akses yang mudah ke dunia luar tahanan diduga menjadi salah penyebab Ola bisa mengendalikan narkoba. ”Setiap hari dia bebas pakai HP dan BB di dalam,” kata seorang sumber di tahanan kepada INDOPOS (Grup JPNN).
Meski demikian, sumber petugas Lapas Wanita Tangerang itu mengaku bahwa sosok Ola tidak ada istimewa. Hanya saja, Ola termasuk orang yang pintar membuat disain bunga dan menjahit. Selama ini Ola sering marah dan sejumlah napi takut kepadanya karena dianggap sudah senior di sana. ”Tapi belakangan ini dia sudah tidak temperamental lagi,” ujar seorang petugas lapas.
Perilaku Ola dan kebebasannya mengendalikan bisnis narkoba dari dalam penjara membuat banyak orang bertanya-tanya, kenapa dia sampai dapat grasi? Apakah presiden salah mendapat masukan dari orang-orang dekatnya? Siapa yang harus bertanggungjawab jika dalam persidangan kedua kelak, Ola memang mengendalikan bisnis narkobanya dari dalam penjara? Apakah benar ada mafia grasi di lingkungan istana seperti disampaikan Ketua MK Mahfud MD sehingga Ola dapat grasi?
Pengacara Meirika Pranola alias Ola alias Tania, Farhat Abbas menjamin tidak ada mafia grasi ataupun penyerahan uang sogok kepada oknum di Istana Negara. ”Saya berani sumpah pocong nggak ada penyogokan uang atau bayar-bayaran ke istana dalam pemberian grasi kepada Ola dari hukuman mati menjadi penjara seumur hidup, “ kata Farhat Abbas kepada INDOPOS, Selasa (13/11).
Suami dari penyanyi Nia Daniati itu mengajukan permohonan grasi ke Presiden melalui Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada tanggal 30 Agustus 2010 lalu. Pengajuan itu karena menyangkut hak asasi manusia bahwa wanita kelahiran 23 November 1970 itu telah menjalani hukuman selama 10 tahun 7 bulan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita Tangerang.
”Kalau dia (Ola - Red) dihukum mati, berarti sama saja menjalani dua hukuman, yaitu pidana dan mati. Selain itu, Ola yang dipidana hukuman mati harus dilindungi,” kata Farhat. Bahkan Farhat mengaku tidak dapat bayaran saat mengajukan grasi ke Presiden. Kalua pun dijual seluruh harta yang dimiliki Ola tidak sebanding dengan upaya yang dikerjakan selama ini.
Dugaan Ola terlibat dalam bisnis narkoba dari balik penjara, Farhat mengaku masih meragukan hal tersebut. ”Kalau pun itu terjadi harus melalui proses hukum dan jangan mengabaikan asas praduga tidak bersalah. Jangan hanya berdasarkan pengakuan sepihak harus dibuktikan di pengadilan,” kata Farhat.
Menurut Farhat, sebelum ada keputusan tetap dari pengadilan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Mabes Polri itu mengamankan kebijakan dan jangan memalukan Presiden Susilo Bambang Yudhono. ”Ini ada suatu gerakan yang ingin mempermalukan kepala negara karena tidak mengamankan kebijakan Presiden,” tegasnya.
INDOPOS memperoleh salinan putusan grasi itu dari sumber terpercaya. pengampunan Presiden SBY itu diberikan kepada Ola melalui keputusan presiden yang ditandatangani SBY pada 26 September 2011, setahun silam. Mencermati salinan putusan tersebut, namun tidak mendapatkan satu kalimat pun atas dasar atau pertimbangan apa Ola diberi pengampunan.
Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidum) Kejati Tangerang, Andi DJ Konggoasa menyatakan Ola sangat bisa untuk diproses secara hukum ke peradilan. “Bukan tidak mungkin bisa membatalkan grasi," kata Andi DJ Konggoasa kepada INDOPOS.
Andi mengatakan saat ini pihaknya dalam kapasitas menunggu apakah grasi itu tetap berlaku atau tidak. "Kami pada posisi menunggu, saat ini dalam catatan kami hukuman mati Ola berubah menjadi seumur hidup atas putusan grasi tersebut,"ujarnya
Sementara itu, grasi yang diberikan kepada narapidana narkoba berbuntut pada evaluasi lembaga pemasyarakatan. Evaluasi lapas dilakukan sebagai salah satu cara merespons kontroversi seperti grasi bagi Meirika Franola atau Ola. Kepala Humas Kementerian Hukum dan HAM Martua Batubara mengungkapkan hal itu kepada INDOPOS, kemarin. ”Sudah ada keputusan jika sampai terbukti ada petugas yang melakukan penyimpangan, akan dipecat. Saat ini proses evaluasi masih berjalan,” kata Martua.
Martua menegaskan, pihaknya sebenarnya sudah secara rutin melakukan operasi di Lapas Tangerang terkait kepemilikan barang terlarang, termasuk alat komunikasi, di dalam Lapas. ”Mereka tidak kalah pintar menyiasati operasi seperti itu,” sambungnya.
Martua menjelaskan, mekanisme pemberian grasi selama ini menimbang pada kelakuan seorang narapidana selama masa hukumannya. Jika selama itu berkelakuan baik, menunjukkan penyesalan, dan tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran, tidak haram bagi seorang narapidana mengajukan grasi. ”Pertimbangan pemberian grasi tidak hanya berasal dari Kementerian Hukum dan HAM saja. Ada MA, Kejaksaan, hingga Kepolisian,” jelasnya. Masing-masing lembaga memberikan pertimbangan berdasar bidangnya.
”Grasi itu muncul berdasar usulan dari bawah. Bisa diajukan oleh keluarga, kuasa hukum atau oleh dirinya sendiri,” katanya. Setelah diajukan, grasi lantas diusulkan ke pengadilan yang sebelumnya menyidangkan kasus pemohon dengan sepengetahuan kepala lembaga pemasyarakatan tempat pemohon berada. Setelah melalui pengadilan negeri, permohonan kemudian diajukan kepada presiden. Baru kemudian presiden meminta pertimbangan kepada lembaga-lembaga terkait.
’’Mekanismenya seperti itu. Tentu ada ketentuan-ketentuan lain yang merujuk pada UU nomor 5 tahun 20120 tentan Grasi,’’ jelas Martua. Dalam kasus Ola, Martua menyebut tidak ada yang salah dengan mekanisme pengajuan grasi hingga kemudian grasi terbit. Masalah baru muncul setelah BNN menangkap kurir yang mengaku suruhan Ola. Andai saja kurir tersebut tak tertangkap, bukan tidak mungkin grasi tersebut pada akhirnya tetap diterima Ola.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso mengatakan lingkungan Istana Negara terkesan sangat permisif terhadap masalah pemberantasan narkoba. ”Pada titik tertentu, saya memandang apa yang dikatakan Pak Mahfud MD ada sisi benarnya. Walau penyampaiannya dilakukan dengan bahasa yang sangat keras bahkan terkesan tendensius terhadap Istana,” ujar Priyo, Selasa (13/11).
Namun bagi Priyo, sebaiknya polemik itu disudahi, karena sudah ada pernyataan Presiden SBY yang mengatakan dirinya akan bertanggung jawab penuh terhadap masalah itu. ”Menurut saya, yang sekarang harus diselesaikan adalah apakah mungkin grasi yang sudah telanjur diberikan Presiden SBY kepada Ola dapat ditinjau ulang" Kalau itu memungkinkan, maka saya berikan apresiasi kepada Presiden SBY. Ke depannya sebaiknya Presiden SBY agar ekstra hati-hati dalam memberikan grasi, walaupun hal itu merupakan hak prerogatif Presiden,” pungkasnya. (gin/tir/ind)
BACA ARTIKEL LAINNYA... SBY Janji Patuhi Putusan MK soal BP Migas
Redaktur : Tim Redaksi