jpnn.com, JAKARTA - Indonesia Police Watch (IPW) menyoroti dugaan maladministrasi dalam penyidikan kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023.
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) bertindak profesional dan tidak tebang pilih dalam mengusut kasus ini.
BACA JUGA: KPK Sebut Ahmad Ali Datangi Pemeriksaan Penyidik Kasus Rita Widyasari di Banyumas
"Kejaksaan Agung harus menemukan dalang utama di balik mega korupsi ini, bukan justru menetapkan tersangka yang keliru," ujar Sugeng dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (7/3).
IPW menyoroti indikasi penyalahgunaan wewenang dalam penyidikan kasus ini. Sugeng menilai ada upaya menciptakan impunitas terhadap pelaku utama korupsi, sementara pihak lain yang tidak bersalah justru dijadikan tersangka. Ia juga mengkritik pernyataan Kejagung yang terlalu cepat menyatakan Erick Thohir tidak terlibat.
BACA JUGA: Anak Menkum Supratman dan Ahmad Ali Dilaporkan ke KPK terkait Pemilihan Pimpinan MPR dan DPD
"Ini terkesan seperti upaya pencucian nama. Padahal, penyidikan masih berjalan dan seharusnya semua pihak yang terkait bisa diperiksa," ujarnya.
Selain itu, Sugeng menyoroti pertemuan antara Erick Thohir dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin saat Kejagung sedang menyelidiki anak buah Erick di Kementerian BUMN.
BACA JUGA: Retret Kepala Daerah Dilaporkan ke KPK, Mendagri Berikan Penjelasan, Silakan Disimak
"Secara etik hukum, ini tidak bisa dibenarkan. Jika Presiden Prabowo Subianto serius dalam memberantas korupsi sesuai Asta Cita, maka Jaksa Agung, Jampidsus, dan Erick Thohir harus dicopot," tegasnya.
Menurut Sugeng, dalam penyidikan ini, penyidik menilai kerugian negara dari ekspor dan impor minyak mencapai Rp46,7 triliun. Namun, anehnya, tidak ada satu pun pihak swasta dalam klaster impor-ekspor minyak yang ditetapkan sebagai tersangka.
"Roh korupsi dalam kasus ini ada di klaster tersebut. Namun, penyidik justru menetapkan seorang pengusaha muda, Muhammad Kerry Andrianto Riza, sebagai tersangka, padahal kontraknya dengan Pertamina sah secara hukum," jelasnya.
Kerry disebut terlibat dalam "pengoplosan" bahan bakar minyak (BBM) guna meningkatkan kualitas RON. Namun, IPW membantah tuduhan ini.
"Ini bukan pengoplosan, melainkan blending, praktik yang sah dalam industri migas dan diatur dalam regulasi seperti Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004," kata Sugeng.
Ia juga menambahkan bahwa hingga kini penyidik tidak memiliki bukti laboratorium yang menunjukkan adanya oplosan dalam minyak yang diperdagangkan antara 2018-2023. Bahkan, pada 4 Maret 2025, Kejagung meralat pernyataan mereka, menyebut bahwa yang terjadi adalah blending, bukan pengoplosan.
"Dampaknya, masyarakat salah paham, kepercayaan terhadap Pertamina turun, dan SPBU asing justru mendapat keuntungan," ujar Sugeng.
IPW juga menilai bahwa penetapan Kerry sebagai tersangka hanya karena statusnya sebagai Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa adalah tidak berdasar dalam hukum pidana.
"Dalam hukum pidana, seseorang tidak bisa dipidana hanya karena jabatan atau kedudukannya. Harus ada perbuatan melawan hukum yang nyata," tegas Sugeng.
Menurutnya, ini bertentangan dengan prinsip dasar individual criminal responsibility, di mana pertanggungjawaban pidana bersifat individual, bukan berdasarkan jabatan seseorang dalam perusahaan.
"Jika tidak ada bukti keterlibatan langsung Kerry dalam tindak pidana, maka dia tidak seharusnya ditetapkan sebagai tersangka," tambahnya.
IPW meminta Kejaksaan Agung untuk transparan dalam menangani kasus ini dan memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam penyidikan.
"Penegakan hukum tidak boleh dijadikan alat untuk menyingkirkan pelaku usaha lama demi pemain baru. Jika ada indikasi kesalahan dalam penyidikan, harus segera diperbaiki demi keadilan hukum," pungkas Sugeng. (tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Ungkap Aliran Uang Direktur Summarecon ke Pejabat Pajak soal Gratifikasi Rp21,5 M
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga