jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra ikut berbicara menyoroti kontroversi pemberian nama jalan Kemal Ataturk.
Menurutnya, kontroversi mengemuka sebagai akibat dari permintaan pemerintah agar nama jalan di dekat KBRI di Ankara, Turki, diganti dengan nama jalan Bung Karno, proklamator RI.
BACA JUGA: TNI AL Rekrut Banyak Prajurit dari Papua, Jumlahnya Ratusan, Kini Mulai Bertugas
Pemerintah Turki rupanya menyanggupi permintaan tersebut.
Hanya saja mereka meminta balasan, hal yang sama.
BACA JUGA: Keren Banget! Sudah Tak Ada Pasien COVID-19 di 3 Daerah ini
Turki meminta agar nama Kemal Ataturk juga dijadikan nama jalan, tak jauh dari Kedutaan Turki yang terletak di Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Menurut Yusril, Mustafa Kemal Pasya atau Kemal Ataturk adalah tokoh kontroversial.
BACA JUGA: Kabar Tak Sedap untuk Partai Berkuasa, Dukungan Menurun Saat Kampanye Pemilu Dimulai
Bukan saja di Turki pada zamannya, tetapi juga di Indonesia dan banyak negeri Muslim lain.
Kemal merupakan pemimpin militer Turki yang mengambil alih kekuasaan kekhalifahan di negaranya dan membubarkannya.
"Dia membentuk sebuah republik bercorak sekuler. Kekhalifahan Turki yang berdiri sejak zaman Osmaniyah dan dianggap simbol pemerintahan Islam dia bubarkan. Kemal memisahkan antara agama (Islam) dengan negara," ujar Yusril.
Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) ini lebih lanjut mengatakan Kemal mengambil alih kekuasaan, saat kekhalifahan Turki sedang redup.
Turki yang bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I mengalami kekalahan.
Turki yang mulai lemah baik dari segi militer maupun ekonomi, dipaksa mengikuti kehendak Inggris dan sekutunya.
Sementara Khalifah Turki tetap hidup glamor dan bermewah-mewah dalam suasana negara sedang terpuruk.
Pembangunan Istana super mewah Tokhapi di Istambul, dilakukan di zaman Turki sedang terpuruk itu.
"Kehidupan Sultan dan bangsawan Turki menuai kritik di dunia Islam sendiri karena dianggap jauh dari nilai-nilai Islam."
"Mohammad Natsir dalam polemiknya dengan Bung Karno menjelang Indonesia merdeka mengatakan dalam suasana seperti itu, tidak perlu lagi ada pemisahan antara Islam dengan negara, sebab dalam kenyataannya Islam memang sudah terpisah dengan negara seperti ditunjukkan oleh perilaku penguasa kekhalifahan Turki itu," ucap Yusril.
Menurut Yusril, intinya, implikasi politik dari yang terjadi di Turki ketika itu, gaungnya terasa di Indonesia.
Kelompok nasionalis sekuler merasa senang dengan kehadiran Ataturk. Sebaliknya para tokoh nasionalis Islam berada dalam kecemasan.
Tahun-tahun 1920-an itu di Indonesia sedang terjadi polemik ideologis yang luas tentang Islam dan nasionalisme dan masalah hubungan agama dengan negara.
"Polemik antara Bung Karno dan Mohammad Natsir seperti telah saya singgung di atas, tentang hubungan agama pada dekade terakhir kolonialisme Belanda di negeri kita, dilatar-belakangi kebangkitan nasionalisme dan sekularisme di Turki."
"Perdebatan dalam sidang BPUPKI ketika merumuskan 'de filosofische grondslag' (dasar falsafah negara) yang berujung kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta, juga bertalian dengan hubungan antara Islam dengan negara pada sebuah negara modern," katanya.
Karena itu, Yusril menilai wajar saat ini masih ada rasa ketidaksukaan sebagian masyarakat terhadap Kemal Ataturk.
Sebab, ketegangan pemikiran antara Islam dan sekulerisme dengan berbagai variannya, hingga kini tetap berlangsung di Indonesia.
Baik itu dari yang moderat dan menerima Pancasila, sampai yang ingin mendirikan kembali negara khilafah.
Meski demikian, Yusril menyebut intensitasnya tidak sekeras menjelang kemerdekaan 1945, menjelang Pemilu 1955 dan sidang Konstituante 1957 serta di masa awal Orde Baru tahun 1967.
Yusril menilai wajar secara resiprokal Turki meminta hal yang sama, ketika pemerintah Indonesia meminta agar negara tersebut mengganti nama sebuah jalan di dekat KBRI menjadi nama jalan Soekarno.
"Orang Turki juga nampaknya tidak mempersoalkan pergantian nama jalan dengan nama Jalan Sukarno. Cuma, di negeri kita, nama Jalan Ataturk yang diminta Pemerintah Turki itu membuat pusing banyak orang."
"Bahkan, kini berkembang banyak rumor. Antara lain, pemerintah akan memberi nama banyak jalan dengan nama tokoh-tokoh kiri dan Komunis. Jalan Stalin, Kruschev, Jalan Mao Zedong, Jalan Ho Chi Minh dan entah jalan siapa lagi tokoh-tokoh komunis yang pernah ada di dunia ini," katanya.
Di sisi lain, penggantian nama Jalan Kebon Sirih dengan Jalan Ali Sadikin yang sudah diusulkan DPRD DKI ke gubernur, belum juga dilaksanakan.
Usul tokoh-tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) agar Jalan Kramat Raya diganti dengan Jalan Mohammad Natsir, sampai sekarang juga belum mendapat jawaban pasti dari pemerintah.
"Di Indonesia, urusan nama jalan adalah urusan pemerintah daerah. Pemerintah pusat hanya dapat mengusulkan kepada pemda untuk memberi nama atau mengubah nama jalan yang sudah ada."
"Gubernur Anies Baswedan yang mendapat dukungan umat Islam melawan Ahok dan AHY dalam Pilkada DKI semestinya tidak ada keberatan apa pun dan tidak berlama-lama mengganti nama Jalan Kebon Sirih dengan Jalan Ali Sadikin."
"Demikian juga dengan mengganti nama Jalan Kramat Raya dengan Jalan Mohammad Natsir. Jalan Matraman Raya dengan Jalan Kasman Singodimedjo. Jalan Warung Buncit dengan Jalan AH Nasution," katanya.
Yusril kemudian menyarankan ke depan sebaiknya pemerintah tidak usah lagi meminta negara lain memberi nama jalan dengan tokoh bangsa Indonesia.
Sebab, ketika mereka juga meminta nama tokoh mereka dijadikan nama jalan di Jakarta, bisa menimbulkan kontroversi.
"Di masa lalu, Indonesia pernah dengan inisiatif sendiri memberi nama jalan dengan tokoh negara lain. Ambil contoh Jalan Patrice Lumumba yang terletak antara Jalan Gunung Sahari dengan Bandara Kemayoran zaman dulu. Lumumba adalah pemimpin Republik Kongo di Afrika. Dia dikudeta dan oleh lawan-lawannya dan dituduh komunis."
Kemudian, di zaman Orde Baru yang anti komunis, nama Jalan Patrice Lumumba diganti dengan Jalan Angkasa sampai sekarang.
Nama Angkasa terkait dengan bandara, walau Bandara Kemayoran sudah sejak 1984 pindah ke Cengkareng.
"Tidak merasa berat menggantinya karena nama Jalan Patrice Lumumba karena kita berikan sendiri, bukan atas permintaan Pemerintah Kongo," katanya.
Yusril menilai, memberi nama jalan dengan nama tokoh atau pahlawan memang akan selalu berhadapan dengan dilema.
Seseorang menjadi pahlawan atau menjadi pengkhianat, disukai atau dibenci, sangat tergantung kepada situasi politik pada suatu zaman.
Andai ada nama Jalan DN Aidit pada zaman Orde Lama, hampir dapat dipastikan akan diganti di zaman Orde Baru.
"Demikian juga dengan Mohammad Natsir, adalah 'pemberontak PRRI' di zaman Orla dan Orba. Di masa reformasi beliau diangkat menjadi pahlawan nasional. Persepsi masyarakat selalu berubah seiring dengan perubahan zaman. Begitulah sejarah manusia," pungkas Yusril.(gir/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang